BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Konstruksi
dasar pembinaan hukum Islam telah diletakkan oleh Rasulullah SAW yang
bentuk-bentuk cakupan hukum yang diformulasikannya dapat berupa; pertama,
penjelasan yang berkaitan dengan arti dan maksud al-Qur’an yang kemudian
dijelaskan oleh Nabi dalam contoh dan perbuatan.Kedua, penjelasan yang
berkaitan dengan perluasan dasar-dasar yang dinyatakan oleh al-Qur’an yang
kelihatannya menambah hukum yang dinyatakan al-Qur’an itu sendiri, dan ketiga,
penjelasan yang berkaitan dengan pembatasan/pengurangan kandungan al-Qur’an.
Dari konstruksi
Nabi tersebut, kemudian para teoritisi hukum Islam mulai menyusun konstruksi
metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadis dalam usaha untuk mendekatkan
pemahaman kepada maksud dan tujuan syari’at serta berusaha untuk mendekatkan
hasil penalaran/pemahaman tersebut dengan realitas sosial yang berkembang
ditengah-tengah masyarakat.
Para
mujtahid tidak membuat, tetapi hanya menemukan hukum. Hal itu adalah karena
keyakinan dalam Islam bahwa hukum dibuat oleh Tuhan sebagai asy-Syari’ (pembuat
hukum). Manusia hanyalah memahami (fiqh) hukum Ilahi tersebut. Proses
pemahaman terhadap hukum itu disebut istinbaht al-hukm melalui
kegiatan intelektual yang disebut ijtihad. Hasil-hasil hukum yang
diistinbat melalui kegiatan ijtihad itu dinamakan fiqih.
Penemuan hukum dimaksudkan sebagai suatu proses individualisasi dan
konkretisasi peraturan-peraturan umum dengan mengaitkannya kepada
peristiwa/kasus khusus. Penemuan hukum berbeda dengan penelitian hokum yang
lebih luas sifatnya. Penemuan hukum bersifat klinis yang bertujuan untuk
menjawab pertanyaan apa hukum suatu kasus konkret tertentu. Penelitian
hukum menyelidiki hukum sebagai sebuah fenomena sosial dengan mempelajari hubungannya
dengan fenomena sosial lainnya. Juga melakukan penyelidikan normatif terhadap
hukum untuk melakukan inventarisasi peraturan hukum, menemukan asas/doktrin
hukum, meneliti taraf sinkronisasi dan sistematik hukum serta menemukan hukum
untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian sesungguhnya
penemuan hukum hanyalah sebagian dari penelitian hukum
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Metode Ta’lili ?
2.
Apa yang dimaksud ‘Illat Qiyasi ?
3.
Apa yang dimaksud ‘Illat Istihsani ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui dan memahami Pengertian
Metode Ta’lili
2.
Mengetahui dan memahami ‘Illat Qiyasi
3.
Mengetahui dan memahami ‘Illat Istihsani
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metode Ta’lili
Metode kausasi (at-ta’lil)
merupakan bagian penting dalam penemuan hukum syar’i karena metode ini
merupakan upaya penemuan hukum untuk kasus yang tidak ada teks hukumnya. Di
sini teks hukum yang ada diperluas cakupannya sehingga bisa mencakup
kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya (nasnya).
Yang dimaksud dengan ijtihad
ta’lili adalah mengambil kesimpulan hukum dari nas dengan
pertimbangan ‘illat al-hukm (pangkal sebab/alasan)
ditetapkannya suatu hukum. Kemudian diambil sebagai bahan perbandingan (miqyas)
bagi peristiwa hukum yang di luar nas yang dimaksud dengan jalan analogi.[1]
Untuk melakukan istinbath hukum
secara qiyasi (ta’lili), menurut mayoritas teoretisi hukum Islam
diperlukan beberapa rukun yang harus dipenuhi, yaitu :
a.
al-ashl, kasus asal, yang ketentuannya
telah ditetapkan dalam nas, dan analogi berusaha memperluas ketentuan itu
kepada kasus baru;
b.
al-far’, kasus baru, sasaran penerapan
ketentuan asal;
c.
al-‘illat, kausa, yang merupakan sifat dari
kasus asal dan ditemukan sama dengan kasus baru;
d.
al-hukm (ketentuan) kasus asal yang
diperluas kepada kasus baru.
Untuk melakukan istinbath hukum
secara qiyasi, maka ‘illat hukum merupakan hal yang pokok dan
perlu diperhatikan. Maka sebagian ulama ushul seperti al-Bazdawi berpendapat
bahwa rukun qiyas itu hanya satu yaitu ‘illat saja.
Oleh karena itu, cara ini kemudian
dikenal juga dengan metode istinbath isti’lali, yakni metode
mengambil kesimpulan hukum yang didasarkan kepada ‘illat hukum. Misalnya
tentang larangan membakar/memusnahkan harta anak yatim yang diqiyaskan dengan
larangan memakan harta mereka dengan batil.
B. ‘Illat Qiyasi
1.
Pengertian ‘Illat Qiyasi
‘Illat qiyasi adalah pemberlakuan ‘illat terhadap
sesuatu yang tidak disebutkan secara tekstual karena adanya kesamaan dengan
sesuatu yang telah disebut secara tekstual. Sebagai misal adalah haramnya
minuman keras seperti wiski, tuak, brandi dan lain sebagainya, yang memiliki
kesamaan ‘illat dengan khamr (sebagai asal yang ada nas hukumnya). Kesamaan
‘illatnya ialah memabukkan. Wiski dan minuman keras sejenis sebagai cabang yang
memiliki sifat memabukkan, oleh karenanya ia menjadi haram.
Qiyas sebagai salah satu kaidah penalaran dalam ushul fiqih diterima secara
luas oleh kalangan fuqaha. Hanya sebagian kecil saja yang menolak qiyas. Mereka
adalah kalangan mazhab Zahiri terutama Ibnu Hazm. Bagi Ibnu
Hazm penggunaan qiyas adalah sesuatu yang mengada-ada. Allah hanya membebani
hamba-Nya sesuai dengan kemampuannya. Jadi apa-apa yang tidak disebutkan dalam
nas, merupakan sebuah keringanan bagi seorang mukallaf dan hukumnya mubah.
Karena itu tidak perlu membuat ketentuan baru.[2]
2.
Rukun
Qiyas memiliki 4 rukun, yang akan
dijelaskan sebagai berikut :
a.
Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada
nashnya yang dijadikan tempat mengkiyaskan . Ashl juga
disebut maqis alaih(yang dijadikan tempat mengkiyaskan), mahmul
alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat
menyerupakan).
b.
furu’ (cabang), suatu peristiwa
yang yang tidak ada nashnya.Furu’ disebut juga
dengan maqis (yang sianalogikan), ataumusyabbah (yang
diserupakan).
c.
hukum ashl , yaitu
hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
d.
Illat , yaitu suatu sifat yang terdapat
pada hukum asal, dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum.
3.
Kehujjahan
Ayat-Ayat Yang Menjadi Penghujjah
Penalaran Ta’lili
Surat Al-Baqarah ayat: 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ
اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang
haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.
Surat An-Nisaa ayat: 59
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
(an-Nisaa:59).
C. ‘Illat
Istihsani
1.
Pengertian
‘Illat istihsani atau disebut juga dengan qiyas
khafy adalah ‘illat pengecualian
karena adanya ‘illat yang tersembunyi. Sebagai contoh ialah kehalalan sisa
daging yang dimakan burung elang. Sebenarnya elang adalah tergolong jenis
binatang buas. Daging binatang buas juga haram dimakan. Oleh karena itu sisa
daging yang dimakan elang hukumnya juga haram. Qiyas yang demikian oleh ulama
kalangan Hanafiyah dianggap kurang memuaskan. Sebab ada perbedaan khusus antara
burung elang dengan binatang buas lain seperti harimau, macan, singa dan
sebagainya. Burung elang makan dengan paruhnya yang suci. Oleh karena itu sisa
makanannya juga suci hukumnya. Sementara itu binatang buas yang lain makan
dengan mulutnya, yang di situ terdapat air liur. Oleh karenanya, sisa makanan
yang dimakan olehnya diduga bercampur dengan air liur, yang berarti juga najis.
Karenanya sisa makanan binatang buas menjadi haram hukumnya. ‘Illat istihsani lebih banyak digunakan oleh kalangan
Hanafiah
2.
Kehujjahan
Terdapat perbedaan pendapat antara
ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode atau dalil
dalam menetapkan hukum syara.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah,
istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara.alasan yang
mereka kemukakan adalah:
- Dasar dalam Al-Qur’an, surat Az-Zumar ayat
18:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ
هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artiya: yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apayang
paling baik diantaranya.mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang uang berakal (QS.Az-Zumar: 18)
- dasar istihsan dalam hadis
ﻣﺎﺮﺄﻩ ﺍﻠﻤﺴﻠﻤﻮﻦ ﺤﺴﻨﺎ ﻔﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﺤﺴﻦ
Artinya: sesuatu yang dipandang baik
menurut umat islam maka baik pula dihadapan Allah (H.R. Imam ahmad)
- Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terdapat
berbagai permasalahan yang apabila diberlakukan hukum sesuai dengan kaidah
umum dan qiyas ada kalanya membawa kesulitan bagi umat manusi. Sedangkan
syariat islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan
manusia. Untuk menghilangkan kesulitan itu maka ia boleh berpaling kepada
kaidah lain yang memberikan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan umat.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan
yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang
mashur, bahwa”barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka ia telah
membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa
berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat baru, sedangkan yang
berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam
Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Dilihat dari paradigma yang dipakai
oleh ulama Hanafiah, Imam Safi’i berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan
berarti Ia telah mengikuti hawa nafsunya . Sedangkan istihsan yang dimaksud
ulama Hanafiah adalah berhujjah berdasarkan dalil yang lebih kuat.adapun dalil
yang disodorkan ulama hanafiah mengenai istihsan, seperti surat az-zumar ayat
18 dan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad, ulama safi’iyah berpandapat
bahwa dalam surat Az-Zumar ayat 18, tidak menunjukan adanya istihsan, juga
tidak menunjukkan wajibnya mengikuti perkataan yang baik.kemudian mengenai
kutipan hadis di atas, mengisaratkan adanya ijma kaum muslimin.sedangkan ijma merupakan
hujjah yang bersumber dari dalil.jadi hadis tersebut tidak berarti setiap orang
yang memandang suatu urusan itu baik, maka baik pula menurut Allah.inilah
pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak kaum maslimin.
Jadi penolakan Syafiiyah tersebut
bukan pada lafad istihsannya.karena Imam Syafi’i pun sering menggunakan kata
istihsan, seperti pada kasus pemberian mut’ah kepada wanita yang ditalak. Imam
Syafi’i berkata menganggap baik pemberian mut’ah itu sebanyak 30 dirham.
Padahal di dalam Al-Qur’an tidak ada ketentuan nilai yang harus diberikan,
tetapi beliau melakukan itu sebagai ijtihad beliau atas makna pemberiaan yang
ma’ruf. Jadi cara seperti ini menurut ulama Hanafiah adalah merupakan cara
pengambilan hukum dengan istihsan. Menurut Ulama Syafi’iah ini bukan
merupakan istihsan, tetapi dengan membatasi sesuatu dengan melihat kondisi
waktu itu (taksillul illah).[3]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dengan penalaran
ta’lili ini akan memberikan kesempatan yang besar bagi mujtahid dan memberikan
nuansa-nuansa baru dalam berijtihad, sehingga nyatalah bahwa hukum Islam
merupakan hukum yang elastis sepanjang zaman.
‘Illat istihsani atau disebut juga dengan qiyas
khafy adalah ‘illat
pengecualian karena adanya ‘illat yang tersembunyi. Sebagai contoh ialah
kehalalan sisa daging yang dimakan burung elang.
‘Illat
qiyasi adalah pemberlakuan ‘illat terhadap sesuatu
yang tidak disebutkan secara tekstual karena adanya kesamaan dengan sesuatu
yang telah disebut secara tekstual. Sebagai misal adalah haramnya minuman keras
seperti wiski, tuak, brandi dan lain sebagainya, yang memiliki kesamaan ‘illat
dengan khamr (sebagai asal yang ada nas hukumnya).
B.
Saran
Sebagai manusia yang tak terlepas dari kesalahan kami
sangat mengharap saran dan kritik dari teman-teman, lebih khusus kepada Ibu Dosen demi menuju kesempurnaan makalah ini.
Demikian makalah yang bisa kami paparkan semoga bermanfaat bagi kita semua.
Amin...
DAFTAR PUSTAKA
Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
al-Ma’arif, Bandung, 1986
Al-Yasa Abu Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan
Penerapannya, dalam “Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik”,
Pengantar : Juhaya. S. Praja, Bandung, Rosdakarya, 1991
Moh Rifa’i, Fiqih,
Semarang: Wicaksana, 2002
[1] Muhtar
Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, al-Ma’arif, Bandung,
1986, hal. 550
[2] Al-Yasa
Abu Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya, dalam “Hukum
Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik”, Pengantar : Juhaya. S. Praja,
Bandung, Rosdakarya, 1991, hal. 179.
[3] Moh
Rifa’i, Fiqih, (Semarang:
Wicaksana, 2002), hal. 43
0 comments