tafsir muammar




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia, sejahtera, dan kekal abadi. Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangannya pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan itu, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah perpisahan yang secara hukum dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan mengakibatkan perceraian. Karena kematian pun secara otomatis akan melekatkan status cerai kepada suami atau istri yang ditinggalkan. Selain itu, keputusan hakim juga berpengaruh dalam penentuan status. Apabila hakim tidak menghendaki atau tidak memutus cerai maka pernikahan tersebut tidak bisa dikatakan telah bubar.
Permasalahannya adalah setiap peceraian atau status cerai yang diinginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti, syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena, apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bahwasannya hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung.
Pada dasarnya rujuk berarti kembali, dan masih bersifat umum maka dari itu dalam pembahasan kali ini kami akan mencoba membahas atau menkhususkan arti rujuk tersebut kedalam sebuah pernikahan, kita semua mengetahi bahwa pernikahan itu ialah sebuah ikatan yang sangat kuat antara laki-laki dan perempuan (mitsaqah ghalidhon) sebagaimana dalam KHI disebutkan, terlepas dari itu muncul berbagai permasalahan-permasalahan dalam pernikahan seperti talak, cerai dan rujuk. Dan untuk menyelesaikannya telah berbagai disiplin ilmu mempelajarinya mulai dari ilmu perkawinan, UU perkawinan, antropologi keluarga dan fiqih munakahat

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari perceraian dan apa saja syarat-syarat perceraian serta alasan-alasan dilakukannya perceraian, akibatnya dilakukannya perceraian ?
2.  Apa pengertian rujuk dalam pernikahan serta rukun dan syarat sahnya rujuk ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari perceraian serta mengetahui syarat-syarat perceraian
2. Mengetahui alasan-alasan dilakukannya perceraian
3. Mengetahui akibatnya dilakukannya perceraian
4. Untuk mengetahui Apa itu  rujuk, macam rujuk, syarat dan rukun rujuk dan prosedur rujuk.
BAB II
PEMBAHASAN
A.          Pengertian Perceraian
Perceraian ialah penghapusan perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.[1] Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.[2]
Perceraian biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam (penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9).
Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89), sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama  untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
a.       Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.
b.      Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah.
c.       Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami.
d.      Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
e.       Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.

B.      Syarat-Syarat  Perceraian
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu[3] :
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.

C.      Sebab-Sebab Perceraian
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan mufakat saja antara suami dan istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan ini ada empat macam :
a.       Zina.
b.      Ditinggalkan dengan sengaja.
c.       Penghukuman yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.
d.      Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 B.W.).[4]
Undang-undang perkawinan Pasal 19 PP 9/1975  menambah dua alasan, yaitu :
a.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
b.      Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19 :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

D.      Akibat dari Perceraian
Akibat dari perceraian ada dua, yakni :
a.       Akibat bagi istri dan harta kekayaan.
Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang kedudukan harta benda di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur  menurut hukumnya masing-masing.[5]
Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian. Akan tetapi pasal 37 mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut penjelasan pasal 37 ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada penjelasan pasal 35 adalah sama dengan pasal 37.
b.      Akibat terhadap anak yang masih dibawah umur.
Akibat terhadap anak yang masih di bawah umur ada dua, yakni[6] :
1.     Perwalian
Masalah perwalian diatur dalam Pasal 220 dan Pasal 230. Dengan bubarnya perkawinan maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap anak-anak dan kekuasaan ini diganti dengan suatu perwalian. Mengenai perwalian ini ada ketentuan-ketentuan seperti berikut :
a.      Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian ia harus memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua orang tua itu yang harus menjadi wali. Hakim hanya dapat menetapkan salah satu dari orang tua. Siapa yang ditetapkan itu terserah kepada hakim sendiri.
b.      Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesutau hal yang penting, maka atas permintaan bekas suami atau istri, penetapan pengangkatan wali dapat diubah oleh hakim.

2.      Keuntungan-keuntungan yang ditetapkan menurut undang-undang atau menurut perjanjian perkawinan.
Hal-hal yang mengatur mengenai keuntungan bagi anak-anak terdapat dalam passal 231. Dengan perceraian hubungan suami istri terputus, tetapi hubungan dengan anak-anak tidak. Maka, sudah sepantasnya jika segala keuntunhan bagi anak-anak yang timbul berhubungan dengan perkawinan orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari perjanjian kawin, umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu keuntungan bagi si istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak atas keuntungan yang dijanjikan kepada ibunya.
Akibat lain yang dijelaskan adalah :
a.       Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).


A.    Pengetian Rujuk
Rujuk menurut bahasa,artinya kembali. Sedangkan menurut syarak, adalah mengembalikan istri yang masih dalam iddah talak , bukan talak bain, pada pernikahan semula , sesuai dengan peraturan yang di tentukan.”
Firman Allah SWT : 228
Artinya : “ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka ( para suami ) itu menghendaki islah. “ ( Q.S. Al-Baqarah : 228 ).
Maksud dari ayat diatas, adalah apabila seorang telah menceraikan istrinya , maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali ( islah ). Dengan pengertian bahwa mereka benar-benar sma-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung jawabantara satu dengan yang lainnya. Tetapi jika suami mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah , bahkan sebaliknya untuk menganiaya tanpa memberi nafkah , atau semata-mata untuk menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain. Maka suami tersebut, tidak berhak untuk merujuk istrinya.
Rujuk merupakan hak suami. Bila ia benar bermaksud baik, ia boleh mempergunakan haknya itu dan sah hukumnya. Suka atau tidak sukanya istri tidak menjadi halangan untuk sahnya rujuk.
Dalam kitab Fat-Hul Qarib dijelaskan bahwa tanpa izin dari istrinya , suami boleh merujuk istrinya :
 Jika seorang suami menalak istrinya satu atau dua kali , maka baginya boleh merujuk istri tanpa seizinnya, selama masa iddahnya belum habis.”
Sebagaimana keterangan diatas bahwa dalam rujuk tidak di syaratkan kerelaan bagi perempuan . karena rujuk merupakan hak suami,selama talak raj’i dan dalam masa iddah,  dengan tidak memandang suka atau tidak sukanya si istri. Begitu juga tidak dipandang rela atau tidak relanya walinya.
B.Macam Rujuk.
Seperti diketahui cara bercerai itu dalam islam ada enam macam sesuai dengan kondisi suami , istri ketika bercerai itu. Sehingga penjelasan cara rujuknya sebagai berikut.
Pertama, talak raj’i, dimana suami mentalak istrinya untuk pertamakali, sedangkan istrinya itu sudah pernah digaulinya secara seksual sempurna, dan istrinya itu tidaklah menebus talak itu. Cara rujuknya yaitu mereka dapat rujuk kembali tanpa tanpa nikah baru asal saja dilakukannya rujuk itu keadaan istri masih dalam masa iddah.
Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan tali perkawinan itu, maka bila seseorang telah menceraikan istrinya , ia diperintahkan oleh Allah SWT. Agar merujuknya kembali :
Firman Allah SWT : 231
Artinya : “ Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuknyalah mereka dengan cara yang baik , atau ceraikan mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). “ ( Q.S. Al-Baqarah : 231 ).
Kedua, talak bain sughra yaitu jika suami telah mentalak istrinya dengan mendapatkan tebusan (khulu), dari istrinya berupa uang atau barang , semacam ganti rugi karena penjatuhan talak itu adalah permintaan istri. Atau talak bain sughra yaitu suami menjatuhi talak kepada istrinya yang belum pernah dia gauli secara seksual.Cara rujuknya yaitu hendaknya apabila suami kembali (rujuk) padanya hendaklah melalui nikah baru lagi.
Ketiga , talak bain kubra ialah jika suami telah 3 kali menjatuhkan talak . sehingga apabila suami apabila ingin kembali ke mantan istrinya , yaitu mantan istrinya harus nikah dengan orang lain lagi , dan menunggu masa iddahnya.
Keempat, Fasakh yaitu diceraikan oleh hakim pengadilan . penceraian fasakh ini boleh rujuk tetapi harus dengan nikah baru. Artinya suami melamar lagi , dinikahkan lagi dengan saksi-saksi persis dengan pernikahan mereka semula dengan mahar yang baru.
Kelima, Cerai secara li’an yaitu menuduh istri didepan hakim secara berkali-kali bahwa dia telah berzina dengan laki-laki lain, akibatnya mereka bercerai untuk selama-lamanya. Artinya sang suami tidak boleh memperistrinya lagi , walaupun sang istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain berkali-kali.
Keenam , yaitu cerai akibat suami wafat, yaitu masa iddah bagi istri yang ditinggalkan suami karena wafat yaitu empat bulan sepuluh hari.setelah itu dia bebas untuk kawin dengan laki-laki muslim manapunyang dikendaki.
C.  Syarat dan Rukun Rujuk.
Syarat-syarat Rujuk yang harus dipenuhi antara lain :
1. Saksi untuk Rujuk.
Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunnahkan .
Didalam kitab Fat-Hul Mu’in bahwa saksi untuk rujuk itu disunnahkan :
Artinya : tidak disyaratkan mempersaksikan Rujuk, tapi disunnahkan .
Sedangkan Imam Syafi’i adanya saksi dalam rujuk itu diwajibkan .
Perbedaan pendapt ini disebabkan adanya pertentang antara qiyas dengan zahir nas Al-Qur’an . yaitu Firman Allah SWT :
Artinya : “ dan persaksikanlah dengan dua orang saksi  yang adil”
(Q.S. At-talak :2 ).
Ayat tersebut mewajibkan mendatangkan saksi. Akan tetapi , pengqiyasan hak rujuk dengan hak –hak lain yang diterima oleh seseorang menghendaki tidak adanya saksi. Oleh karena itu penggabungan antara qiyas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa perintah ayat tersebut sebagai sunnah.
2. Rujuk dengan Kata-kata / dengan Penggaulan Istri.
 -Rujuk dengan kata-kata .
Segolongan Fuqaha berpendapat bahwa rujuk hanya dapat terjadi dengan kata-kata saja.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa rujuk itu dipersamakan dengan perkawinan, dan allah SWT. Memerintahkan untuk diadakan persaksian , sedangkan persaksian hanya terdapat pada kata-kata.
Artinya :“ Rujuk dapat berhasil dari orang yang dapat berucap dengan beberapa lafal, anta lain :Saya kembali kepadamu dan kalimat yang dikembalikan kepadanya.
- Rujuk dengan Penggaulan Istri :
Fuqaha yang lain berpendapat bahwa rujuk harus dengan meenggauli istri dalam hal ini timbul dua pendapat dari imam malik dan imam abu hanifah :
Menurut Imam Malik, mengatakan bahwa rujuk dengan penggaulan , istri hanya dianggap sah apabila diniatkan untuk merujuk . karena bagi golongan ini. Perbuatan disamakan dengan kata-kata dan niat .
Sedangkan menurut,Imam Abu Hanifah yang mempersoalkan rujuk dengan penggaulan , jika ia bermaksud merujuk dan ia tanpa niat.
Perbedaan pendapat antara keduanya tersebut karena Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa rujuk itu mengakibatkan halalnya pergaulan, karena disamakan dengan istri yang terkena ila’ ( sumpah tidak akan menggauli istrinya ), disamping karena hak milik atas istri belum terlepas darinya , sehingga terdapat hubungan saling mewarisi antara keduanya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa menggauli istri yang ditalak raj’i adalah haram . Oleh karena itu diperlukan niat.

3. Kedua belah pihak istri yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik.
Jika keduanya tidak yakin dapat hidup kembali dengan baik , maka rujuknya tidak sah.
Allah SWT berfirman :
Artinya “ Kemudian jika si suami menalaknya ( sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya . maka tidak ada dosa bagi keduanya ( bekas suami pertama dan istri ) , untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum allah. Itulah hukum-hukum allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S.Al-Baqarah:230).
4. Istri telah dicampuri.
Jika Istri yang dicerai belum pernah dicampuri, maka tidak sah rujuk , tetapi dengan harus perkawinan baru lagi.
Allah SWT, Berfirman :
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman , kemudian kamu ceraikan sebelum kamu mencampurinya , maka sekali-kali tidak wajib atas iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berikannlah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya .” (Q.S.Al-Ahzab :49).
5 Istri baru diceraikan dua kali.
Jika istri telah diceraikan tiga kali maka tidak sah rujuk lagi. Hal ini seperti dijelaskan dalam surat al-baqarah :230 diatas.
Artinya :“dan tidak sah pula merujuk istri yang diseraikan dengan talak tiga ; tidak sah menikahinya lagi kecuali setelah tahlil.
Ada lima syarat jika suami telah menjatuhkan talak tiga dan ingin kembali ke istrinya yaitu :
a. Sudah habis masa iddah perempuan dari suami yang menalaknya .
b.Perempuan itu sudah pernah menikah dengan laki-laki selain suami yang  menlaknya , dengan pernikahan yang sah.
c.Suami lain (bukan yang pertama ) sudah menggaulinya dan mengenainya yaitu   sekira sudah memasukkan hasyafah ke vagina , tidak cukup memasukkan ke duburnya , dengan syarat alat laki-laki tersebut harus tegang serta yang memasukkan adalah orang yang mampu menjimaknya.
d.Suami ( bukan yang menalak ) sudah menalak bain kepadanya.
e.Sudah Habis masa iddahnya dari suami yang lain.
6.Istri yang dicerai dalam masa iddah raj’i.
Kalau bercerainya dari istri secara fasakh atau khulu atau cerai dengan istri yang ketiga kalinya, istri yang dicerai belum pernah dicampurinya , maka rujuknya tidak sah.
Rukun Rujuk dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Ada suami yang merujuk atau wakilnya.
Syarat orang yang merujuk adalah :
Artinya : “ Syarat orang yang merujuk adalah jika dia bukan orang yang ihram maka harus orang yang ahli nikah dengan sadar diri , dan ketika yang demikian itu, maka sahlah rujuk orang yang mabuk . tidak sah rujuk orang murtad, anak kecil dan orang gila , karena masing-masing bukan orang yang ahli nikah dengan sadar diri. Berbeda dengan orang yang bodoh dan budak.maka perujukannya adalah sah tanpa sepengetahuan wali tau sayid, meskipun permulaan pernikan keduanya terhenti untuk memperoleh izin wali adan sayid.
2. Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya.
3. Kedua belah pihak ( mantan suami dan istri ) sama-sam suka  dan ingin islah.
4. Dengan Pernyataan ijab dan kabul .
Seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya :
saya mengembalikanmu pada pernikannku” atau “ saya memegangmu atas pernikahan”, maka keduanya adalah terang dalam hal merujuk. Sedangkan ucapan perujuk : “ saya mengawinimu” atau “saya menikahimu”keduanya adalah kinayah.

D.Prosedur Rujuk.
Adapun prosedur rujuk sebagai berikut :
a. Dihadapan PPN ( Pegawai Pencatat Nikah ), Suami mnegikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan minimal dua orang saksi.
b.PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya dihadapan suami-istri tersebut serta saksi-saksi dan selanjudnya masing-masing mebubuhkan tanda tangan.
c.PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama.
d.Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e.PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkan ke Pengadilan Agama yang akan mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
f.Suami istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan agama untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-masing.
g.Pengadilan agama memberikan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan kutipan buku pendaftaran rujuk.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perceraian ialah penghapusan perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat.
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Alasan-alasan peceraian tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19.
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.
      
 Akibat dari perceraian yaitu, akibat bagi istri dan harta kekayaan, dan akibat terhadap anak yang masih dibawah umur, serta masih ada akibat-akibat yang lainnya, yaitu :
a.       Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).
Rujuk  menurut bahasa, artinya kembali. Sedangkan menurut syarak, adalah mengembalikan istri yang masih dalam iddah talak , bukan talak bain, pada pernikahan semula , sesuai dengan peraturan yang di tentukan.”
Rujuk dapat dikemukakan sebagai berikut :
·         Ada suami yang merujuk atau wakilnya.
·         Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya.
·         Kedua belah pihak ( mantan suami dan istri ) sama-sam suka  dan ingin isla
·         Dengan Pernyataan ijab dan kabul .
Hadhanah menurut bahasa adalah meletakkan sesatu dekat tulang rusuk seperti menggendong , atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Sedangkan hadahanah menurut istilah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.
B.     Saran
Demikian makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai putusnya perkawinan, khususnya perceraian. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA


Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009)
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989)
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991).



[1]   Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), hlm.42.
[2]  Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), hlm.116.
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm.227.
[4]  Subekti, hlm.43.
[5]   Sudarsono, hlm.122.
[6]  Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm.133.

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email