Pengertian dan Dasar Hukum Hiwalah

BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.    Pengertian dan Dasar Hukum Hiwalah
1.      Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan.[1]
Abdurrahman  al-Jaziri,  berpendapat  bahwa  yang  dimaksud  dengan hiwalah yaitu:
.ﻞﺤﻣ ﻰﻟ اﻞﺤﻣ ﻦﻣ ﻞﻘﻨﻟا
“Perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”.
Secara etimologi hiwalah juga berarti pengalihan, pemindahan, perubahan kulit dan memikul sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi bisa didefinisikan sebagai memindahkan sebuah tanggungan atau hutang menjadi tanggungan orang lain.[2] Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari seseorang yang berhutang kepada orang lain, dan orang lain tersebutlah yang wajib menanggungnya.
Penjelasan yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki hutang dan memindahkan hutangnya kepada orang lain disebut sebagai muhil, orang yang mempunyai hutang dan menerima hiwalah atas muhil disebut muhal, sedangkan orang yang berkewajiban membayar hutang atau yang dilimpahi hutang oleh muhil disebut muhal ‘alaih.[3]
Untuk mengetahui lebih jauh tentang definisi hiwalah secara terminologi berikut disampaikan definisi :
a.     Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah :
مﺰﺘﻠﻤﻟ اﺔﻣذ ﻰﻟ ان ﻮﻳﺪﻤﻟ اﺔﻣ ذﻦﻣ ﺔﺒﻟ ﺎﻄﻤﻟ اﻞﻘ
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula.[4]
b.    Sayyid Sabiq
.ﻪﻴﻠﻋ لﺎﺤﻤﻟ اﺔﻣ ذﻰﻟ اﻞﻴﺤﻤﻟ اﺔﻣذ ﻦﻣ ﻦﻳذ اﻞﻘ
“Pemindahan hutang dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal ‘alaih”.[5]
c.     Taqiyyudin
 ﺔﻣ ذﻰﻟ اﺔﻣذ ﻦﻣ ﻦﻳذانتقل ا
“Pemindahan hutang dari beban seseorang menjadi beban orang lain[6]
d.    Abdurrahman al-Jaziri
ﺔﻣ ذﻰﻟ اﺔﻣذ ﻦﻣ ﻦﻳذ اﻞﻘ
 “Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.[7]
e.     Ensiklopedi Hukum Islam
“Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang atau membayar hutang dari atau kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan  pihak  pertama  berutang kepada pihak kedua atau  karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama”.[8]
Dari beberapa penjelasan tentang hiwalah, penulis menyimpulkan bahwa hiwalah merupakan pengalihan hutang, baik berupa hak untuk mengalihkan pembayaran atau kewajiban untuk mendapatkan pembayaran hutang, dari orang lain disertai rasa percaya dan kesepakatan bersama.
2.      Dasar Hukum Hiwalah
Sebuah transaksi atau perbuatan seseorang dalam Islam harus dilandasi dengan sumber-sumber hukum Islam, agar dapat mengetahui apakah transaksi atau perbuatan yang dilakukan melanggar hukum Islam atau tidak. Begitu juga transaksi  hiwalah  untuk  mengetahui  kebolehannya  harus  dilihat  dimana sumber hukum Islam menyebutkan :

a.       Al-Qur’an
Allah Swt berfirman:
$gƒ'»ƒ úï%!$# (#qZB#ä #Œ) LêZƒ#? ûøï/ #<) @_& K¡B nq7F2$ù 4 =G39r N3Z/ =?$2 Aè9$$/ ... (البقراة : 2:282)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.....”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282).[9]
b.      Hadits
Pelaksanaan hiwalah menurut Nabi Muhammad  SAW  adalah dibolehkan, ini sesuai dengan hadits beliau :
عن اَبي هريرة رضي الله عنه انّ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم : مطل الغني ظلم فإذا أتبع أحدكم على مليء فليتبع (متفق عليه)
Artiya: Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Menunda (pembayaran hutang) oleh orang yang telah mampu membayar itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu dilimpahi hutang terhadap orang kaya, hendaklah kamu mengikuti.” (HR. Bukhari dan Muslim).[10]
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat perintah itu bersifat sunnah.[11]
c.       Ijma’
Sebagian ulama berpendapat bahwa pengalihan hutang tersebut wajib diterima oleh muhal ‘alaih atau orang yang dihiwalahi. Sedangkan mayoritas ulama memandang bahwa perintah untuk menerima hiwalah itu menunjukkan sunnah.[12]
Para ulama sepakat membolehkan hiwalah. Praktek Hiwalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/benda, karena hiwalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada uang atau kewajiban finansial.[13]



B.     Rukun dan Syarat Hiwalah
1.      Rukun Hiwalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun hiwalah ialah adanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan adanya kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, rukun hiwalah ada enam yaitu :[14]
1.      Muhil
Yaitu orang yang memindahkan penagihan atau orang yang menghiwalahkan yaitu orang yang berhutang,
2.      Muhal
Yaitu orang yang dipindahkan atau dihiwalahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang.
3.      Muhal ‘alaih
Yaitu orang yang dipindahkan kepadanya obyek penagihan atau orang yang dihiwalahi yaitu orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah. Dengan kata lain yaitu orang yang menerima hiwalah.
4.      Muhal bih
Yaitu hak yang dipindahkan yaitu hutang muhil kepada muhal
5.      Hutang muhal ‘alaih kepada muhil
6.      Shighat hiwalah
Yaitu pernyataan hiwalah yaitu, ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan kata-katanya “aku hiwalahkan hutangku kepada si fulan”. Dan qabul adalah dari muhal alaih dengan kata-katanya “aku terima hiwalah engkau”.
Manusia merupakan subjek pertama yang dipandang hukum, kemudian karena berkembangnya jalan pemikiran manusia, lalu badan hukum/ lembaga-lembaga yang mengurusi kepentingan umum dipandang sebagai orang.[15]
Keberadaan badan hukum dalam ketentuan hukum Islam secara tuntas di dalam nash memang tidak ada, namun diketahui bahwa syariat (termasuk ketentuan  tentang  badan hukum)  yang berkembang di  masyarakat dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.[16]
2.      Syarat Hiwalah
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa perbuatan hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua dan ketiga, serta yang berkaitan dengan utang itu sendiri.
Syarat yang diperlukan pada pihak pertama (Muhal) ialah sebagai berikut :[17]
a.     Cakap
Yaitu cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad.
b.    Baligh dan berakal.
Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila.
c.     Adanya  pernyataan  persetujuan  atau  kerelaan  (ridha).
Jika  muhil dipaksa untuk melakukan hiwalah, maka akad tersebut tidak sah. Adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya jika kewajibannya untuk membayar hutang dialihkan kepada pihak lain, meskipun pihak lain itu memang berutang padanya.
Syarat yang diperlukan pada pihak kedua (Muhil) ialah sebagai berikut :[18]
a.     Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal, sebagaimana pihak pertama
b.    Mazhab Hanafi, sebagian besar Mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan adanya persetujuan muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah.
Adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit membayarnya.
Sedangkan menerima pelunasan hutang itu merupakan hak muhal. Jika perbuatan hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak kedua dapat saja merasa dirugikan, misalnya, apabila ternyata bahwa pihak ketiga sulit membayar hutang tersebut.
Dengan demikian, pihak kedua tidak dapat dipaksa untuk menerima akad hiwalah, sementara itu, Mazhab Hambali tidak menetapkan persyaratan ini pada pihak kedua, karena apabila pihak kedua dan pihak ketiga tidak menyetujui tindakan tersebut, mereka dapat dipaksa untuk melaksanakannya, sepanjang mereka mengetahui adanya tindakan pihak pertama.
Syarat yang diperlukan bagi pihak ketiga (Muhal ‘alaih) ialah sebagai berikut:[19]
a.    Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat pada kedua piha sebelumnya.
b.    Mazhab Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan dan persetujuan dari pihak ketiga. Namun, ketiga mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal itu.
Alasan Mazhab Hanafi ialah, tindakan hiwalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga untuk membayar utang kepada pihak kedua sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Karena itu, kewajiban tersebut hanya dapat dibebankan kepadanya jika ia menyetujui hiwalah tersebut.
Ditinjau dari sisi lain, dapat saja timbul persyaratan pembayaran yang lebih berat dari pihak kedua, dibandingkan dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan pihak pertama sebelumnya, sehingga hal itu merugikannya. Adapun alasan Mazhab Maliki Syafi’i, dan Hanbali ialah bahwa dalam akad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai objek akad, dan karena itu persetujuannya tidak merupakan syarat sahnya hiwalah.
Ditinjau dari sisi lain, akad yang dilakukan pihak pertama dan pihak kedua dipandang sebagai tindakan seorang yang berpiutang yang melimpahkan haknya kepada wakilnya untuk menuntut pembayaran utang terhadap pihak yang berutang. Dalam hal ini, pihak kedua seolah-olah sebagai wakil dari pihak pertama. Karena itu, tidak diperlukan adanya persetujuan dari pihak ketiga.
c.       Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani menambahkan bahwa kabul (pernyataan menerima akad) tersebut dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.
Adapun syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (al-muhal bih) ialah sebagi berikut:[20]
a.       Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang sudah pasti.
Jika yang dialihkan itu belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya, mengalihkan utang yang timbul akibat jual beli yang masih berada dalam masa khiar (masa yang dimiliki pihak penjual dan pembeli untuk mempertimbangkan apakah akad jual beli dilanjutkan atau dibatalkan), maka hiwalah tidak sah. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa persyaratan ini berlaku pada utang pihak pertama kepada pihak kedua. Mengenai utang pihak kedua kepada pihak ketiga, Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali juga memberlakukannya
b.      Pengalihan utang tersebut dalam bentuk hiwalah al muqayyadah.
Semua ulama fikih sepakat menyatakan bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama, mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (misalnya, utang dalam bentuk uang), atau perbedaan kualitas (misalnya, utang dalam bentuk barang), maka hiwalah tidak sah.
Akan tetapi jika pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al mutlaqah sebagaimana yang dibenarkan Mazhab Hanafi, maka kedua utang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua utang tersebut mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya. Jika terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang tersebut, maka hiwalah tidak sah.[21]

C.    Obyek dan Macam-macam Hiwalah
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :
1.      Hiwalah al-Haqq (pemindahan hak)
Hiwalah haqq adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak untuk menuntut hutang. Dalam hal ini   yang   bertindak   sebagai   muhil   adalah   pemberi   hutang   dan   ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.[22]
2.      Hiwalah ad-Dain (pemindahan hutang)
Hiwalah  ad-dain  adalah  pemindahan  hutang  kepada  orang  lain yang  mempunyai  hutang  kepadanya.  Ini  berbeda  dari  hiwalah  haqq, karena  pengertiannya  sama  dengan  hiwalah  yang  telah  diterangkan  di depan yakni yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.[23]
Menurut Hanafiyah hiwalah dibagi menjadi dua, yaitu :
a.       Hiwalah al-Mutlaqah (pemindahan mutlak)
Hiwalah al-mutlaqah adalah perbuatan seseorang yang memindahkan hutangnya kepada orang lain dengan tidak ditegaskan sebagai pemindahan hutang maksudnya jika orang yang berhutang (pihak pertama) kepada  orang lain (pihak kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang  kepada  orang  pertama.  Menurut  ketiga  mazhab  selain Hanafi, jika muhal ‘alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridhoan atau kerelaan tiga pihak (muhtal, muhil, muhal ‘alaih).[24]
Menurut Mazhab Hanafi membenarkan terjadinya hiwalah al- mutlaqah berpendapat, bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang   mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya, masih tetap  berlaku, khususnya jika jumlah utang piutang antara ketiga pihak tidak sama.[25]


b.      Hiwalah al-Muqayyadah
Hiwalah al-muqayyadah adalah perbuatan seseorang yang memindahkan   hutangnya dengan mengaitkan piutang yang ada padanya yakni pemindahan  sebagai  ganti  dari pembayaran hutang pihak muhil kepada pihak muhal ‘alaih Maksudnya jika muhil mengalihkan hak penagihan muhal kepada muhal alaih karena yang terakhir punya hutang kepada muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama’.[26]
Dengan demikian, hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haqq, karena mengalihkan hak untuk menuntut piutangnya dari C kepada A. sedangkan disisi lain, sekaligus merupakan hiwalah ad-dain, karena B mengalihkan hutang kepada A, menjadi kewajiban C kepada A.

D.    Akibat Hukum dan Berakhirnya Akad Hiwalah

1.      Akibat Hukum Hiwalah
Jika akad hiwalah telah terjadi, maka timbul akibat hukum dari akad tersebut antara lain :
a.       Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua secara otomatis menjadi terlepas. Sedangkan menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, kewajiban tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada pihak kedua, karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, mereka memandang bahwa akad tersebut didasarkan atas prinsip saling percaya.
b.      Akad  hiwalah  menyebabkan  lahirnya  hak  bagi  pihak  kedua  untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga.
c.       Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah al-mutlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-mutlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya  masih  tetap  berlaku,  khususnya  jika  jumlah  utang-piutang antara ketiga pihak tidak sama.
d.      Adapun resiko yang harus diwaspadai dari kontrak hawalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu/ wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank.[27]
2.      Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah menjadi berakhir jika terjadi hal-hal sebagai berikut :
1)      Salah satu pihak yang sedang melakukan akad tersebut membatalkan (fasakh) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad tersebut, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.
2)      Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan tersebut kepada pihak kedua.
3)      Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
4)      Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
5)      Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.[28]
Menurut Mazhab Hanafi, hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut), atau meninggal dunia dalam keadaan pailit, atau tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah pihak ketiga mengingkari adanya akad tersebut.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali selama akad hiwalah sudah berlaku tetap, karena persyaratan yang ditetapkan sudah terpenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat berakhir  karena  at-tawa  atau  dengan  alasan  mengalami  palit  (bangkrut).
Dengan  kata  lain,  pihak  kedua  tidak  dapat  menuntut  pengembalian  hak meminta pembayaran hutang kepada pihak pertama, dengan alasan ia tidak berhasil mendapatkan pelunasan hutang dari pihak ketiga.
Namun dari beberapa pendapat diatas, perlu dicermati persyaratan- persyaratan yang telah ditetapkan apakah sudah memenuhi atau belum, dan apakah akad hiwalah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dan disepakati.
Persyaratan-persyaratan yang telah disepakati bersama harus dipatuhi oleh semua pihak, sekiranya ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan akad hiwalah itu, maka ia dapat mengadakan gugatan yang sudah barang tentu dengan bukti yang kuat dan dapat di pertanggungjawabkan.[29]
Dari akibat hukum dan berakhirnya akad hiwalah dapat penulis simpulkan bahwa apabila hiwalah berjalan sah dengan sendirinya tanggung jawab muhil adalah gugur. Karena mereka menganggap bahwa akad yang terjadi tersebut berdasarkan atas prinsip saling percaya.
Hiwalah muthalaqah tidak diperbolehkan oleh para ulama, kecuali ulama hanafiyah alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang melarang hawalah semacam ini adalah karena orang yang dipindahkan pembayaran utang (muhal alaih) tidak ada hubungannya dengan orang yang memindahkan utang (muhil) artinya ia tidak mempunyai kewajiban yang harus ditanggung dan dibayarkan kepada muhil sehingga jika hal ini terjadi berarti bukan hiwalah melainkan kafalah.
Selain itu akad hiwalah juga menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua (muhal) untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga (muhal ‘alaih). Misalnya pihak pertama (muhil) pinjam uang Rp.500.000 kepada pihak kedua (muhal), sebelumnya pihak ketiga (muhal ‘alaih) pinjam uang Rp. Rp.500.000 pada pihak pertama (muhil), dari kejadian tersebut dengan adanya pemberitahuan dan konfirmasi dari pihak pertama (muhil) dan pihak ketiga (muhal ‘alaih), maka pihak kedua (muhal) mempunyai hak untuk meminta uangnya pada pihak ketiga (muhal ‘alaih).
Dalam penentuan berakhirnya akad hiwalah adanya pembatalan akad hiwalah oleh salah satu pihak, maka pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran hutang pada pihak pertama, begitu juga berlakunya pada pihak ketiga. Misalnya pihak pertama pinjam uang Rp.500.000 kepada pihak kedua, sebelumnya pihak ketiga pinjam uang Rp. Rp.500.000 pada pihak pertama, kemudian ketiga membatalkan akad tersebut dengan alasan tertentu. Maka pihak kedua berhak menuntut pembayaran pada pihak pertama. Selain itu berakhirnya akad hiwalah pihak ketiga melunasi atau menghibahkan atau membebaskan hutang yang dialihkan tersebut pada pihak kedua.





[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.99
[2] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), hlm. 415
[3] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, edisi 2, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 71
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu  (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 98.
[5] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah..., hal. 101
[6] Ibid.,
[7] Ibid., hal.100
[8] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 559
[9] Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, )Jakarta: Bumi Restu, 1976(, hal. 110
[10] Musthafa Daib. Tadzhib Kompilasi Hukum Islam ala Madzhab Syafi’i, (Surabaya: Al Hidayah, Cet. Ke-1. 2008), hal. 341
[11] Ibid., hal. 342
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. (Jakarta: Gema Insani. 2001), hal. 87
[13] Adiwarman Azwar Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), hlm. 93
[14] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,,,hal. 102
[15] M. Hasbi  Ash  Shiddieqy,  Pengantar  Fiqh  Muamalah,  (Semarang :  PT. Pustaka Rizki, 2001), hlm. 194
[16] Ibid.,
[17] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam..., hlm 561
[18] Ibid.,
[19] Ibid.,
[20] Ibid., hal.561
[21] Ibid., hal.562
[22] Ahmad wardi muslich, Fiqih Muamalah (Jakarta: Amzah 2010), hlm 452
[23] Wahbah az-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Terj. Agus Efendi dan Bahrudin Fanani ‘‘Zakat Kajian Berbagai Mazhab’’, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, Cet. ke-1, 2000), hlm, 419
[24] Ibid.,
[25] Sayyid Syabiq, alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Ma’arif, 1997), hlm.43
[26] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam..., hlm 560
[27] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 127.
[28] Ibid.,
[29] Ibid.,

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email