BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian dan
Dasar Hukum Hiwalah
1. Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah
al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan.[1]
Abdurrahman
al-Jaziri,
berpendapat
bahwa
yang
dimaksud dengan hiwalah yaitu:
.ﻞﺤﻣ ﻰﻟ اﻞﺤﻣ ﻦﻣ ﻞﻘﻨﻟا
“Perpindahan dari satu
tempat ke tempat yang lain”.
Secara etimologi
hiwalah juga berarti pengalihan, pemindahan, perubahan kulit dan memikul
sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi
bisa didefinisikan sebagai
memindahkan sebuah tanggungan atau hutang menjadi
tanggungan orang lain.[2]
Hiwalah merupakan
pengalihan hutang dari seseorang yang berhutang kepada orang lain, dan orang
lain tersebutlah yang wajib menanggungnya.
Penjelasan yang dimaksud
adalah seseorang yang memiliki hutang dan memindahkan hutangnya kepada orang lain disebut sebagai
muhil, orang yang mempunyai hutang dan menerima hiwalah atas
muhil disebut muhal,
sedangkan orang yang berkewajiban membayar hutang atau yang dilimpahi hutang oleh muhil disebut muhal ‘alaih.[3]
Untuk mengetahui
lebih jauh tentang definisi
hiwalah secara terminologi
berikut disampaikan definisi :
a.
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah
:
مﺰﺘﻠﻤﻟ اﺔﻣذ
ﻰﻟ ان ﻮﻳﺪﻤﻟ اﺔﻣ ذﻦﻣ
ﺔﺒﻟ ﺎﻄﻤﻟ اﻞﻘﻧ
“Memindahkan
tagihan dari tanggung
jawab yang berutang kepada yang
lain yang punya tanggung jawab pula”.[4]
b.
Sayyid Sabiq
.ﻪﻴﻠﻋ لﺎﺤﻤﻟ اﺔﻣ ذﻰﻟ اﻞﻴﺤﻤﻟ اﺔﻣذ ﻦﻣ ﻦﻳذﻟ اﻞﻘﻧ
c. Taqiyyudin
ﺔﻣ ذﻰﻟ اﺔﻣذ ﻦﻣ ﻦﻳذﻟانتقل ا
“Pemindahan
hutang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”[6]
d.
Abdurrahman al-Jaziri
ﺔﻣ ذﻰﻟ اﺔﻣذ ﻦﻣ ﻦﻳذﻟ اﻞﻘﻧ
e.
Ensiklopedi Hukum Islam
“Pemindahan hak
atau kewajiban yang dilakukan
pihak pertama kepada
pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang atau membayar hutang dari atau kepada pihak
ketiga, karena pihak ketiga berutang
kepada pihak pertama dan pihak
pertama berutang kepada pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang
kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan
sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad
ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama”.[8]
Dari beberapa penjelasan tentang hiwalah, penulis menyimpulkan bahwa hiwalah merupakan
pengalihan hutang, baik berupa hak
untuk mengalihkan pembayaran
atau kewajiban untuk mendapatkan pembayaran
hutang, dari orang lain disertai rasa percaya dan kesepakatan bersama.
2. Dasar Hukum Hiwalah
Sebuah transaksi atau perbuatan seseorang
dalam Islam harus dilandasi dengan sumber-sumber hukum Islam, agar dapat mengetahui apakah transaksi
atau perbuatan yang dilakukan melanggar hukum Islam atau tidak. Begitu juga transaksi hiwalah untuk mengetahui
kebolehannya
harus dilihat dimana
sumber hukum Islam menyebutkan :
a. Al-Qur’an
Allah Swt berfirman:
$g'» úï%!$# (#qZB#ä #) LêZ#? ûøï/ #<) @_& K¡B nq7F2$ù 4 =G39r N3Z/ =?$2 Aè9$$/ ...
(البقراة : 2:282)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.....”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282).[9]
b. Hadits
Pelaksanaan hiwalah menurut Nabi Muhammad SAW adalah dibolehkan,
ini sesuai dengan hadits beliau :
عن اَبي هريرة رضي الله عنه انّ رسول اللّه صلى الله عليه
وسلم : مطل الغني ظلم فإذا أتبع أحدكم على مليء فليتبع (متفق عليه)
Artiya: Dari Abu
Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Menunda (pembayaran hutang)
oleh orang yang telah mampu membayar itu suatu penganiayaan. Apabila salah
seorang di antara kamu dilimpahi hutang terhadap orang kaya, hendaklah kamu
mengikuti.” (HR. Bukhari dan Muslim).[10]
Pada hadits ini
Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang
berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia
menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang
yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi
(dibayar).
Kebanyakan pengikut
mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa
hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka
mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat perintah
itu bersifat sunnah.[11]
c.
Ijma’
Sebagian ulama
berpendapat bahwa pengalihan hutang tersebut wajib diterima oleh muhal ‘alaih atau orang
yang dihiwalahi. Sedangkan mayoritas ulama memandang bahwa perintah untuk menerima hiwalah itu menunjukkan
sunnah.[12]
Para ulama sepakat membolehkan hiwalah. Praktek
Hiwalah dibolehkan pada hutang
yang tidak berbentuk barang/benda, karena hiwalah adalah perpindahan utang, oleh sebab
itu harus pada uang atau kewajiban finansial.[13]
B.
Rukun dan Syarat Hiwalah
1.
Rukun Hiwalah
Menurut Mazhab
Hanafi, rukun hiwalah ialah adanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari
pihak pertama, dan adanya kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua
dan pihak ketiga. Sedangkan menurut mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hambali, rukun hiwalah ada enam yaitu :[14]
1. Muhil
Yaitu orang yang memindahkan penagihan atau orang yang menghiwalahkan yaitu orang yang berhutang,
2. Muhal
Yaitu orang
yang dipindahkan atau
dihiwalahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang.
3. Muhal ‘alaih
Yaitu orang
yang dipindahkan kepadanya obyek penagihan atau orang yang dihiwalahi yaitu orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah. Dengan kata lain yaitu orang yang menerima hiwalah.
4. Muhal bih
Yaitu hak yang
dipindahkan yaitu hutang muhil kepada muhal
5.
Hutang muhal ‘alaih
kepada muhil
6.
Shighat hiwalah
Yaitu pernyataan hiwalah yaitu,
ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan kata-katanya “aku hiwalahkan hutangku kepada si fulan”.
Dan qabul adalah dari muhal ‘alaih
dengan kata-katanya “aku terima hiwalah engkau”.
Manusia merupakan subjek pertama
yang dipandang hukum, kemudian
karena berkembangnya jalan pemikiran manusia,
lalu badan hukum/
lembaga-lembaga yang mengurusi kepentingan umum dipandang sebagai orang.[15]
Keberadaan badan hukum dalam ketentuan hukum Islam secara tuntas
di dalam nash memang tidak ada, namun diketahui
bahwa syariat (termasuk ketentuan tentang
badan hukum) yang
berkembang di masyarakat dimaksudkan
untuk mewujudkan kemaslahatan
bagi umat manusia.[16]
2. Syarat Hiwalah
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat
bahwa perbuatan hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-syarat yang
berkaitan dengan pihak pertama, kedua dan ketiga, serta yang berkaitan dengan
utang itu sendiri.
Syarat yang diperlukan pada pihak pertama (Muhal) ialah
sebagai berikut :[17]
a. Cakap
Yaitu cakap melakukan tindakan
hukum dalam bentuk akad.
b. Baligh dan berakal.
Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun
ia sudah mengerti (mumayyiz),
ataupun dilakukan oleh orang gila.
c. Adanya pernyataan
persetujuan
atau
kerelaan
(ridha).
Jika muhil dipaksa untuk melakukan
hiwalah, maka akad tersebut
tidak sah. Adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya
jika kewajibannya untuk membayar hutang dialihkan kepada pihak lain, meskipun pihak lain itu memang berutang padanya.
Syarat yang diperlukan pada pihak kedua (Muhil) ialah
sebagai berikut :[18]
a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh
dan berakal, sebagaimana pihak pertama
b. Mazhab Hanafi, sebagian besar Mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan adanya persetujuan muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah.
Adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan
bahwa kebiasaan
orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah
dan ada yang sulit membayarnya.
Sedangkan menerima
pelunasan hutang itu merupakan hak muhal.
Jika perbuatan hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak kedua dapat saja
merasa dirugikan, misalnya, apabila ternyata bahwa pihak ketiga sulit membayar
hutang tersebut.
Dengan demikian, pihak kedua tidak dapat dipaksa untuk
menerima akad hiwalah, sementara itu, Mazhab Hambali tidak menetapkan
persyaratan ini pada pihak kedua, karena apabila pihak kedua dan pihak ketiga
tidak menyetujui tindakan tersebut, mereka dapat dipaksa untuk melaksanakannya,
sepanjang mereka mengetahui adanya tindakan pihak pertama.
Syarat yang diperlukan bagi pihak ketiga (Muhal ‘alaih)
ialah sebagai berikut:[19]
a.
Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad,
sebagaimana syarat pada kedua piha sebelumnya.
b.
Mazhab Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan dan
persetujuan dari pihak ketiga. Namun, ketiga mazhab lainnya tidak mensyaratkan
hal itu.
Alasan Mazhab Hanafi ialah, tindakan hiwalah merupakan
tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga untuk
membayar utang kepada pihak kedua sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat
dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua.
Karena itu, kewajiban tersebut hanya dapat dibebankan kepadanya jika ia
menyetujui hiwalah tersebut.
Ditinjau dari sisi lain, dapat saja timbul persyaratan
pembayaran yang lebih berat dari pihak kedua, dibandingkan dengan persyaratan
pembayaran yang ditetapkan pihak pertama sebelumnya, sehingga hal itu
merugikannya. Adapun alasan Mazhab Maliki Syafi’i, dan Hanbali ialah bahwa
dalam akad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai objek akad, dan karena
itu persetujuannya tidak merupakan syarat sahnya hiwalah.
Ditinjau dari sisi lain, akad yang dilakukan pihak
pertama dan pihak kedua dipandang sebagai tindakan seorang yang berpiutang yang
melimpahkan haknya kepada wakilnya untuk menuntut pembayaran utang terhadap
pihak yang berutang. Dalam hal ini, pihak kedua seolah-olah sebagai wakil dari
pihak pertama. Karena itu, tidak diperlukan adanya persetujuan dari pihak
ketiga.
c.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
menambahkan bahwa kabul (pernyataan menerima akad) tersebut dilakukan dengan
sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.
Adapun syarat yang diperlukan terhadap utang yang
dialihkan (al-muhal bih) ialah sebagi berikut:[20]
a. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah
dalam bentuk utang piutang yang sudah pasti.
Jika yang dialihkan itu belum merupakan utang piutang
yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih
berada dalam masa khiar (masa yang dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk
mempertimbangkan apakah akad jual beli dilanjutkan atau dibatalkan), maka hiwalah
tidak sah. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa persyaratan ini berlaku pada
utang pihak pertama kepada pihak kedua. Mengenai utang pihak kedua kepada pihak
ketiga, Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali juga memberlakukannya
b. Pengalihan utang tersebut dalam bentuk hiwalah
al muqayyadah.
Semua ulama fikih sepakat menyatakan bahwa baik utang
pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak
pertama, mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua utang tersebut
terdapat perbedaan jumlah (misalnya, utang dalam bentuk uang), atau perbedaan
kualitas (misalnya, utang dalam bentuk barang), maka hiwalah tidak sah.
Akan tetapi jika pengalihan itu dalam bentuk hiwalah
al mutlaqah sebagaimana yang dibenarkan Mazhab Hanafi, maka kedua utang
tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua utang tersebut
mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan waktu
jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang tersebut, maka hiwalah tidak
sah.[21]
C. Obyek dan
Macam-macam Hiwalah
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah
dibagi 2, yaitu :
1.
Hiwalah al-Haqq (pemindahan hak)
Hiwalah haqq
adalah pemindahan piutang dari satu piutang
kepada piutang yang lain atau pemindahan hak untuk menuntut
hutang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang
dan
ia mengalihkan
haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang
berhutang tidak berubah atau berganti,
yang berganti adalah piutang. Ini terjadi piutang
A mempunyai
hutang kepada piutang B.[22]
2.
Hiwalah ad-Dain (pemindahan hutang)
Hiwalah ad-dain adalah pemindahan hutang kepada
orang lain yang mempunyai
hutang
kepadanya.
Ini
berbeda
dari hiwalah
haqq,
karena pengertiannya sama dengan hiwalah yang telah
diterangkan
di
depan yakni yang dipindahkan itu kewajiban
untuk membayar hutang.[23]
Menurut Hanafiyah hiwalah dibagi menjadi dua, yaitu :
a.
Hiwalah al-Mutlaqah (pemindahan mutlak)
Hiwalah al-mutlaqah adalah perbuatan
seseorang yang memindahkan
hutangnya kepada orang lain dengan tidak ditegaskan
sebagai pemindahan hutang maksudnya
jika orang yang berhutang (pihak pertama) kepada orang lain (pihak
kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada
pihak ketiga tanpa didasari pihak
ketiga ini berhutang kepada orang
pertama. Menurut
ketiga mazhab selain Hanafi, jika muhal ‘alaih tidak punya utang kepada
muhil, maka hal ini sama dengan kafalah,
dan ini harus dengan keridhoan
atau kerelaan tiga pihak (muhtal,
muhil, muhal ‘alaih).[24]
Menurut Mazhab Hanafi membenarkan terjadinya
hiwalah al- mutlaqah berpendapat,
bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi
karena inisiatif dari pihak
pertama, maka hak dan kewajiban
antara pihak pertama dan pihak
ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya, masih
tetap berlaku, khususnya
jika jumlah utang piutang antara
ketiga pihak tidak sama.[25]
b.
Hiwalah al-Muqayyadah
Hiwalah
al-muqayyadah adalah perbuatan seseorang yang memindahkan hutangnya
dengan mengaitkan piutang yang ada padanya yakni pemindahan sebagai
ganti dari pembayaran hutang
pihak muhil kepada pihak muhal ‘alaih Maksudnya jika muhil mengalihkan hak penagihan muhal
kepada muhal ‘alaih karena yang terakhir punya hutang kepada muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz)
berdasarkan kesepakatan para ulama’.[26]
Dengan demikian, hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah
al-haqq, karena mengalihkan hak
untuk menuntut piutangnya dari C
kepada A. sedangkan disisi lain, sekaligus merupakan hiwalah
ad-dain, karena B mengalihkan
hutang kepada A, menjadi kewajiban C
kepada A.
D.
Akibat Hukum dan Berakhirnya Akad Hiwalah
1. Akibat Hukum Hiwalah
Jika akad hiwalah telah
terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad
tersebut antara lain
:
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar
hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas.
Sedangkan menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, kewajiban tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum
melunasi hutangnya kepada pihak kedua, karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, mereka memandang bahwa akad tersebut
didasarkan atas prinsip saling percaya.
b. Akad hiwalah
menyebabkan lahirnya hak
bagi
pihak
kedua
untuk
menuntut pembayaran hutang kepada
pihak ketiga.
c. Mazhab Hanafi yang membenarkan
terjadinya hiwalah al-mutlaqah berpendapat
bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama,
maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan
ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya masih
tetap
berlaku,
khususnya
jika
jumlah
utang-piutang
antara ketiga
pihak tidak sama.
d. Adapun resiko yang harus diwaspadai dari
kontrak hawalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu/
wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank.[27]
2.
Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah menjadi berakhir
jika terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Salah satu
pihak yang sedang melakukan akad
tersebut membatalkan (fasakh) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan
adanya pembatalan akad tersebut,
pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian
pula hak pihak pertama kepada pihak
ketiga.
2)
Pihak ketiga melunasi
hutang yang dialihkan tersebut
kepada pihak kedua.
3)
Jika pihak kedua meninggal
dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan
ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
4)
Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan
hutang dalam akad hiwalah tersebut
kepada pihak ketiga.
5) Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.[28]
Menurut Mazhab Hanafi, hak pihak kedua
tidak dapat dipenuhi karena at-tawa,
yaitu pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut), atau meninggal
dunia dalam keadaan pailit, atau tidak
ada bukti otentik tentang akad
hiwalah pihak ketiga mengingkari adanya akad tersebut.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki,
Syafi’i, dan Hambali selama akad hiwalah sudah
berlaku tetap, karena persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi, maka akad hiwalah tidak
dapat berakhir karena at-tawa atau dengan alasan mengalami palit
(bangkrut).
Dengan kata lain, pihak kedua tidak dapat menuntut
pengembalian hak meminta pembayaran hutang kepada pihak pertama, dengan alasan ia tidak berhasil mendapatkan pelunasan hutang dari pihak ketiga.
Namun dari beberapa pendapat diatas, perlu
dicermati persyaratan- persyaratan
yang telah ditetapkan apakah sudah memenuhi
atau belum, dan apakah akad hiwalah itu tidak
bertentangan dengan ketentuan yang
telah ditetapkan dan disepakati.
Persyaratan-persyaratan
yang telah disepakati bersama harus dipatuhi
oleh semua pihak, sekiranya
ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan
akad hiwalah itu, maka ia dapat mengadakan gugatan
yang sudah barang tentu
dengan bukti yang
kuat dan dapat di pertanggungjawabkan.[29]
Dari akibat hukum dan berakhirnya akad hiwalah dapat
penulis simpulkan bahwa apabila hiwalah berjalan sah dengan sendirinya tanggung
jawab muhil adalah gugur. Karena mereka menganggap bahwa akad yang terjadi
tersebut berdasarkan atas prinsip saling percaya.
Hiwalah muthalaqah tidak diperbolehkan oleh para ulama,
kecuali ulama hanafiyah alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang
melarang hawalah semacam ini adalah karena orang yang dipindahkan pembayaran
utang (muhal alaih) tidak ada hubungannya dengan orang yang memindahkan utang (muhil)
artinya ia tidak mempunyai kewajiban yang harus ditanggung dan dibayarkan
kepada muhil sehingga jika hal ini terjadi berarti bukan hiwalah melainkan
kafalah.
Selain itu akad hiwalah juga menyebabkan
lahirnya hak bagi pihak kedua (muhal) untuk menuntut
pembayaran hutang kepada pihak ketiga (muhal ‘alaih). Misalnya pihak pertama
(muhil) pinjam uang Rp.500.000 kepada pihak kedua (muhal), sebelumnya pihak ketiga
(muhal ‘alaih) pinjam uang Rp. Rp.500.000 pada pihak pertama (muhil), dari
kejadian tersebut dengan adanya pemberitahuan dan konfirmasi dari pihak pertama
(muhil) dan pihak ketiga (muhal ‘alaih), maka pihak kedua (muhal) mempunyai hak
untuk meminta uangnya pada pihak ketiga (muhal ‘alaih).
Dalam penentuan berakhirnya akad hiwalah
adanya pembatalan akad hiwalah oleh salah satu pihak, maka pihak kedua kembali
berhak menuntut pembayaran hutang pada pihak pertama, begitu juga berlakunya
pada pihak ketiga. Misalnya pihak pertama pinjam uang Rp.500.000 kepada pihak
kedua, sebelumnya pihak ketiga pinjam uang Rp. Rp.500.000 pada pihak pertama, kemudian
ketiga membatalkan akad tersebut dengan alasan tertentu. Maka pihak kedua
berhak menuntut pembayaran pada pihak pertama. Selain itu berakhirnya akad
hiwalah pihak ketiga melunasi atau menghibahkan atau membebaskan hutang yang
dialihkan tersebut pada pihak kedua.
[3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, edisi 2, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004),
hlm.
71
[10] Musthafa Daib. Tadzhib Kompilasi Hukum
Islam ala Madzhab Syafi’i, (Surabaya: Al Hidayah, Cet. Ke-1. 2008), hal.
341
[12] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani.
2001), hal. 87
[13] Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: IIIT
Indonesia,
2003), hlm. 93
[15] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Fiqh Muamalah, (Semarang : PT.
Pustaka Rizki, 2001), hlm. 194
[23] Wahbah az-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Terj.
Agus Efendi dan Bahrudin Fanani ‘‘Zakat Kajian Berbagai Mazhab’’, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, Cet. ke-1, 2000), hlm, 419
[25] Sayyid Syabiq, alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah, (Bandung: PT.
Ma’arif, 1997), hlm.43
[27] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta:
Gema Insani, 2001), hlm. 127.
0 comments