BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap makhluk yang dianugerahi
potensi ruh, hati dan akal di dunia ini memiliki fitrah untuk mengabdi kepada
Sang Pencipta alam semesta. Makhluk itu adalah dari bangsa Jin dan manusia.
Allah Azza Wajalla menegaskan hal tersebut
dalam firman-Nya surah Adz Dzaariyaat ayat 56. “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"
Ayat di atas menggambarkan alasan
utama Allah menciptakan jin dan manusia. Manusia selain memiliki ketiga potensi
dasar, dilengkapi dengan potensi ragawi (fisik) dan dengan itu manusia disebut
makhluk yang paling sempurna dalam kejadiannya. Sehingga dengan bekal potensi
tersebut manusia dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya di dunia. Untuk
lebih jelasnya dalam makalah ini kami akan membahas mengenai prinsip-prinsip
Belajar dalam Pendidikan Islam, Pengaruh Ibadah Terhadap Kejiwaan dan Sejarah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
Belajar ?
2. Bagaimana Prinsip belajar
dalam Pendidikan Islam ?
3.
Apa saja Prinsip-prinsip dalam Pendidikan Islam ?
4.
Bagaimana Hubungan aqidah dengan ibadah ?
5.
Bagaimana Pengaruh Akidah dan Ibadah Terhadap Kejiwaan dan
Sejarah ?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami Pengertian
Belajar
3.
Mengetahui dan
memahami Prinsip-prinsip
dalam Pendidikan Islam
4.
Mengetahui dan
memahami Hubungan aqidah dengan ibadah
5.
Mengetahui dan
memahami Pengaruh Akidah dan Ibadah Terhadap Kejiwaan dan
Sejarah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Belajar
Sumadi Suryabrata menjelaskan pengertian belajar dengan mengidentifikasikan
ciri-ciri yang disebut belajar, yaitu: “Belajar adalah aktivitas yang
dihasilkan perubahan pada diri individu yang belajar (dalam artibehavioral changes) baik aktual maupun potensial;
perubahan itu pada pokoknya adalah diperolehnya kemampuan baru, yang berlaku
dalam waktu yang relatif lama; perubahan itu terjadi karena usaha”[1]
Bertolak dari pemahaman di atas dapatlah ditegaskan, bahwa belajar
merupakan perbuatan tingkah laku dan penampilah dengan serangkaian aktivitas
misalnya: membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Dengan
demikian, belajar juga bisa dilihat secara makro dan mikro, luas dan khusus.
Dalam arti makro, luas, belajar dapat diartikan sebagai aktivitas
ruhani-jasmani menuju perkembangan pribadi yang utuh.
B. Prinsip belajar dalam Pendidikan Islam
1.
Prinsip motivasi
Apabila ada motivasi kuat untuk meraih
tujuan tertentu dan kondisi yang sesuai perkembangan manusia. Setiap orang akan
mencurahkan kesungguhannya untuk mencari metode-metode yang tepat dalam meraih
tujuan tersebut. Al Qur’an menggunakan metode dalam membangkitkan motivasi
dengan menggunakan metode tarqib dan tarhib (reward and punishman).
a. Membangkitkan motivasi melalui tarqib kaum muslimin dipengaruhi oleh dua motivasi kuat yaitu
harapan akan rahmat Allah yang mendorong mereka untuk melaksanakan ibadah, tugas
serta semua yang diperintahkan syariat.
b. Membangkitkan motivasi dengan cerita yaitu cerita telah menjadi
sarana penting yang digunakan al Qur’an untuk membangkitkan motivasi belajar,
sebab cerita dapat menimbulkan stimulus dan menghadirkan perhatian para
pendengar dan pencerita.
c. Memanfaatkan peristiwa-peristiwa penting yakni faktor yang
membantu membangkitkan motivasi dan perhatian adalah terjadinya beberapa
peristiwa atas masalah penting yang menggetarkan emosi manusia, menimbulkan
perhatian dan ditelaah serta dipetik hikmahnya.
2.
Prinsip Pengulangan
Dalam al
Qur’an kita menemukan pengulangan mengenai beberapa kebenaran berkaitan
dengan akidah dan perkara ghaib yang ingin diluluhkan al Qur’an di dalam hati,
seperti keyakinan tauhid. Seperti ayat yang diulang dalam al Qur’an surah ar
Rahman ayat 13:
Ädr'Î6sù ÏäIw#uä $yJä3În/u
Èb$t/Éjs3è? ÇÊÌÈ
Artinya: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan?
3.
Prinsip Perhatian
Perhatian merupakan faktor penting dalam
belajar misalnya dalam proses belajar-mengajar (PBM) anak didik akan mendapat
informasi-informasi serta menelaah kembali yang kemudian akan dipahami dari
hasil perhatian ia terhadap pembelajaran. Lebih jauh lagi ia akan dapat
mempelajari dan mengingat pelajaran itu untuk selanjutnya.
4.
Prinsip Partisipasi aktif
Keterampilan (afektif) motorik
mengharuskan siswa melakukan keterampilan tersebut secara sungguh-sungguh serta
melatihnya hingga mahir. Latihan praktis tidak hanya penting dalam mempelajari
keterampilan motorik saja, tetapi juga dalam mempelajari ilmu-ilmu teoritis
yaitu dalam mempelajari akhlak, keutamaan, nilai-nilai etika bermasyarakat,
mempelajari wudhu, melaksanakan salat tepat waktu, membiasakan kebersihan,
ketekunan, ketaatan, keteraturan dan kesabaran. Semua itu harus dilakukan
secara partisipasi aktif setiap hari dan dibiasakan.
5.
Prinsip Pembagian belajar
Beberapa studi eksperimen yang diadakan
para psikolog modern mengungkapkan bahwa belajar yang dihasilkan dengan metode
pembagian itu lebih utama ketimbang dengan belajar yang dihasilkan dengan
metode terpusat. Metode terpusat adalah metode yang tuntas dalam rentang waktu
yang bersambungan tanpa diselingi waktu istirahat. Prinsip ini sudah diterapkan
dalam al Qur’an, sebab al Qur’an diturunkan dalam rentang waktu panjang yang berjauhan
dari rentang masa yang panjang sekitar 23 tahun. Hal itu dapat menjadikan
manusia dapat mempelajari al Qur’an dengan mudah serta dapat memahami kandungan
isinya. Jika al Qur’an diturunkan sekaligus, niscaya sulit untuk memahami dan
mempelajari isi dan makna yang terkandung dalam al Qur’an.
6.
Prinsip Perubahan perilaku secara bertahap
Melepaskan beberapa kebiasaan buruk yang
sudah mengakar sekian lama sehingga kebiasaan buruk itu mendarah daging dalam
tubuh kita bukanlah sesuatu yang enteng. Sebab itu, membutuhkan kemauan yang
kuat, kesungguhan yang besar, dan latihan yang panjang. Maka dari itu, cara
yang paling baik yang dapat diikuti untuk meninggalkan kebisaan-kebiasaan buruk
yang sudah mengakar adalah berupaya untuk melepaskannya secara bertahap. Dalam
memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk Islam mengikuti dua metode:
a. Metode pertama,
menangguhakan perbaikan kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut sampai keimanan
menguat dalam kalbu orang muslim.
b. Metode kedua, yang
dipergunakan al Qur’an dalam memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk adalah
melatih kesiapan mental kaum muslimin untuk menanggalkan kebiasaan-kebiasaan
buruk tersebut. Ini dilakukan dengan jalan membentuk respons yang berlawanan
secara bertahap dengan respons yang dituntut untuk dilepaskan.
Al-Qur’an memberikan pandangan yang
mengacu pada kehidupan di dunia ini
sehingga dasar-dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam.
Seseorang tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam tanpa mengambil
Al-Qur’an sebagai satu-satunya rujukan.[2]
Teori pendidikan Islam utamanya hendaknya
berasal dari Al-Qur’an, sehingga teorinya mempunyai ketepatan begitu pula dengan prinsip belajar dalam
pendidikan islam. Karena ayat al-Qur’an
bukanlah untuk waktu yang terbatas melainkan untuk jangka waktu yang
panjang dan tanpa batas selalu bersifat dinamis sesuai kebutuhan umat manusia.
Secara fundamental teori Pendidikan Islam
berdasarkan konsep-konsep Al-Qur’an. Oleh karenanya teori ini terbuka pintu
bagi konsep-konsep lain yang berbeda yang memberi dukungan perspektif al-Qur’an
secara tepat. Semua asas-asas yang tidak dapat didamaikan dengan asas-asas
dasar Islam harus ditinggalkan.
C. Prinsip-prinsip dalam Pendidikan Islam
Prinsip-prinsip pendidikan islam
meliputi, prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip persamaan, prinsip
pendidikan seumur hidup, dan prinsip keutamaan.
1.
Prinsip
Integrasi
Suatu prinsip yang seharusnya dianut
adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu,
mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak dapat di elakkan agar
masa kehidupan dunia ini benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke
akhirat. Persiapan-persiapan merupakan kegiatan yang layak di dunia. Perilaku
yang terdidik dan nikmat tuhan apapun yang didapat didalam kehidupan harus
diabdikan untuk mencapai kelayakan-kelayakan itu, terutama dengan mematuhi
ketetapan Tuhan. Disinilah letak pentingnya kedewasaan diri secara utuh
sehingga dapat mengendalikannya supaya setiap perilaku sesuai dengan keinginan
Tuhan untuk kesejahteraan hidupnya sendiri, sesama manusia, dan lingkungannya.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلاَ تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَالدُّنْيَا
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepada mu (kebahagiaan ) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagiaan mu dari kenikmatan duniawi, “ (QS : Al-Qashash 77)
Ayat ini menunjukkan kepada prinsip
integrasi, dimana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan kepada satu
arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan. Keselamatan hanya
dapat dicari dengan menumbuhkan diri sesuai dengan fitrahnya yang baik itu,
sebaliknya kegagalan akan didapat jika fitrahnya di selewengkan kearah yang
negatif.
2.
Prinsip
Keseimbangan
Prinsip keseimbangan merupakan
keharusan dalam pengembangan dan pembinaan manusia sehingga tidak adanya
kepincangan dan kesenjangan antara material, spiritual, maupun unsure jasmani,
dan rohani. Didalam Al-Quran Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan.
Iman adalah unsure yang menyangkut dengan hal spiritual, sedangkan amal adalah
yang menyangkut dengan material, yaitu jasmani. Hal ini diperjelas dalam firman
Allah swt.
فَمَن يَعْمَل مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلاَ كُفْرَانَ لِسَعْيِهِوَإِنَّا لَهُ كَاتِبُونَ
“maka barangsiapa yang mengerjakan
amal shaleh, sedang ia beriman, maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya
itu dan sesungguhnya Kami menuliskan amalannya itu untuknya”. (QS: Al-Anbiyaa’
94)
3.
Prinsip
Persamaan
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلنَاكُمْشُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّاللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-menganal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal”. (QS: Al-Hujuraat 13)
Prinsip ini berakar dari konsep
dasar tentang yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik
antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, suku, ras, maupun warna kulit,
sehingga siapapun orangnya tetap mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.
4.
Prinsip
Pendidikan Seumur Hidup
Prinsip pendidikan seumur hidup
bukanlah hal yang baru, di kalang umat islam ada ungkapan seperti, tuntutlah
ilmu mulai dari ayunan sampai keliang lahad. Sesungguhnya prinsip ini bersumber
dari pandangan manusia mengenai kebutuhan dan keterbatasan didalam hidupnya
yang selalu berhadapan dengan tantangan dan godaan yang dapat menjerumuskan
manusia itu sendiri kedalam jurang kehinaan. Dengan demikian, manusia dituntut
untuk menjadi pendidik bagi dirinya sendiri agar dapat mempaerbaiki dan
meningkatkan kualitas dirinya serta menyesali perbuatan yang menyimpang dari
jalan lurus.
Manusia berkewajiban mendidik
dirinya sendiri dengan senantiasa mengabdi kepada Tuhannya denga penuh
kesadaran serta berusaha untuk menambah ilmunya.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
@Ï%
öNä3s9
(#qßs¡¡xÿs?
Îû
ħÎ=»yfyJø9$#
(#qßs|¡øù$$sù
Ëx|¡øÿt
ª!$#
öNä3s9
(
#sÎ)ur
@Ï%
(#râà±S$#
(#râà±S$$sù
Æìsùöt
ª!$#
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
öNä3ZÏB
tûïÏ%©!$#ur
(#qè?ré&
zOù=Ïèø9$#
;M»y_uy
4
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
×Î7yz
ÇÊÊÈ
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
(QS: Al-Mujadilah 11)
5.
Prinsip
Keutamaan
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلماً
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS : Thaahaa 114).
Dengan prinsip keutamaan ini,
pendidik bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik,
tetapi lebih dari itu turut membentuk kepribadiannya dangan perlakuan dan
keteladanan yang ditunjukkan pendidik tersebut. Penerapan prinsip keutamaan ini
adalah tindakan nyata seperti, perlakuan dan keteladanan. karena itu prinsip
keutamaan sebagai landasan penerapan konsep-konsep pendidikan sekaligus menjadi
tujuan pendidikan itu sendiri, yakni merupakan sesuatu yang diharapkan
terbentuk dan tertanam pada diri setiap hasil didik.[3]
D.
Hubungan aqidah dengan ibadah
Akidah
menempati posisi terpenting dalam ajaran agama Islam. Ibarat sebuah bangunan,
maka perlu adanya pondasi yang kuat yang mampu menopang bangunan tersebut
sehingga bangunan tersebut bisa berdiri dengan kokoh. Demikianlah urgensi
akidah dalam Islam, Akidah seseorang merupakan pondasi utama yang menopang
bangunan keislaman pada diri orang tersebut. Apabila pondasinya tidak kuat maka
bangunan yang berdiri diatasnya pun akan mudah dirobohkan.
Selanjutnya
Ibadah yang merupakan bentuk realisasi keimanan seseorang, tidak akan dinilai
benar apabila dilakukan atas dasar akidah yang salah. Hal ini tidak lain karena
tingkat keimanan seseorang adalah sangat bergantung pada kuat tidaknya serta
benar salahnya akidah yang diyakini orang tersebut. Sehingga dalam diri seorang
muslim antara akidah, keimanan serta amal ibadah mempunyai keterkaitan yang
sangat kuat antara ketiganya.
Muslim apabila akidahnya telah kokoh maka keimanannya akan semakin kuat,
sehingga dalam pelaksanaan praktek ibadah tidak akan terjerumus pada praktek
ibadah yang salah. Sebaliknya apabila akidah seseorang telah melenceng maka
dalam praktek ibadahnya pun akan salah kaprah, yang demikian inilah akan
mengakibatkan lemahnya keimanan.[4]
Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap tegak berdiri,
maka dibutuhkan adanya sarana untuk memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah
merupakan bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada allah. Ibadah dilakukan
dalam rangka mendekatkan diri kepada allah untuk meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan terhadap allah.
Manusia sebagai
makhluk yang paling sempurna, sejak kelahirnya telah dibekali dengan akal
pikiran serta perasaan (hati). Manusia dengan akal pikiran dan hatinya tersebut
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar, dapat mempelajari
bukti-bukti kekuasaan Allah, sehingga dengannya dapat membawa diri mereka pada
keyakinan akan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia
untuk tidak mengakui keberadaan Allah SWT. karena selain kedua bekal yang
dimiliki oleh mereka sejak lahir, Allah juga telah memberikan petunjuk berupa
ajaran agama yang didalamnya berisikan tuntunan serta tujuan dari hidup mereka
di dunia.
Ibadah
mempunyai hubungan yang erat dengan aqidah. Antaranya :
1.
Ibadah
adalah hasil daripada aqidah yaitu keimanan terhadap Allah sebenarnya
yang telah membawa manusia untuk beribadat kepada Allah swt.
2.
Aqidah
adalah asas penerimaan ibadah yaitu tanpa aqidah perbuatan seseorang manusia
bagaimana baik pun tidak akan diterima oleh Allah swt.
3.
Aqidah
merupakan tenaga penggerak yang mendorong manusia melakukan ibadat serta
menghadapi segala cabaran dan rintangan.
Akidah adalah
merupakan pondasi utama kehidupan keislaman seseorang. Apabila pondasi utamanya
kuat, maka bangunan keimanan yang terealisasikan dalam bentuk amal ibadah orang
tersebut pun akan kuat pula.
Amal ibadah
tidak akan bisa benar tanpa dilandasi akidah yang benar. amal ibadah dinilai
benar apabila dilakukan hanya untuk Allah semata dengan ittiba’ Rasul SAW.
Manusia diberi akal pikiran agar dengan akal pikiran tersebut mereka dapat
membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mempelajari tanda-tanda kekuasaan
Allah, menganalisa hakikat kehidupannya sehingga dia tahu arah dan tujuan
dirinya diciptakan di dunia. Akal pikiran dan perasaan inilah yang
membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain. Oelh karena itu manusia
dipercaya untuk menjadi khalifah Allah di Bumi.
E.
Pengaruh Akidah dan Ibadah Terhadap Kejiwaan
dan Sejarah
1.
Kebahagiaan dan kesenangan hidup yang hakiki di dunia dan
akhirat
Allah
Ta’ala berfirman,
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di
akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
(QS. an-Nahl:97)
Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)”
dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki
yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup
semua kesenangan hidup yang hakiki.[5]
Sebagaimana orang yang
berpaling dari petunjuk Allah dan tidak mengisi hidupnya dengan beribadah
kepada-Nya, maka Allah Ta’ala akan menjadikan sengsara hidupnya di dunia dan
akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَعْمَى}
“Dan barangsiapa yang berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS
Thaaha:124).
2. Kemudahan semua urusan dan
jalan keluar/solusi dari semua masalah dan kesulitan yang dihadapi
Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
“Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar
(dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang
tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Ketakwaan yang sempurna
kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah
yang wajib dan sunnah (anjuran), serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan
dan dibenci oleh Allah Ta’ala.
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ
يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS.
ath-Thalaaq:4). Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua)
urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera
(menyelesaikan masalah yang dihadapinya).
3.
Penjagaan dan taufik dari Allah Ta’ala
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah bin Abbas
(احفظ الله يحفظك، احفظ الله
تجده تجاهك)
“Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka
Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu“.
Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah”
adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta
menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan makna “kamu
akan mendapati-Nya dihadapanmu“: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi
pertolongan dan taufik-Nya kepadamu.
Keutamaan yang agung ini
hanyalah Allah Ta’ala peruntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan predikat
sebagai wali (kekasih) Allah Ta’ala, yang itu mereka dapatkan dengan selalu
melaksanakan dan menyempurnakan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik ibadah yang
wajib maupun sunnah (anjuran).[6]
Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa
yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang
(pemusuhan) terhadapanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku
dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai dari pada (ibadah) yang Aku
wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
(ibadah-ibadah) yang sunnah (anjuran/tidak wajib) sehingga Akupun mencintainya…“
4. Kemanisan dan kelezatan
iman, yang merupakan tanda kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ذاق
طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً
“Akan
merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala
sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya“.
Imam an-Nawawi – semoga
Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan hadits di atas, berkata, “Orang
yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain
jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai
dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya
kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan
kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”.
Sifat inilah yang dimiliki
oleh para
sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala,
kemudian karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan
ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ
إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ
الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi
Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan
menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka
itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS
al-Hujuraat:7).
5. Keteguhan iman dan ketegaran
dalam berpegang teguh dengan agama Allah
Allah Ta’ala berfirman,
{يُثَبِّتُ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي
الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}
“Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim
dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Ibrahim:27).
Fungsi ibadah dalam
meneguhkan keimanan sangat jelas sekali, karena seorang muslim yang merasakan
kemanisan dan kenikmatan iman dengan ketekunannya beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah, maka setelah itu – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dia
tidak akan mau berpaling dari keimanan tersebut meskipun dia harus menghadapi
berbagai cobaan dan penderitaan dalam mempertahankannya, bahkan semua cobaan
tersebut menjadi ringan baginya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Belajar
merupakan perbuatan tingkah laku dan penampilah dengan serangkaian aktivitas
misalnya: membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Prinsip belajar dalam Pendidikan Islam yaitu: Prinsip motivasi, Prinsip
Pengulangan, Prinsip Perhatian, Prinsip
Partisipasi aktif, Prinsip
Pembagian belajar, Prinsip Perubahan
perilaku secara bertahap.
Prinsip-prinsip
dalam Pendidikan Islam meliputi:
a. Prinsip
Integrasi
b. Prinsip
Keseimbangan
c. Prinsip
Persamaan
d. Prinsip
Pendidikan Seumur Hidup
e. Prinsip
Keutamaan
Pengaruh
Akidah dan Ibadah Terhadap Kejiwaan dan Sejarah
a. Kebahagiaan dan kesenangan
hidup yang hakiki di dunia dan akhirat
b.
Kemudahan semua urusan dan jalan keluar/solusi dari semua
masalah dan kesulitan yang dihadapi
c. Penjagaan dan taufik dari
Allah Ta’ala
d.
Kemanisan dan kelezatan iman, yang merupakan tanda
kesempurnaan iman
e.
Keteguhan iman dan ketegaran dalam berpegang teguh dengan
agama Allah
B. Saran
Penulis menyadari akan banyaknya
kekurangan dalam makalah ini, baik dari ejaan penulisan, tata kalimat, tata
bahasa maupun yang lainnya. Oleh karena banyaknya kekurangan dalam makalah ini,
penulis mengharapkan adanya wujud apresiasi pembaca untuk memberikan koreksi
dan masukkan agar penulis mampu memperbaikinya dan tidak melakukan kesalahan
sama untuk yang kedua kalinya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Shaleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan
Islam berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
Hitami, Munzir. Mengonsep Kembali
Penddikan Islam, (Yogyakarta : Infinity Press)
https://anitadeka.wordpress.com/2013/07/15/hubungan-aqidah-ibadah-muamalah-dan-ahklak/
Mubarak Dzaky, dkk, Pengembangan kepribadian
terintegrasi manusia, akhlak, budi pekerti, dan masyarakat, (Depok: Lembaga
penerbit VI UI, 2008)
Sumadi
Suryabrata, Proses Belajar mengajar Di Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta, Andi Ofset, 1983)
[1] Sumadi
Suryabrata, Proses Belajar mengajar Di Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta, Andi Ofset, 1983), hal. 5
[2]Abdurrahman
Shaleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Islam berdasarkan Al-Qur’an,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h.20
[4]
https://anitadeka.wordpress.com/2013/07/15/hubungan-aqidah-ibadah-muamalah-dan-ahklak/
[5] Mubarak
Dzaky, dkk, Pengembangan kepribadian terintegrasi manusia, akhlak, budi
pekerti, dan masyarakat, (Depok: Lembaga penerbit VI UI, 2008), hal. 20.
[6]
Ibid., hal. 22
0 comments