DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ........ ii
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A.
Latar Belakang...................................................................................... ........ 1
B.
Rumusan
Masalah.......................................................................................... 2
C.
Tujuan Pembahasan........................................................................................ 2
BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
A. Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum.............................................. 3
B.
Pendidikan
Agama Islam Pada Madrasah....................................................... 9
BAB III : PENUTUP........................................................................................ ........ 16
A.
Kesimpulan........................................................................................... ........ 16
B.
Saran.............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam
di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir
bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang
beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam
terlaksana secara informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat
sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar.
Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah
pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak
hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk
belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam
penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini
dikenal masyarakat sebagai pesantren.
Masuknya
penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak perubahan
mendasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia.
Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri
jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat
tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga
memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah
keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan
keduniawian belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini.
Seperti
dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah berlangsung
sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah
Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung
dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu
pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak
diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa
ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai fenomena kauniyah
merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala mengembangkan suatu
ilmu .
Perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari kemandirian,
bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah
sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi
kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada
pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni:
70 persen ilmu umum dan 30 persen agama.
Dengan
demikian, berdasakan problematika di atas, maka dalam makalah ini akan mengupas
tentang pendidikan islam di Indonesia yang ada pada sekolah umum dan agama
serta menindak lanjuti solusinya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pendidikan
Agama Islam Pada Sekolah Umum ?
2.
Bagaimana Pendidikan
Agama Islam Pada Madrasah ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui
dan memahami Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum
2.
Mengetahui
dan memahami Pendidikan Agama Islam Pada Madrasah
BAB II
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH-SEKOLAH INDONESIA
A.
Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum
Pendidikan agama islam di sekolah umum merupakan suatu gebrakan
dalam pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa penjajahan agama tidak mendapat
tempat di sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya diberikan oleh
keluarga, bukan di sekolah. Kolonial Belanda sangat gencar menghambat
perkembangan pendidikan agama di sekolah umum karena selain menjajah
territorial, Belanda juga membawa misi kristenisasi di Indonesia.[1]
Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum
sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun
ke tahun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada
undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh
pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan
untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal dan
informal.
Pendidikan Agama
setelah kemerdekaan
Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan
hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama
RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap
bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya pada tanggal
18 Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama dari Pancasila, sebagai manifestasi dari sikap hidup yang
religius tersebut. Selain itu pada pasal 29 UUD 1945 yang menjelaskan tentang:
Ayat 1 : Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Ayat 2 :Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Maka untuk merealisasikan sikap hidup yang agamis dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah RI membentuk
Departemen Agama. Tugas utama departemen ini adalah mengurus soal-soal yang
berkenaan dengan kehidupan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu
di antaranya adalah berkenaan dengan pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan
agama yang dikelola oleh Departemen Agama tidak hanya terbatas pada
sekolah-sekolah agama saja, pesantren dan madrasah, tetapi juga menyangkut
pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional ditetapkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
dan 2 sebagai berikut :
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakarpada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
Dari rumusan di atas, dalam rangka mengembangkan potensi manusia Indonesia
seutuhnya, dalam arti utuh jasmani dan rohani sesuai dengan amanah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, diperlukan adanya pelaksanaan
pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah pada semua jalur jenis
dan jenjang pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum sesuai dengan ketentuan
undang-undang dapat dilihat pada beberapa pasal dari UUSP No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan,
bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan
jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) tersebut di atas ditegaskan
bahwa : Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta berakhlak
manusia.
Bab V tentang peserta didik, Pasal 12 ayat (1)
Setiap peserta didik
pada setiap satuan pendidikan berhak :
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
Bab X tentang kurikulum pada Pasal 36 ayat (3) juga dinyatakan :
Kurikulum disusun
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan memerhatikan :
a. Peningkatan iman dan takwa
b. Peningkatan akhlak mulia
c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik.
d. Keraguan potensi daerah dan lingkungan
e. Tuntutan pembangunan daerah dan lingkungan
f. Dinamika perkembangan global
Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum diatur dalam
undang-undang, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan,
biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen-komponen pendidikan
lainnya.[2]
Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa dalam rangka membangun manusia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama berfungsi
sebagai berikut:
1. Dalam aspek individual adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman,
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan berakhlak mulia.
2. Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk hal-hal
sebagai berikut :
a. Melestarikan asa pembangunan nasional, khususnya asa perikehidupaan dalam
keseimbangan.
b. Melestarikan modal dasar pembangunan nasional yakni modal rohaniah dan
mental berupa keimanan, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, dan akhlak
mulia.
c. Membimbing warga negara Indonesia menjadi warga negara yang baik sekaligus
umat yang taat menjalankan agamanya.
Hal ini sesuai dengan rumusan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3
tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu : Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dari kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas,
dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan
agama menempati tempat yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan
agama mempunyai relevansi dengan pendidikan kehidupan bangsa dan mewujudkan
manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,
memberikan makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek kepribadian
seluruh makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek
kepribadian seluruhnya secara seimbang dan selaras. Konsep manusia seutuhnya
harus dipandang memiliki unsur jasad, akal, dan kalbu serta aspek kehidupannya
sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan agama. Kesemuanya harus berada
dalam kesatuan integrlistik yang bulat. Pendidikan agama perlu diarahkan untuk
mengembangkan iman, akhlak, hati nurani, budi pekerti serta aspek kecerdasan
dan keterampilan sehingga terwujud keseimbangan. Dengan demikian, pendidikan
agama secara langsung akan mampu memberikan kontribusi terhadap seluruh dimensi
perkembangan manusia Indonesia seutuhnya seperti tercermin dari semua unsur
yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti yang
dimaksudkan.[3]
Dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya
adalah pribadi anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal balik
antara penanggung jawab pendidikan, yaitu yang di dalamnya terdiri dari kepala
sekolah, para guru, staf ketatausahaan, orang tua dan anggota keluarga lainnya
mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya karena peserta didik masih memerlukan
perlindungan dan bimbingan sekolah dan keluarga tersebut, tetapi juga pengaruh
pendidikan dan perkembangan kejiwaan yang diterima peserta didik dari kedua
lingkungan tersebut tidak boleh menimbulkan pecahnya kepribadian anak. Pengaruh
komplikasi psikologis tersebut selain bisa mengakibatkan frustasi pada diri
anak, juga dapat menghambat perkembangan jiwa anak didik.
Lingkungan masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di
sekolah. Terhadap pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan
masyarakat mempunyai hubungan timbal balik, yaitu sekolah menerima pengaruh
masyarakat dan masyarakatnya juga dipengaruhi oleh hasil pendidikan
sekolah. Menjadi tugas sekolah untuk mengenal anak agar mereka belajar hidup di
masyarakat dan belajar memahaminya dan mengenal baik buruknya. Dengan demikian,
dengan cara tersebut diharapkan agar anak memahami dan menghargai suasana
masyarakatnya. Salah satu dari tujuan sekolah adalah mengantar anak dari dalam
kehidupannya di dalam masyarakat.
Adapun tujuan pendidikan agama, yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta
didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai
agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perlu diingat
bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama harus memerhatikan prinsip dasar
sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama
yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
2. Pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan
ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai
landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.
3. Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif,
dan dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa
hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5. Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana
keagamaan dan menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti
tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya.[4]
Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan
agama, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama.
2. Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan
pendidikan agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan yang setingkat
atau penyelenggaraan pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan
pendidikan agama bagi peserta didik.
3. Satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan kepada
peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan persyaratan agama
yang dianut oleh peserta didik.
4. Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di
sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik
menjalankan ibadahnya.
5. Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban
membangun tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama
satuan pendidikan yang bersangkutan.
Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama tingkat SD, SMP, dan
SMA/SMK, atau bentuk lain yang sederajat adalah sarjana agama, ditambah
sertifikat profesi pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang
terakreditasi. Pendidik pendidikan agama adalah guru mata pelajaran pendidikan
agama harus memiliki latar belakang agama sesuai dengan agama yang dianut
peserta didik dan mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan bagi pendidik
yang tidak memenuhi kualifikasi minimum sebagaimana tersebut, tetapi memiliki
di bidang agama setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan.
Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah. Mengenai pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh pengawas pendidikan
agama terhadap penyelenggaraan pendidikan agama, yang meliputi pemantauan,
supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Laporan
sebagaimana dimaksud di atas berisi evaluasi terhadap pelaksanaan teknis
pendidikan agama dan ditujukan kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
atau Kantor Wilayah Departemen Agama..[5]
B.
Pendidikan Agama Islam Pada Madrasah
1.
Pengertian
Madrasah
Kata “Madrasah” berasal dari bahasa Arab sebagai keterangan tempat
(dzaraf), dari akar kata : “Darasa, Yadrusu, Darsan, dan Madrasatan”. Yang
mempunyai arti “Tempat belajar para pelajar” atau diartikan “jalan” (Thariq),
misalnya : diartikan : “ini jalan kenikmatan”. Sedangkan kata “Midras”
diartikan “buku yang dipelajari” atau “tempat belajar”.[6]
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah
atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya
yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
2. Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia
1. Masa Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial Belanda Madrasah memulai proses
pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam.
Pertumbuhan Madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang
lebih progresif, tidak semata- mata bersifat defensif, terhadap pendidikan
Hindia Belanda kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan
Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya
militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru
agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan
ketertiban dan keamanan.[7]
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh
pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya
madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri
semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan
legitimasi dari pemerintah.[8]
Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih
berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi.
Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan
dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya.
Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu
memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di
Indonesia. Perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan
sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 13
Januari 1946, dalam perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan
nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini
terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran
agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah
yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah
Diniyah.
Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang
dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal2 ditegaskan bahwa
Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di
sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan
agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan
orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan
nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah
dalam kerangka pendidikan nasional.[9]
2. Madrasah Pada Masa Orde Lama.
Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang
resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif
memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama
dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan
agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu
sendiri.
Salah satu perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde
lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan
hakim islam negri. madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di
mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga professional keagamaan,
disamping mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960
tentanng “garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana,
tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan
agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai
universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak
ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun
demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian
meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya
berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan
dan kebbudayaan.[10]
3. Masa Orde Baru
Pada masa orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan
mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat
Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4
1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada
madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum,
ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat
melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat
melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
Pemerintah orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam
konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui
keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan
sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat
dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem pendidikan
nasional.[11] Pada
masa orde baru ini madrasah mulai dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat
mulai dari masyarakat kelas rendah sampai masyarakat menengah keatas.
Sedangkan pertumbuhan jenjangnya menjadi 5 (jenjang) pendidikan
yang secara berturut-turut sebagai berikut :
1) Raudatul Atfal (Bustanul Atfal).
Raudatul Atfal atau Bustanul Atfal terdiri dari 3 tingkat :
a) Tingkat A untuk anak umur 3-4 tahun
b) Tingkat B untuk anak umur 4-5 tahun
c) Tingkat C untuk anak umur 5-6 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyah.
Madrasah Ibtidaiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan
pendidikan dan pengajaran rendah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam
sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata
pelajaran umum.
3) Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan
pendidikan dan pengajaran tingkat menengah pertama dan menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30%
disamping mata pelajaran umum.
4) Madrasah Aliyah.
Madrasah Aliyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan
dan pengajaran tingkat menengah keatas dan menjadikan mata pelajaran agama
Islam. Sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping
mata pelajaran umum. Dewasa ini Madrasah Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu
Agama, Fisika, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya.
5) Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pelajaran agama
Islam, yang berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar
anak-anaknya lebih banyak mendapat pendidikan agama Islam. Madrasah
Diniyah ini terdiri 3 tingkat :
·
Madrasah
Diniyah Awaliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan kelas 4 dengan
jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dan seminggu.
·
Madrasah
Diniyah Wusta ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa belajar 2
(dua) tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jam belajar sebanyak 18 jam
pelajaran dalam seminggu.
·
Madrasah
Diniyah Ula ialah Madrasah Diniyah tingkat menengah atas dengan masa belajar 2
tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jumlah jam pelajaran 18 jam pelajaran
dalam seminggu.
4.
Masa
Sekarang
Era globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan
mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya,
atau pendidikan Islam, termasuk pesantren dan Madrasah khususnya. Argumen
panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa
menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin berjaya
ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad 21.[12]
Globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim
Indonesia sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses
globalisasi dewasa ini tidak bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari barat,
yang terus memegang supremasi danhegemoni dalam berbagai
lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dominasi dan hegemoni politik
barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah “merosot”, khususnya sejak
terakhirnya perang dunia kedua, dan “perang dingin”. Belum lama ini, tetapi
hegemoniekonomi dan sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul
beberapa kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi
“kultur” hegemoni ekonomi dan sains teknologinya tetap sarat dengan nilai-nilai
Barat.
Melihat begitu derasnya pengaruh barat yang mengarah pada hegemoni
terhadap masyarakat muslim dalam segala aspek kehidupannya, maka madrasah harus
segera berbenah diri. Madrasah sebagai institusi pendidikan yang konsen dan
inten dalam usaha transformasi nilai- nilai Islam harus dapat menampilkan
perannya sebagai counter terhadapimperialisme kultural (cultur
imperialism) yang sedang gencar-gencarnya menyerbu dunia timur (masyarakat
muslim) khususnya di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan agama islam di sekolah umum merupakan suatu gebrakan
dalam pembaharuan dalam pendidikan. Pada masa penjajahan agama tidak mendapat
tempat di sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya diberikan oleh
keluarga, bukan di sekolah. Tapi pada masa sekarang ini sudah ada ada
pendidikan agama Islam Islam di sekolah-sekolah umum.
Jenjang (jenjang) pendidikan madrasah yang secara berturut-turut antara
lain sebagai berikut :
1.
Raudatul
Atfal (Bustanul Atfal).
·
Tingkat
A untuk anak umur 3-4 tahun
·
Tingkat
B untuk anak umur 4-5 tahun
·
Tingkat
C untuk anak umur 5-6 tahun
2. Madrasah Ibtidaiyah.
3. Madrasah Tsanawiyah
4. Madrasah Aliyah.
5. Madrasah Diniyah
B.
Saran
Demikianlah isi pembahasan makalah ini, tentunya masih banyak
terdapat kesalahan atau kejanggalan dalam bentuk penulisan maupun ucapan, oleh
karena itu kritikan dan saran yang bersifat membangun jiwa penulis sangat kami
harapkan demi tercapainya kesempurnaan kami dalam menampilkan makalah dimasa
mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kami
sebagai pemakalah sendiri. Aminn..
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas,
kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas
dan Madrasah Aliya, (Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003)
Mahmud Yunus, Seajarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985)
Abdul Rachman
Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006
Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Maksum, Sejarah
Madrasah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)
Nur Uhbiyati, Ilmu
Pendidikan Islam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia,
1998)
0 comments