Pengertian Hukum Syara’/ syari’at

KATA PENGANTAR
 

       

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan  limpahan karunia  yang tidak terhingga  sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan  dengan baik selawat dan salam kepada janjungan alam nabi besar Muhammad Saw. pembawa  risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat manusia  didunia dan diakhirat.
Makalah ini mengkaji “Pengertian Syari’at dan Unsur Syara’ dan Pengertian Ahliyyah dan Pembagiannya”. Kami sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka dari ini kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bermasyarakat bagi para pembaca khususnya mahasiswa. Semoga juga menjadi amal yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.





Sigli, 28 Oktober 2014
Penulis



                                                                                    KELOMPOK 3



DAFTAR ISI
  Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................         i
DAFTAR ISI............................................................................................ ........ ii
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.    Latar Belakang..................................................................................... ........ 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.     Tujuan Pembahasan....................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN ............................................................................... 3
Syari’at
A.    Pengertian Hukum Syari’at............................................................................ 3
B.     Pembagian Hukum Syara’............................................................................. 3
C.     Bentuk-Bentuk Hukum Syara’...................................................................... 3
D.    Macam-Macam Hukum Wadh’i.................................................................... 5
E.     Objek Hukum (Mahkum Bih)........................................................................ 6
F.      Subjek Hukum............................................................................................... 6
G.    Pembuatan Hukum........................................................................................ 6

Ahliyyah
A.    Pengertian Ahliyyah...................................................................................... 7
B.     Pembagian Ahliyyah...................................................................................... 8
C.     Halangan Ahliyyah........................................................................................ 10

BAB III : PENUTUP............................................................................... ........ 12
A.    Kesimpulan........................................................................................... ........ 12
B.     Saran.............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum syari’at’ adalah hukum yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara adalah peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Ahliyyah adalah sifat yang menunjukan  bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya  dapat dinilai oleh syara. Oleh karena itu penyusun mencoba membuat tulisan sederhana untuk membahas ilmu yang berhubungan dengan hukum syari’at serta membahas tentang pinjam meminjam yaitu ‘Ahliyyah.

B.     Rumusan Masalah
Hukum Syari’at/ Syara’
1.      Apa pengertian hukum syara’?
2.      Berapa macam pembagian hukum syara’?
3.      Berapa macam bentuk-bentuk hukum taklifi?
4.      Berapa macam bentuk-bentuk hukum wadh’i?
5.      Apa pengertian mahkum bih?
6.      Apa pengertian mahkum alaih?
7.      Siapakah pembuat hukum (hakim) bagi umat Islam?
Ahliyyah
1.      Apa Pengertian Ahliyyah
2.      Ada berapa pembagian Ahliyyah




C.    Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami antara lain sebagai berikut:
1.      Pengertian Hukum Syara’
2.      Pembagian Hukum Syara’
3.      Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
4.      Bentuk-Bentuk Hukum Wadh’i
5.      Pengertian Mahkum Bih
6.      Pengertian Mahkum Alaih
7.      Pembuat Hukum (Hakim) Bagi Umat Islam
8.      Pengertian Ahliyyah
9.      Pembagian Ahliyyah
  


BAB II
PEMBAHASAN

I.            Hukum Syara’/Syari’at
A.    Pengertian Hukum Syara’/ syari’at
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[1]

B.     Pembagian Hukum Syara
Hukum syara terbagi dua macam:
a.         Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
b.         Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.

C.    Bentuk-Bentuk Hukum Syara
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
a.       Ijab, adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56 yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
b.      Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”[2]
Kalimat maka tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283), yang artinya: “Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
c.       Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
d.      Karanah,adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
e.       Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh. Yang artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.

D.    Macam-Macam Hukum Wadh’i
a.  Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.  Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c.  Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat waris.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d.  Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.
e.  Bathil, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjual belikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.



E.     Objek Hukum (Mahkum Bih)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
a.       Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
b.      Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
c.       Perbuatan itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
F.     Subjek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai berikut:
·         Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.
·         Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
·         Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.

G.    Pembuat Hukum (Hakim)
Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67 yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”

II.            Ahliyyah

A.    Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah (etimologi), ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. (H.R.Al-Bukari)
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukan  bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya  dapat dinilai oleh syara. Orang yang telah memiliki sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hokum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Kemampuan untuk bertindak hokum tidak dating kepada seseorang dengan sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya.[4]


B.     Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqh ,aliyyah (kepantasan) itu ada dua macam, sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya, yaitu :[5]
1.      Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum, bagi seseorang yang dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Hal ini  berarti bahwa segala tindakannya baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hokum. Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada adalah aqil, baligh, dan cerdas.
2.      Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya menerima hokum, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Ia juga dianggap telah berhak menerima harta waris dang anti rugi dari barang yang telah dirusak oleh orang lain.
Menurut ulama ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujud adalah sifat kemanusiaan yang tidak dibatasi umur, baligh, kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan sampai meninggal dunia, dan akan hilang apabila seseorang tersebut telah meninggal.  Berdasarkan aliyyah wujud, anak kecil yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan berhak pula untuk menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali, karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.
Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian:
1.      Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin). Janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamatwalaupun untuk sesaat. Dan apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima dapat menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu:
a.       Hak keturunan dari ayahnya
b.      Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitannya, bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena jika laki-laki, maka bagiannya lebih besar dari wanita, apabila wanita, maka kelebihan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris yang lain.
c.       Wasiat yang ditunjukan kepadanya
d.      Harta wakaf yang ditujukan kepadanya,
Para ulama ushul menetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan transaksi sepihak, dalam arti pihak yang menerima wasiat dan wakaf tidak harus menyatakan persetujuan untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan wakaf tidak perlu menyatakan penerimannya. Dalam hal ini, wasiat dan wakaf yang diperuntukan kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin tersebut.[6]
2.      Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila. Dalam status ahliyyah wujud (baik yang sempurna ataupun tidak), seseorang tidak dibebani tuntunan syara, baik bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa, maupun yang sifatnya tindakan hukum duniawi, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.
Namun, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukan tindakan hukum yang bersifat merugikan oranga lain, maka orang yang telah berstatus ahliyyah ‘ada ataupun ahliyyah wujud al-kamilah, wajib mempertanggung jawabkannya. Maka wajib memberikan ganti rugi dari hartanya sendiri, apabila tindakannya berkaitan dengan harta. Dan pengambilan berhak untuk memerintahkan waliuntuk mengeluarkan ganti rugi terhadapharta orang lain yang dirusak dari hartya anak itu sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya bersifat fisik rohani, seperti melukai ataupun membunuh, mak tindakan hukum anak kecil yang memiliki ahliyyah wajib al-wajib belum dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, karena ia dianggap belum cakap untuk bertindak hukum. Maka hukuman yang harusnya menerima qishas digantikan dengan membayar diyat. Sedangkan apabila orang tersebut telah berstatus ahliyyah ‘ada, maka ia bertanggung jawab penuh untuk meneri hukuman apapun yang ditentukan oleh syara atau pengadilan. Misalnya ia diwajibkan membayar ganti rugi terhadap harta orang lain yang dirusak dan ia pun harus menerima qishah.
C.    Halangan ahliyyah
            Dalam pembahasan awal, bahwa seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah karena disebabkan oleh hal-hal berikut:
a.       Awaridh samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
b.      Al awaridh al muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah pengampunan dan bodoh.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan, mengurangi, dan mengubahnya. Oleh karena itu, para ushul fiqh membagi halangan bertindak hokum itu dilihat dari segi objeknya dalam tiga bentuk :[7]
·         Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertintak, seperti gila, lupa, dan terpaksa. Sabda Nabi Muhammad SAW : “diangkatkan (pembebanan hokum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.(HR.Ibnu Majah dan Tabrani)
·         Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah ‘ada, seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah ‘ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertintak hokum. Maka tindakan yang bermanfaat bagi dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dianggap batal.
·          Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hokum seseorang, seperti orang yang berutang, dibawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat tersebut sebenarnya tidak mengubah ahliyyah ‘ada seseorang, tapi beberapa tindakan hukumnya berkaitan dengan masalah harta yang dibatasi.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
·         Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
·         Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
·         Hukum wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
·         Objek hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i
·         Mahkum ‘alaih atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
·         Pembuat hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah SWT.

Ahliyyah adalah sifat yang menunjukan  bahwa seseorang yang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya  dapat dinilai oleh syara. Orang yang telah memiliki sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hokum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.





B.     Penutup
Demikianlah isi pembahasan makalah kami ini, mohon maaf bila ada kesalahan ataupun kesilapan dalam penulisan maupun penyampaian makalah ini, Kesempurnaan datangnya dari Allah dan kekurangannya dari kam. Oleh karena itu kritikan dan saran yang bersifat membangun jiwa kami sangat kami harapkan demi tercapainya makalah kami di masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Syafi’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia
Khalaf, Abdul, Wahab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka Cipta
Haroen, Nasrun. 2000, Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama
Ayyub, Hasan. 2006, Al Muamalah Al Maliyah. Iskandaria : Dar Al Salam
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada


0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email