BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Manusia di lahirkan ke dunia ini
dalam keadaan suci bagaikan kertas putih. Kemudian dengan berjalanya waktu maka
kertas putih itu akan berubah dengan penuh warna. Untuk itu Allah memberikan
petunjuk dengan di turunkannya al quran sebagai pedoman hidup. Untuk itu kita
sebagai umat manusia agar dapat membaca dan memahami serta mengajarkan al quran
tersebut agar bahagia hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana
Perbandingan orang yang membaca dan tidak membaca al-Quran?
C. Tujuan
Pembahasan
Dengan terselesaikannya makalah ini
penulis bertujuan untuk memberi wawasan pengetahuan tentang dalil dorongan
dorongan mempelajari dan mengajarkan al-qur’an dan menuntut Ilmu pengetahuan.
Dan selain dari pada itu kami juga bertujuan untuk memenuhi tugas pelajaran
mata Kuliah kita.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perbandingan Antara Orang yang Membaca dan
Tidak Membaca Al- Qur’an
Hadist :
عن ابى موسى رضى الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: مثل المؤمن الدى يقراً القران مثل الاًترجة ريحهاطيب وطعمهاطيب, ومثل
المؤمن الدى لايقراً القران مثل التمرة لاريحهاوطعمها حلو, ومثل المنافق الدى
لايقراً القران مثل الحنظلة ليس لهاريح وطعمها مر, ومثل المنافق الدى يقراً القران
مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر. (رواه البخارى ومسلم والنسائى وابن ماجه(
Artinya:
Dari Abi Musa
r.a berkata, sabda rosulullah SAW : perumpamaan orang mukmin yang membaca Al
qur’an seperti buah jeruk manis yang baunya harum dan manis rasanya, dan
perumpamaan orang mukmin yang tak membaca al qur’an seperti kurma yang tak
berbau dan manis rasanya, dan perumpaman orang munafiq yang tidak membaca
Al-Qur’an seperti buah pare yang tidak berbau dan rasanya pahit, dan
perumpamaan orang munafiq yang membaca Al Qur’an seperti bunga raihanah yang
baunya harum dan rasanya pahit. [1]
Pada Hadist diatas sudah jelas
perbandingannya yaitu orang-orang yang membaca Al-Quran itu lebih mulia disisi
Allah dan Rasul karena telah memuliakan dan menjaga Al-Quran dalam artian
membacakannya dan juga mangamalkannya. Karena sesuai denga firman Allah Swt
dalam Surat An-Nahl Ayat : 98-100
yang artinya : “Apabila kamu membaca
Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang
terkutuk. Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang
beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan)
hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang
yang mempersekutukannya dengan Allah”.
Berdasarkan ayat ini Allah
memberikan Perlindungan kepada hamba-hamba-Nya yang selalu membaca Al-Qur’an
dan meminta perlindunan Allah. Di satu sisi kita telah menjaga Al-Qur’an dengan
membacanya maka pula Allah akan menjaga hamba-Nya sebagai balasan dari apa yang
kita kerjakan. Maka bandingannya adalah kebalikan dari apa yang dijelaskan tadi
yaitu Allah tidak akan menjaga hamba-Nya yang tidak menjaga Al-Qur’an dan
sesungguhnya Allah tidak pernah ingkar janji.
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir
r.a, ia berkata, “Bahwa Rasulullah r suatu ketika keluar dari rumah beliau,
sewaktu kami sedang berada di Shuffah. Beliau bersabda:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أّنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى
بُطَحَا نَ أَوْ إِلَى العَقِيقِ فَيَأتِي مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ،
فِي غَيْرِ اِثمٍ وَلاَ قَطْعِ رَحِمٍ؟
“Siapakah di
antara kamu yang mau pergi ke Buthan atau Al ‘Aqiq setiap hari, kemudian pulang
dengan membawa dua ekor unta yang bagus-bagus, tanpa harus melakukan dosa atau
memutuskan tali silaturrahmi ?” Lalu kami (para sahabat) menjawab: “Kami
semuanya ingin mendapatkan itu wahai Rasulullah.”
)أفَلاَ يَغْدُو أحَدُكُمْا إِلَى المَسْجِد فَيَعْلَمُ
أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
نَاقَتَيْنِ.وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ. وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الإِبِلِ؟(
Beliau bersabda: “Apa yang menghalangimu pergi ke mesjid
untuk belajar (Al Qur’an) atau membaca dua ayat dari kitab Allah, karena hal
itu lebih baik dari dua ekor unta. Dan membaca tiga ayat, maka hal itu lebih
baik dari tiga ekor unta. Dan empat ayat, maka hal itu lebih baik dari empat
ekor unta dan selanjutnya setiap hitungan ayat sama dengan hitungan unta.” (HR
Muslim, 1/552).
Dalam hadist diatas, Nabi telah
membuat satu perumpamaanyang sangat menakjubkan dan sarat dengan pelajaran,
karena berisi dorongan dan motivasi bagi kita untuk selalu mempelajari Al
Qur’an dan untuk memperbanyak berjalan kemesjid dengan maksud mempelajari Al
Qur’an.[2]
Karena disana ada kedamaian dan ketentraman serta melepaskan dir dari
ketertarikan hati terhadap kesibukan dunia. Dan juga beliau menerangkan bahwa
mempelajari satu ayat dari kitab Allah, maka hal itu lebih baik dari dunia dan
isinya.
Rasulullah r mengibaratkan pahala
orang yang mempelajari Al Qur’an dengan unta, karena unta merupakan kebanggaan
dan harta simpanan termahal bagi bangsa Arab, pada permulaan islam. Dimana ia
tidak dimiliki, melainkan oleh para hartawan saja. Dan Nabi hendak mengajak
para sahabat untuk meraih harta dunia yang lebih mahal dari unta. Agar mereka
mempunyai simpanan kebaikan yang lebih baik dari seekor unta disisi Allah.
Yaitu dengan cara mempelajari Al Qur’an. Sebab setiap ayat yang dipelajari oleh
seorang muslim, maka ia dalam timbangan kebaikan, yaitu lebih baik dari seekor
unta yang elok, yang terbebas dari segala cacat dan aib.
Dan Nabi r telah mendorong umatnya
untuk mempelajari kebaikan dan mengajarkannya kepada orang lain. Bagi orang
yang berbuat demikian akan disediakan pahala orang yang melaksanakan haji
secara sempurna. Beliau bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى المَسْجِدِ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ أَنْ
يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يُعَلِّمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ، تَامَّا
حَجَّتُهُ
“Barang siapa
yang pergi ke masjid, tidak bertujuan melainkan untuk mengetahui kebaikan atau
mengajarkannya (kepada orang lain), maka baginya pahala orang yang menunaikan
haji secara sempurna.”(HR At Thabrani dalam kitab Al Kabir, 8/94. Syaikh Al
Bani mengatakan Hadist ini “Shahih” berada di shahihut Targhib wat Tarhib,
1/145)
Tidak diragukan lagi bahwa
mempelajari dan mengajarkan Al Qur’an termasuk urutan pertama dari kebaikan
yang harus dipelajari dan diajarkan kepada manusia, karena ia adalah kalam
(perkataan) Allah.
Didalam hadist yang lain, Rasulullah
r memberitahukan bahwa orang yang mempelajari kebaikan dan menngajarkannya
(kepada orang lain), maka kedudukannya sama seperti orang yang berjihad dijalan
Allah.Nabi r bersabda:
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأتِهِ إِلاَّ
لخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَو يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ المُجَاهِدِ فِي
سَبِيلِ الله، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ
يَنْظُرُ إِلَي مَتَا عِ غَيْرِهِ
Barangsiapa yang dating ke masjidku
ini (masjid Nabawi), dia tidak mendatanginya kecuali dengan tujuan mempelajari
kebaikan atau mengajarkannya ( kepada orang lain), maka kedudukannya seperti
orang yang berjihad di jalan Allah. Dan barangsiapa yang dating (ke masjid)
dengan tujuan selain itu, maka kedudukannya sama seperti orang melihat harta
dunia milik orang lain.” (HR Ibnu Majah, 1/82, Syaikh Al Bani berkata, “Hadist
ini berada di shahih Ibnu Majah, 1/44, hadist no; 186, hadist ini shahih.”)
Alangkah tingginya kedudukan orang
yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain, dimana
kedudukannya sama seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Yang demikian itu
karena dia telah berjihad melawan hawa nafsu dan keinginan-keinginan hatinya
serta bersungguh-sungguh melawan godaan syaitan, lalu dia bersabar dan tetap
mengikat dirinya dengan halawah Al Qur’an yang diberkahi, dia tinggalkan dunia
sementara waktu dengan segala keindahannya. Maka bagaimana dia tidak berhak
mendapatkan kemuliaan yang agung ini, sebagai balasan yang setimpal.
B. Hilangnya Ilmu Pengetahuan Karena Wafatnya
Orang Berpengetahuan
Ilmu mengajarkan kita pengetahuan
tentang segala hal yang ada didunia ini hingga menembus akhirat baik tentang
kejadian alam, keberadaan makhluk hidup, sampai kepada sebuah keyakinan untuk
bernaung dibawah sebuah dzat yang kuat dan besar itulah ilmu tauhid yaitu ilmu
ketuhanan sehingga setiap orang yang makin berilmu tentang Allah, maka rasa
takutnya pun semakin besar terhadapNya, dan hal tersebut mendorongnya untuk
menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan sebaliknya mendorongnya untuk berbuat
kebaikan dan bersiap-siap menyongsong pertemuannya dengan Allah.
Hal inilah yang membuat seseorang
tersebut memiliki kemuliaan dimata masyarakat, karena sifat ketaqwaan yang
dimilikinya, sehingga keberadaan mereka sangat penting dalam membimbing dan
mengarahkan umat ke jalan hidayah dengan berpedoman kepada Al-Quran dan hadits
berdasarkan pemahaman para generasi ash salafus shalih, mereka adalah
orang-orang terpercaya, pewaris para nabi yang mengemban tugas besar menjaga
agama ini dari penyimpangan dan penyelewengan.
Ketika para ulama wafat, saat itulah
ilmu hilang karena manusia diibaratkan domba-domba yang dibawa ke padang rumput
jika si pengembala meninggal maka domba-domba tersebut akan tersesat dan
berpencar karena tidak ada yang menuntunnya. Begitulah keadaan ilmu jika
pemiliknya telah tiada. Kecuali jika ilmu itu diamalkan sebaik-baiknya
sebagaimana yang diwariskan oleh ulama sebelumnya.
Apabila orang yang berpengetahuan
telah habis, maka orang banyak mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemukanya.
Mereka (pemuka-pemuka yang bodoh) itulah tempat bertanya dan mereka berfatwa tidak
dengan ilmu (pengetahuan). Mereka itu sesat dan menyesatkan orang. Kemajuan
suatu Umat bergantung kepada banyaknya Ulama dan orang terpelajarnya. Karena
merekalah yang memberi penerangan dalam segala hal. Pemimpin yang bodoh itu
memimpin orang menuju kebinasaan.[3]
Di dalam kitab Fathul Baari Syarah
Bukhari Muslim diterangkan bahwa hadits ini berisi anjuran menjaga ilmu,
peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan
fatwa adalah pemimpin pemimpin yang benar-benar menguasai ilmu pengetahuan, dan
larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu
pengetahuan.[4]
Di dalam kitab Tambighul Ghafilin
disebutkan, Dari muadz bin Jabal RA dimana ia berkata : “ pelajarilah ilmu
karena mempelajarinya adalah kebaikan mencarinya adalah ibadah,
mengingat-ingatnya adalah tasbih, memperdalamnya adalah jihad. Dari Ibrahim an
Nakha’i dimana ia berkata “ orang yang
alim itu selalu berada dalam keadaan shalat”.
Sewaktu ditanya “kenapa demikian?” ia menjawab “karena kamu akan
mendapatkan bahwa ia selalu berdzikir
kepada Allah melalui lisanya dengan menjelaskan mana yang halal dan mana yang
haram”. Dikatakan bahwa Ulama’ adalah
pelita bagi zaman. Setiap orang alim adalah lampu bagi masanya. Dimana ia
menerangi orang-orang yang hidup dimasanya. Sesungguhnya ilmu itu tidak akan
berkurang karena diberikan, sedangkan harta akan berkurang dengan diberikan.
Orang yang mempunyai harta itu akan ditanya setiap dirham darimana didapatkan
dan kemana dibelanjakan; sedangkan bagi orang yang mempunyai ilmu, setiap
perkataan yang ia ucapkan akan menaikan satu derajat didalam syurga. Sahabat
Ali juga mengatakan ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu itu menjaga
kamu, sedangkan harta itu kamu yang harus menjaganya. Ilmu itu akan bertambah
bila diberikan, sedangkan harta akan berkurang bila diberikan. Ulama’ itu tetap
hidup walau jasadnya telah tiada namun buah pemikiranya masih tetap ada”
Hadits
diatas tentu ada kaitannya dengan Hadits dari Anas:
عَنْ
اَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُاللَّه صلى اللَّه عليه وسلّم اِنَّ مِنْ اَشْرَاطِ
السَّاعَةِ اَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.
Anas berkata, bahwa Rasulallah saw.
bersabda: “Salah satu tanda Saa’ah yakni bahwa ilmu akan dicabut dan kebodohan
akan merajalela.
Saa’ah adalah istilah dalam Islam yang kalau diterapkan pada
perseorangan, berarti kematiannya; kalau diterapkan kepada suatu kaum berarti
saat kehinaannya; dan kalau diterapkan untuk seluruh manusia, berarti hancur
binasanya segala sesuatu. Jelas apa yang dimaksud di sini adalah kebinasaan
suatu bangsa tertentu. Kalau ilmu pengetahuan itu membawa kehidupan kepada
suatu bangsa, maka kebodohan menyebabkan kehancurannya. Jadi kaum Muslim
sekarang mengalami hari-harinya yang buruk; seharusnya mereka haus akan ilmu
pengetahuan seperti ciri nenek moyangnya, tetapi kebodohan merajalela di
mana-mana.[5]
Di
hadist yang Nabi SAW besabda :
عن عبد الله بن عمرو بناالعاص رضى الله عنهما قال: سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ان الله لايقبض العلم النتزاعا ينتزعه من
العباد, ولكن بقيض العلم يقبض العلماء حتى ادا لم يبق عالما, اتخد الناس رئوسا
جهالا فسئلوا, فافتوا بغير علم, فضلوا واضلو. (رواه البخارى ومسلم(
Artinya:
Dari Abdullah
bin Amru r.a berkata: aku mendengar rosulullah SAW bersabda: Allah mengangkat
ilmu dari hati hamba, akan tetapi mengangkat ilmu dengan mengambil para ulama
sehingga tiada tersisa, Dan menyisakan penguasa yang jahil yang berfatwa tanpa
ilmu, maka sungguh sesat lagi menyesatkan.[6]
Hadits ini menjelaskan maksud tercabutnya ilmu dalam
hadits-hadits lalu yang muthlak (umum), bukan menghapusnya dari dada para
penghafal (pemilik) ilmu itu. Akan tetapi maknanya, para pembawa ilmu itu
(yakni para ulama) akan mati. Lalu manusia mengangkat orang-orang jahil
(sebagai pemimpin dalam agama). Orang-orang jahil itu memutuskan perkara berdasarkan
kejahilan-kejahilannya. Lantaran itu ia sesat, dan menyesatkan orang".[7]
Islam diturunkan sebagai rahmatan
lil ‘alamin. Untuk itu, maka diutuslah Rasulullah SAW untuk memperbaiki manusia
melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang
tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan
inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah
SWT.
Dengan pendidikan yang baik, tentu
akhlak manusia pun juga akan lebih baik. Tapi kenyataan dalam hidup ini,
banyakorang yang menggunakan akal dan kepintaraannya untuk maksiat. Banyak
orang yang pintar dan berpendidikan justru akhlaknya lebih buruk dibanding
dengan orang yang tak pernah sekolah. Hal itu terjadi karena ketidakseimbangannya
ilmu dunia dan akhirat. Ilmu pengetahuan dunia rasanya kurang kalau belum
dilengkapi dengan ilmu agama atau akhirat.
Orang yang berpengetahuan luas tapi
tidak tersentuh ilmu agama sama sekali, maka dia akan sangat mudah terkena
bujuk rayu syaitan untuk merusak bumi, bahkan merusak sesama manusia dengan
berbagai tindak kejahatan. Disinilah alasan mengapa ilmu agama sangat penting
dan hendaknya diajarkan sejak kecil. Kalau bisa, ilmu agama ini lebih dulu
diajarkan kepada anak sebelum anak tersebut menerima ilmu dunia.Kebodohan
adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena
itu, manusia membutuhkan terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan
oleh Allah SWT. Adapun sikap
yang baik dan buruk dalam menuntut imu pengetahuan telah dijeaskan oleh
Rasulullah SAW.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Orang-orang yang membaca Al-Quran
itu lebih mulia disisi Allah dan Rasul karena telah memuliakan dan menjaga
Al-Quran dalam artian membacakannya dan juga mangamalkannya. Begitu pula dengan
orang berilmu pengetahuan telah wafat maka akan hilang pula kebijaksaan dimuka
bumi ini, orang yang berilmu pengetahuan memiliki kemulian disisi masyarakat
karena dia memiliki sifat ketaqwaan yang tinggi sehingga bisa mengarahkan umat.
Hilangnnya suatu ilmu bukan langsung di cabut dari dada seseorang namun dengan
meninggalnya para ulama.
B. Saran
Kami sebagai penulis mengucapkan
terimakasi kapada para pembaca makalah ini yang telah berkanan membaca makalah
ini, khususnya mahasiswa mahasiswi yang mempelajari makalah ini. Mungkin
makalah ini masih jauh dari sempurna karena masih banyak di temukan banyak
kesalahan di sana sini. Untuk itu kami sebagai penulis mengucapkan maaf yang
sebesar besar nya dan juga kami memohon kritikan serta sarannya yang bersifat
membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
H Zainuddin Hamidy,
Fachruddin Hs, dkk. Terjemah Shahih Buchari. Jilid 1,
(Jakarta: Widjaya, 1969)
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fatkhul
Baarii bi Syarah Sahih Bukhari,
Juz 2, Beirut: Dar Al Fikr
Maulana
Muhammad Ali. Kitab
Hadits Pegangan. (Jakarta
: Darul Kutubil
Islamiyah, 1992).
Al-Minhaj Syarh.
Shohih Muslim ibn Al-Hajjaj., cet.
Dar I hya’ At-Turots Al
Arabiy.
Imam Abi Zakaria
Yahya bin Syarif Nawawi Ad-Dimisyqi. Riyadzush Shalihin.
Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah
boleh-dan-terlarang.html#sthash.vTrATQOk.dpuf
[1]
Maulana Muhammad Ali. Kitab Hadits Pegangan. (Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 1992). Hal : 120
Maulana Muhammad Ali. Kitab Hadits Pegangan. (Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 1992). Hal : 120
[2]
H Zainuddin Hamidy, Fachruddin Hs, dkk. Terjemah Shahih Buchari. Jilid 1, (Jakarta: Widjaya, 1969) Hal : 119
H Zainuddin Hamidy, Fachruddin Hs, dkk. Terjemah Shahih Buchari. Jilid 1, (Jakarta: Widjaya, 1969) Hal : 119
[4]
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fatkhul Baarii bi Syarah Sahih Bukhari, Juz 2, Beirut: Dar Al Fikr. Hal :255
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fatkhul Baarii bi Syarah Sahih Bukhari, Juz 2, Beirut: Dar Al Fikr. Hal :255
[5]
Maulana Muhammad Ali. Kitab Hadits Pegangan. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1992). Hal : 123
Maulana Muhammad Ali. Kitab Hadits Pegangan. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1992). Hal : 123
0 comments