BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kegunaan sejarah hukum adalah untuk
mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang masa lampau dalam kaitannya dengan masa
kini. Hal ini merupakan suatu proses, suatu kesatuan, dan satu kenyataan uang
dihadapi, yang terpenting bagi ahli sejarah data dan bukti tersebut adalah
harus tepat, cenderung mengikuti pentahapan yang sistematis, logika,jujur,
kesadaran pada diri sendiri dan imajinasi yang kuat. Sejarah hukum merupakan
bagian dari sejarah umum. Sejarah menyajikan dalam bentuk synopsis suatu
keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abad ke abad, yakni sejak untuk
pertama kali tersedia informasi sampa masa kini.
B. Rumusan Masalah
A.
Bagaimana Sejarah Hukum Indonesia ?
B.
Apa Peranan Dan Fungsi Sejarah Hukum ?
C. Bagaimana Sistem Hukum
Nasional ?
C. Tujuan Pembahasan
A.
Mengetahui dan memahami Sejarah Hukum
B.
Mengetahui dan memahami Peranan Dan Fungsi Sejarah
Hukum
C. Mengetahui dan memahami Sistem
Hukum Nasional
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Hukum
Sumbangan Von Savigny sebagai “Bapak Sejarah Hukum”
telah menghasilkan aliran historis (sejarah). Cabang ilmu ini lebih muda
usianya dibandingkan dengan sosiologi hukum. Apa yang sejak lama disebut
sejarah hukum, sebenarnya tak lain daripada pertelaahan sejumlah
peristiwa-peristiwa yuridisi dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis,
jadi adalah kronik hukum dahulu. Sejarah hukum yang demikian itupun disebut
“antiquiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi
bukan suatu yang berhenti melaiknkan suatu yang bergerak; bukan mati. Melainkan
hidup. Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus
menerus. Pengertian tumbuh membuat 2 arti yaitu, perubahan dan stabilitas.
Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung
atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum
pada masa lampau. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan
suatu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa
kini, hanya dengan penyelidikan sejarah., bahwa mempelajari hukum secara ilmu
pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah.[1]
Sejarah Perkembangan
Sistem Hukum Indonesia
1.
Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga
tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga
penjajahan Jepang.
a.
Periode
VOC
a)
Pada
masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan
ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
b)
Pendisiplinan
rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; Dan
c)
Perlindungan
terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang
Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum
yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan
politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan
menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b.
Periode
liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan
Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata
Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan
kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya
mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan
pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR
1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan
kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap
berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun,
pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata
tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus
terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh
negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c.
Periode
Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
a)
Kebijakan
Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal
politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
b)
Pembentukan
Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
c)
Penataan
organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
d)
Penataan
lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
e)
Pembentukan
peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga
runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
·
Dualisme/pluralisme
hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;
·
Penggolongan
rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa
dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.[2]
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak
banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan
dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak
istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan
perundang-undangan yang terjadi:
a.
Kitab UU
Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara,
diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
b.
Beberapa
peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang
berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
Ø Penghapusan
dualisme/pluralisme tata peradilan;
Ø Unifikasi
kejaksaan;
Ø Penghapusan
pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
Ø Pembentukan
lembaga pendidikan hukum;
Ø Pengisian
secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan
orang-orang pribumi.
2.
Periode Revolusi Fisik
Sampai Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
·
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini
adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan
nasionalisasi: Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan
penyederhanaan;
·
Mengurangi
dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali
badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah
Islam Tinggi.
b.
Periode
Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi
manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak
terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat
atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka
terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang
berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan
dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara,
yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No.
1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3.
Periode Demokrasi Terpimpin
Sampai Orde Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang
dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
a)
Menghapuskan doktrin
pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah
lembaga eksekutif;
b)
Mengganti lambang hukum
dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti pengayoman;
c)
Memberikan
peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas
proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan
bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan,
sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan
kontekstual.
b.
Periode
Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata
peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam
proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru
?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia;
di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU
Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan
lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan
penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada
masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
c.
Periode
Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden
Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI.
Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal
yang mengemuka adalah:
·
Pembaruan
sistem politik dan ketetanegaraan;
·
Pembaruan
sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
·
Pembaruan
sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan
kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum
memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum
seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum
mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari
ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden
Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam.
Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan
sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan.
Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu
arahnya.
B.
Peranan
Dan Fungsi Sejarah Hukum
Sebagai
mana lazimnya moral yang terdapat pada pelajaran sejarah, maka study mengenai
sejarah hukum ini akan mehasilkan keuntungan-keuntungan yang sama seperti orang mempelajari
sejarah umum. Salah satu dari keuntungan tersebut adalah, bahwa pengetahuan
kita mengenai system atau lembaga atau pengaturan hukum tertentu menjadi lebih
mendalam dan diperkaya. Kekeliruan-kekeliruan baik dalam pemahaman, maupun penerapan suatu lembaga atau
ketentuan hukum tertentu, diharapkan dapat dicegah dengan cara mendapatkan
keuntungan tersebut diatas.
Seperti
telah dijelaskan diawal bahwa sejarah hukum merupakan salah satu bidang study
hukum yang mempelajari perkembangan dan asal usul system hukum, mengungkap
fakta dan membandingkan antara hukum yang lampau dengan hukum sekarang ataupun
yang akan dating. Dalam peranannya sejarah hukum juga berusaha mengenali dan
memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, factor-factor yang menyebabkan dan sebagainya dan
memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum
dalam masyarakat.[3]
Di samping itu sejarah hukum juga mempunyai kegunaan:
Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi
kalangan hukum. Hukum tak akan mungkin berdiri sendiri, karena senantiasa
dipengaruhi oleh aspek-aspek kehidupan lain, dan juga mempengaruhinya. Hukum merupakan
hasil perkembangan dari salah satu aspek kehidupan manusia. Hukum masa kini
merupakan hasil perkembangan dari hukum masa lampau dan hukum masa kini
merupakan dasar bagi hukum masa yang akan dating. Sejarah hukum akan saling
melengkapi pengetahuan dikalangan hukum.
Hukum sebagai kadidah merupakan patokan perikelakuan
atau sikap tindak yang sepantasnya. Patokan tersebut memberikan pedoman,
bagaimana seharusnya manusia berkelakuan atau bersikap tindak, merupakan hasil
dari perkembangan pengalaman manusia semnjak dahulu kala. Kaidah-kaidah hukum
tersebut tahap demi tahap mengalami perombakan, peubahan, penyesuaian,
pengembangan dan seterusnya. Sejarah hukum akan dapat mengungkapan apa sebabnya
kaidah-kaidah pada masa kini mempunyai sifat dan isi tertentu. Tanpa sejarah
hukum tak akan dapat dimengerti mengapa pasal 293 dan 534 KUHP misalnya
berbunyi demikian, sehingga oleh sementara kalangan dianggap bertentangan
dengan program keluarga berencana.
Sejarah hukum juga berguna dalam praktik hukum. Sejarah
hukum sangat penting untuk mengadakan penaksiran secara historical terhadap
peraturan-peraturan
tertentu. Dalam bidang pendidikan hukum, sejarah hukum akan sangat membantu
mahasiswa untuk lebih memahami hukum yang dipelajarinya. Untuk penelitian hukum
sejarah hukum juga berguna terutama untuk mengungkap kebenaran dengan kaitannya
dengan masa lampau dan masa kini.
Sejarah hukum dapat mengungkapkan fungsi dan efektifitas
lembaga-lembaga
hukum tertentu. Artinya pada situasi-situasi semacam apakah suatu lembaga hukum benar-benar dapat berfungsi
atau malahan tidak berfungsi sama sekali. Ini sangan penting, terutama bagi
pembentuk dan penegak hukum. Akhirnya sejarah hukum memberikan kemampuan, untuk
dapat menilai keadaan- keadaan yang sedang dan memecahkan masalah-masalahnya.[4]
C. Sistem Hukum Nasional
Hukum nasional suatu
negara merupakan gambaran dasar mengenai tatanan hukum nasional yang dianggap
sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Bagi Indonesia ,
tatanan hukum nasional yang sesuai dengan masyarakat Indonesia adalah
yang berdasarkan Pancasila dengan pokok – pokoknya sebagai berikut :
Adalah kesadaran atau
perasaan hukum masyarakat yang menentukan isi suatu kaedah hukum. Dengan
demikian sumber dasar tatanan hukum Indonesiaadalah perasaan hukum
masyarakat Indonesia yang terjelma dalam pandangan hidup Pancasila.
Oleh karena itu dalam kerangka sistem hukum Indonesia , Pancasila
menjadi sumber hukum ( Tap MPRS No. XX/ MPRS / 1966 ).
Dalam penjelasan UUD
1945 , dinyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 memuat pokok-pokok pikiran sebagai
berikut :
·
Negara melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia dengan
berdasar atas persatuan.
·
Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
·
Negara yang berkedaulatan rakyat , berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Politik hukum yang dilakukan oleh
pemerintah berkaitan erat dengan wawasan nasional bidang hukum yakni cara
pandang bangsa Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus
ditempuh dalam rangka pembinaan hukum diIndonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik dibidang hukum
ditetapkan dalam GBHN.
Dalam TAP MPR dibawah
ini terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN, antara
lain:
a. TAP MPR No. 66 / MPRS /
1960
b. TAP MPR No. IV / MPR /
1973
c. TAP MPR No. IV / MPR /
1978
d. TAP MPR No. II / MPR /
1983
e. TAP MPR No. II / MPR /
1988
f. TAP MPR No. II / MPR /
1993
g. TAP MPR No. X / MPR /
1998
Tentang Pokok – pokok reformasi pembangunan dalam
rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara “.
h. TAP MPR No. VIII / MPR
/ 1998
Mencabut TAP MPR No. II
/ MPR/ 1998
i.
TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN
j.
Tap mpr No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai
dengan 2004.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah
pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami
sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum.
Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak
diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan
berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum
yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya
dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan
etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat
hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan,
koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat
dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis,
komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin
tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah
kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian
besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut
serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis
B. Saran
1.
Kita
sebagai masyarakat Indonesia seharusnya
kita tau bagaimana system penerintahan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. C.S.T.
Kansil, S.H. 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta, PN Balai Pustaka
R. Abdoel Djamali,
S.H. 1984, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung, Rajawali Pers
R. Soeroso, S.H.
1992, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, Sinar Grafika
0 comments