BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Pokok
Masalah
C.
Tujuan dan Kegunaan
D.
Telaah Pustaka
E.
Kerangka Teoretik
F.
Metode Penelitian
G.
Sistematika Pembahasan
BAB II.
TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PIUTANG
DAN PENGALIHAN HUTANG (HIWALAH)
A.
Hutang Piutang
1. Pengertian dan Dasar Hukum
2. Rukun dan Syarat
3. Obyek dan Macam-macam
..................................................... 22
B.
1.
Pengertian dan Dasar Hukum
2.
Rukun, Syarat dan Macam-macam
3.
Akibat Hukum dan Berakhirnya Akad Hiwalah
C.
Aplikasi Hiwalah di Lembaga Keuangan Syariah
1.
Praktek hiwalah di Lembaga Keuangan Syari’ah
2.
Perbedaan dengan akad Al-Qardh
BAB III.
GAMBARAN UMUM BMT BIF GEDONGKUNING DAN PRAKTEK HIWALAH DI BMT BIF
A.
Gambaran Umum BMT BIF Gedongkuning
1.
Letak Geografis
2.
Sejarah dan Perkembangan BMT BIF
3. Struktur
Organisasi
4.
Produk-produk dan jasa yang ditawarkan
B.
Praktek Hiwalah di BMT BIF Gedongkuning
1.
Syarat dan Prosedur Pinjaman dengan Akad Hiwalah
2.
Pelaksanaan Akad Hiwalah
BAB IV.
ANALISIS TERHADAP PRAKTEK HIWALAH
DI BMT BIF GEDONGKUNING
A. Dari
segi subyek
B. Dari
segi obyek
C. Dari
segi s}igah
.......................................................................... 67
D. Dari
segi fee………………………………………………….... 70
BAB V.
PENUTUP........................................................................................ 74
A.
Kesimpulan
.............................................................................. 74
B.
Saran………………………………………………................... 76
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1.
TERJEMAHAN……………………………………………………….…...
I
2.
BIOGRAFI ULAMA DAN SARJANA MUSLIM………………..…......... III
3.
PEDOMAN WAWANCARA………………………………………...…..
V
4.
SURAT IJIN PENELITIAN……………………………………..……...... VI
5.
SURAT KETERANGAN DARI BMT BIF……………………….…....…. X
6. AKAD
PEMBIAYAAN HIWALAH…………………………………….. XI
7.
SURAT BUKTI WAWANCARA……………………………………..… XIII
8. FATWA
DSN MUI NO. 12/DSN-MUI/IV/2000
TENTANG
H{AWA<LAH………………………………………...…….... XX
9.
FATWA DSN MUI NO.: 44/DSN-MUI/VIII/2004
TENTANG PEMBIAYAAN MULTIJASA……………………………... XXII
10. CURRICULUM VITAE……………………………………………….. XXIII
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial
yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Disadari atau tidak, untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berhubungan satu sama lain.1 Dalam
hal ini, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang
lain, karena manusia diciptakan untuk saling tolong menolong. Sebagaimana yang
telah difirmankan dalam al-Qur’an :
2ناوﺪﻌﻟاو ﻢﺛﻹا ﻰﻠﻋ اﻮﻧوﺎﻌﺗ ﻻو ىﻮﻘﺘﻟاو ﺮﺒﻟا ﻰﻠﻋ اﻮﻧوﺎﻌﺗو
Dalam ayat tersebut setiap manusia
diperintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebajikan. Hubungan antar
sesamanya dalam bentuk ta’a>wun tersebut lebih dikenal dengan istilah
muamalah.
Salah satu bentuk kegiatan muamalah adalah
hutang piutang. Hutang piutang
adalah muamalah yang
dibolehkan karena dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setiap manusia terkadang tidak
dapat mencukupinya dengan harta benda yang dimiliki, sehingga jika menghadapi
kebutuhan yang mendesak sering orang berhutang kepada orang lain. Dalam
ajaran Islam, hutang dapat berupa barang maupun
uang. Walaupun hutang
1
Ahmad Azhar Basyir,
Asas-Asas Hukum Muamalat
(Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm.
11.
2 Al-Ma>idah (5): 2.
dalam bentuk barang diperbolehkan, namun
sekarang ini lebih banyak orang berhutang dalam bentuk uang. Transaksi hutang
piutang dalam bentuk uang terjadi
ketika seseorang karena
suatu kebutuhan tertentu
memerlukan pinjaman uang dari orang lain dan yang bersangkutan berjanji
akan mengembalikan uang tersebut pada waktu yang telah disepakati bersama.
Dalam
hutang piutang, Islam
mengajarkan untuk bersegera melunasinya karena menunda
pembayaran bagi orang yang mampu adalah perbuatan yang zalim. Namun, terdapat
kemurahan bagi orang yang tidak mampu membayarnya. Dalam hal ini, orang yang
berhutang (selanjutnya disebut debitur), dapat mengalihkan hutangnya kepada
pihak lain. Demikian juga dengan orang yang berpiutang (selanjutnya disebut
kreditur), ia dapat mengalihkan piutangnya kepada orang lain. Hal tersebut,
dalam hukum Islam disebut dengan hiwalah
/ h}awa>lah. Hiwalah merupakan pemindahan hutang dari
satu tanggungan kepada tanggungan yang lain dengan hutang yang sama.3
Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari
muh}i>l (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muh}a>l ‘alaih (orang
yang berkewajiban membayar hutang).
Dewasa ini, telah banyak tersebar
lembaga-lembaga keuangan yang berprinsip syari’ah baik makro maupun mikro,
berupa Lembaga Keuangan Syari’ah (selanjutnya disebut LKS) bank maupun
non-bank. Dengan tersebarnya lembaga keuangan berprinsip syari’ah tersebut,
maka akad dan
3 ‘Abd
ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, alih
bahasa Moh.
Zuhri, dkk, cet. IV, (Semarang: Asy Syifa’, 1994), IV: 353.
akad hiwalah tersebut.
Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional MUI telah menetapkan bahwa hiwalah dapat
dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah.4
Hiwalah ini sangat
penting karena memudahkan
penyelesaian hutang piutang, terutama dalam dunia perdagangan besar yang
biasa menggunakan cheque dari bank.5
Dalam LKS, hiwalah merupakan akad pelengkap yang dimaksudkan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dan
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan6, karena dasar akadnya adalah
ta’a>wuni atau tabarru’. Dengan
demikian, tidak diperbolehkan adanya pengambilan keuntungan atas pelaksanaan
akad tersebut. Hal ini dikarenakan, inti dari akad tabarru’ adalah untuk menolong
/ membantu orang
yang mengalami kesulitan,
misalnya kurang mampu dalam membayar hutang. Namun, saat ini setiap
Lembaga Keuangan Syariah mengenakan fee atas akad-akad tabarru’ dengan alasan
sebagai biaya administrasi.
Bait al Ma>l Wat Tamwil (selanjutnya disebut
BMT) adalah salah satu lembaga keuangan mikro non-bank yang berdiri berdasarkan
syari’ah Islam dan bergerak dalam
upaya memberdayakan umat.
Pendirian BMT
dimaksudkan untuk memfasilitasi masyarakat yang
tidak terjangkau pelayanan
4 Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia No: 12/DSN- MUI/IV/2000, tentang H{awa>lah, poin b.
5
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm.
475, sebagaimana dikutib dalam buku karya Moh. Anwar, Muamalat, Munakahat,
Fara’id, dan Jinayat, hlm. 60.
6 Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia,
2005), hlm. 71.
bank syari’ah seperti BMI dan BPR Syari’ah.
Prinsip operasionalnya tidak jauh berbeda dengan bank syari’ah. Dalam hal
pembiayaan, selain menggunakan
prinsip bagi hasil,
jual beli, dan
sewa, juga menggunakan prinsip jasa / akad pelengkap
seperti hiwalah.
BMT Bina Ihsanul Fikri (selanjutnya disingkat
BMT BIF) Gedongkuning merupakan salah satu lembaga keuangan mikro syari’ah di
Yogyakarta dan cukup berkembang.7 BMT BIF juga menggunakan akad hiwalah sebagai
salah satu produk pembiayaan. Dalam profil Lembaga Keuangan Syariah BMT BIF, hiwalah
adalah produk jasa talangan dana yang dibutuhkan sangat cepat sementara piutang
nasabah di tempat lain belum jatuh tempo.8
Dalam
prakteknya, pemberian pinjaman
dengan akad hiwalah misalnya: untuk keperluan biaya
sekolah keluarga anggota9, Rumah Sakit atau jika anggota memiliki hutang di
pihak lain sedangkan hutang anggota tersebut sudah jatuh
tempo, kemudian anggota
meminta pihak BMT
untuk
membayarnya
terlebih dahulu. Dalam
pelaksanaan akad hiwalah
tersebut,
7 Lokasi
BMT BIF didekat pasar Gedong Kuning yang juga berdekatan dengan obyek wisata
kebun binatang. Dengan lokasi yang sangat strategis ini, BMT BIF menjadi salah
satu alternatif peminjaman ataupun pembiayaan dengan prinsip syari’ah baik dari
pedagang pasar, pedagang kaki lima di sekitar kebun binatang maupun dari
masyarakat sekitar Gedong Kuning sendiri.
8
Profile BMT Bina Ihsanul Fikri, hlm. 5.
9 Yang
dimaksud anggota di sini adalah para nasabah. Walaupun BMT merupakan salah satu
lembaga keuangan syari’ah, namun BMT berada dalam naungan koperasi, sehingga
istilah nasabah tidak digunakan dalam BMT, tetapi maksudnya sama dengan
anggota.
BMT BIF Gedongkuning mengenakan fee10, yang
dalam fiqh muamalah disebut dengan ujrah (upah). Hal ini berbeda dengan teori
dasar akad hiwalah, yakni akad tabarru’ yang merupakan akad yang tidak
bertujuan untuk mencari keuntungan.
Selain itu, mengenai s}igah, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis
Ulama Indonesia No: 12/DSN-MUI/IV/2000, tentang
Ha{
wa>lah,
poin kedua
dalam Ketentuan Umum H{awa>lah menyebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul
harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad). Dengan demikian, dalam akad hiwalah tersebut terdapat
tiga pihak yang
terlibat, yakni muh}i>l,
muh}a>l dan muh}a>l
‘alaih.
Namun, dalam prakteknya
di BMT BIF
Gedongkuning hanya dilakukan
oleh dua pihak yaitu pihak BMT BIF dan pihak anggota, sehingga jika dilihat,
akad tersebut hampir sama dengan akad Al-Qardh (hutang piutang). Berangkat dari
permasalahan tersebut, penyusun tertarik untuk membahasnya.
B. Pokok
Masalah
Berdasarkan
paparan latar belakang
permasalahan tersebut di
atas, maka penyusun merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap pelaksanaan akad hiwalah di
BMT BIF
Gedongkuning?
10 Dapat diartikan sebagai insentif atau bonus,
yakni pembayaran yang diterima baik di depan atau di belakang dan atau di
antara keduanya, atas jasa tertentu yang diberikan sesuai dengan perjanjian
atau kontrak. Tim Penulis DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI, edisi II,
diterbitkan atas kerjasama MUI, KARIM Business Consulting, dan Bank Indonesia:
2003, hlm. 306.
C.
Tujuan dan Kegunaan
1.
Tujuan Penelitian
Menjelaskan
tinjauan hukum Islam terhadap praktek hiwalah di BMT BIF Gedong Kuning.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Secara teoritik, untuk
memberikan pengetahuan dan
pemahaman tentang
praktek-praktek fiqh muamalah
di Lembaga Keuangan Syari’ah, terutama yang berhubungan
dengan praktek hiwalah di LKS.
b.
Secara terapan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
bermanfaat untuk perkembangan BMT BIF pada khususnya, serta lembaga-lembaga
keuangan Islam lainnya dan umat Islam pada umumnya, terutama yang berkaitan
dengan pelaksanaan akad hiwalah di Lembaga Keuangan Syari’ah.
D.
Telaah Pustaka
Hiwalah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
digunakan sebagai salah satu produk pembiayaan
yang berdasar prinsip
jasa. H{iwal> ah ini
hanya merupakan akad pelengkap. Sejauh pengetahuan penyusun, belum ada
penelitian yang membahas tentang praktek hiwalah dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah, khususnya di BMT. Ada beberapa literatur yang membahas tentang
praktek hiwalah dalam dunia perbankan. Namun, belum ada buku yang secara khusus
mengetengahkan bahasan tersendiri tentang hiwa>lah.
Literatur tersebut, di antaranya adalah buku
karya Sutan Remy Sjahdeini yang berjudul Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam
Tata Hukum Perbankan Indonesia. Dalam buku ini dijelaskan secara detail
mengenai gambaran umum akad hiwalah, mulai dari pengertian, dasar hukum,
macam-macam hiwalah, rukun dan syarat, akibat hukum jika hiwalah telah terjadi serta hal-hal yang menyebabkan
berakhirnya akad hiwalah. Selain itu, dijelaskan juga tentang risiko yang harus
ditanggung oleh muh}a>l apabila muh}a>l
‘alaih dalam keadaan bangkrut, mengingkari hiwalah atau meninggal dunia, disertai dengan
perlunya diadakan sumpah apabila terjadi perbedaan pendapat di antara pihak
yang terlibat langsung dalam akad hiwalah. 11
Muhammad Syafi’i Antonio dalam buku yang
berjudul Bank Syari’ah
Dari Teori ke Praktik memaparkan tentang
manfaat dari hiwalah serta aplikasi hiwalah dalam dunia perbankan yang antara
lain adalah usaha factoring (anjak piutang), post-dated check, dan bill
discounting. Sedangkan, Heri Sudarsono
menjelaskan bahwa dalam praktek perbankan syari’ah fasilitas hiwalah lazimnya
untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya
dan bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang.12
Dalam buku Sistem
dan Prosedur Operasional
Bank Syari’ah
11 Sutan
Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, cet. II, (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2005), hlm. 101.
12 Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 72.
dipaparkan sedikit tentang penerapan hiwalah dalam dunia perbankan, yaitu diterapkan dalam
proses debt transfer.13
Muhammad Ridwan dalam buku Manajemen Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT), menjelaskan bahwa hiwalah merupakan salah satu jenis akad
tabarru’ yaitu jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau
transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba dan lebih berorientasi
pada kegiatan ta’a>wun / tolong menolong.14
Pinjaman dengan menggunakan akad hiwalah ini disyaratkan adanya piutang
dari yang meminjam.
Dalam kitab al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu karangan Wahbah az-
Zuhaili, memberikan penjelasan
mengenai gambaran umum akad hiwalah, mulai dari
definisi hiwalah, rukun,
syarat serta kembalinya
muh}a>l ‘alaih kepada muhi}
>l, dan kapan hiwalah itu berakhir.15
Sedangkan dalam Kitab al- Fiqh
‘ala al-Maza>hib al-Arba’ah,
karya ‘Abd. ar-Rahma>n
al-Jazi>ri>, alih bahasa
Moh. Zuhri, dkk dijelaskan juga bahwa syarat bagi hutang yang dialihkan
merupakan hutang yang dinilai tetap dan
hutang yang dipikul oleh muh}i>l itu
sama dengan hutang muh}a>l ‘alaih
dalam hal jenis, kadar, masa pembayaran kembali, tempo, utuh dan pecahannya.
Dalam buku tersebut juga dijelaskan secara panjang lebar tentang syarat-syarat
muhi}>l, muh}a>l, dan muh}a>l
‘alaih serta s}igah. Kemudian, As- Sayyid
Sa>biq dalam bukunya yang berjudul
13
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah, (Yogyakarta:
UII Press, 2000), hlm. 40.
14 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Ma>l
Wat Tamwil, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hlm. 88.
15
Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh
al-Isla>mi> wa Adillatuhu,
(Damsyiq: Da>r al-Fikr,
1989), V.
Fiqh as-Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A.
Marzuki menjelaskan tentang definisi, dasar hukum, syarat-syarat serta gugurnya
tanggungan muhi} >l dengan adanya hiwalah
yang berjalan sah.16
Adapun mengenai karya ilmiah, sejauh
pengetahuan penyusun, tidak
banyak yang membahas tentang pengalihan hutang
(hiwalah) ini. Salah satu karya ilmiah yang membahas tentang pengalihan hutang
adalah skripsi yang disusun oleh Nanik
Rosyidah dengan judul
“Perspektif Hukum Islam Terhadap Pengalihan Hutang Kepada
Pihak Ketiga”. Dalam skripsi ini, penelitian menyangkut masalah pengalihan hutang
piutang dalam bisnis modern yaitu perusahaan anjak piutang (factoring).
Penelitian dalam skripsi ini lebih kepada prinsip pengalihan piutang yang
diterapkan oleh perusahaan anjak piutang ditinjau dari hukum Islam, yang
dikaitkan dengan konsep hiwalah.17
Sedangkan, penelitian penyusun menyangkut praktek hiwalah di Lembaga
Keuangan Syariah, khususnya di BMT, yang salah satu aplikasi akad hiwalah di
LKS adalah anjak piutang.
E.
Kerangka Teoretik
Allah SWT. menciptakan manusia dengan minat dan
niatnya untuk selalu mengadakan hubungan antar sesamanya agar saling tolong
menolong. Hubungan tersebut dinamakan muamalah. Hutang piutang merupakan salah
satu kebiasaan muamalah yang dibolehkan. Sebagaimana kaidah fiqh:
16
As-Sayyid Sa>biq, Fiqh
as-Sunnah, alih bahasa
H. Kamaluddin A.
Marzuki, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), XIII: 39-41.
17 Nanik
Rosyidah, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Pengalihan Hutang Kepada
Pihak Ketiga,” Skripsi Fakultas Syari’ah UIN
Sunan Kalijaga 2001, hlm. 8.
ﻮﻔﻌﻟا ةدﺎﻌﻟا ﻰﻓ ﻞﺼﻌﻟاا18
Dalam al-Qur’an juga telah dijelaskan bahwa
siapa pun yang mau memberikan pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah
akan melipatgandakan pembayarannya dengan lipat ganda yang baik. Sebagaimana
firman Allah SWT.:
ةﺮﻴﺜآ ﺎﻓﺎﻌﺿا ﻪﻟ ﻪﻔﻌﻀﻴﻓ ﺎﻨﺴﺣ ﺎﺿﺮﻗ ﷲا ضﺮﻘﻳ يﺬﻟا اذ ﻦﻣ
نﻮﻌﺟﺮﺗ ﻪﻴﻟاو
ﻂﺼﺒﻳو ﺾﺒﻘﻳ ﷲاو19
Islam menganjurkan untuk melunasi hutang jika
sudah sanggup membayarnya agar terlepas dari tanggung jawab. Jika sesorang
mampu membayar hutang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim.
Namun, jika tidak bisa membayarnya secara langsung maka hutang tersebut
dapat dialihkan kepada seseorang yang lain.
Sebagaimana sabda Nabi saw.:
ﻊﺒﺘﻴﻠﻓ ّﻲﻠﻣ ﻰﻠﻋ ﻢآﺪﺣا ﻊﺒﺗا اذՁﻓ
ﻢﻠﻇ ّﻲﻨﻐﻟا ﻞﻄﻣ20
Dalam hadis tersebut Rasulullah saw.
memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang (muhi}
>l) menghiwalahkan kepada orang
yang kaya dan
berkemampuan, hendaklah orang
yang
berpiutang (muh}a>l) menerima hiwalah
tersebut, dan ia dapat menagih hutang
133.
18 Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
19 Al-Baqarah (2): 245
20 Al-Bukha>ri,>
S{ah}ih al-Bukha>ri>, Kitab H{awa>lah,
Bab al H}awalati wa Hal Yarji’u fi>
al H}awalati, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994)
III: 76. Hadis no. 2287. Hadis diriwayatkan dari Abu
Hurairah.
tersebut pada orang yang dihiwalahkan
(muh}a>l ‘alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi.21
Hiwalah diambil dari kata tah}wil yang berarti
intiqal (perpindahan).22
Menurut pengertian etimologi (bahasa) berarti
memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun menurut pengertian
terminologi, yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan hutang dari satu
tanggungan kepada tanggungan yang lain dengan hutang yang sama.23
Hiwalah memiliki beberapa macam. Mazhab Hanafi
membagi hiwalah
dalam beberapa bagian, yaitu:
1. Hiwalah
muqayyadah (pemindahan bersyarat), yaitu pemindahan sebagai ganti dari
pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua. Dalam hiwalah muqayyadah tersebut
mencakup: hiwalah al-h}aqq,
yaitu pemindahan hak menuntut
hutang serta hiwalah ad-dain,
yaitu pemindahan kewajiban untuk membayar hutang.
2. Hiwalah
mut}laqah (pemindahan mutlak), yaitu
pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang
pihak pertama kepada pihak kedua.
Adapun rukun hiwalah menurut mazhab Hanafi adalah adanya ijab
(pernyataan
melakukan hiwalah) dari
pihak pertama, dan
adanya qabul
21
As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, XIII: 39.
22 Ahmad
Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
t.p., 1984), hlm. 311.
23 Al
Jazi>ri>, Kitab al-Fiqh, hlm. 353.
(pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua
dan pihak ketiga. Sedangkan menurut jumhur selain Hanafiah, hiwalah memiliki
enam rukun, yaitu:24
1.
Muh}i>l (orang yang berhutang)
2.
Muh}a>l disebut juga Muh}ta>l dan h}a>wil, yaitu pemilik hutang
atau kreditur
3.
Muh}a>l ‘alaih, debitur pada muha}
>l
4.
Muh}a>l bih, piutang muh}a>l atas muh}i>l
5.
Piutang muhi>l atas muha>l ‘alaih
6.
S{igah
Hiwalah sah
dilakukan apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:25
1. Para
pihak yang terlibat dalam hiwalah itu
cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh atau berakal.
2.
Adanya pernyataan persetujuan (kerelaan) dari muh}i>l dan muh}a>l.
3.
Hutang yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang
piutang yang pasti.
4.
Kedua piutang itu persis sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
Aplikasi hiwalah dalam perbankan Islam, antara
lain:26
1.
Factoring (anjak piutang)27, yaitu apabila para nasabah yang memiliki
hutang pada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu
membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
24 Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh
al-Isla>mi>, V:165.
25
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam, hlm. 97.
26 M.
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), hlm. 127.
2.
Post-date chek, yaitu
bank bertindak sebagai
juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3. Bill
discounting. Secara prinsip serupa dengan hiwalah. Perbedaannya, dalam bill
discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan dalam kontrak hiwalah tidak
terdapat pembahasan tentang fee.
Dalam fiq muamalah, dilihat dari maksud dan
tujuannya, akad dibagi dalam dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijari.
Akad hiwalah merupakan salah satu akad tabarru’, yakni jenis akad yang
berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk
mendapatkan laba atau keuntungan. Dalam hal ini, dimaksud untuk menolong
dan murni semata-mata karena
mengharap ridha dan
pahala dari Allah.
Dengan demikian, dalam akad hiwalah tidak dibolehkan adanya pengambilan
fee.
Fee diartikan sebagai insentif atau bonus,
yakni pembayaran yang diterima baik di depan atau di belakang dan atau di
antara keduanya, atas jasa tertentu yang diberikan sesuai dengan perjanjian
atau kontrak.28 Namun, saat ini setiap
Lembaga Keuangan Syariah
mengenakan fee atas
akad-akad tabarru’ dengan alasan sebagai biaya administrasi, sedangkan
akad tabarru’ semata-mata untuk tolong
menolong tanpa mengharap
apapun. Kemudian,
mengenai s}igah, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia
27 Dalam
bisnis konvensional, factoring (anjak piutang) merupakan lembaga pembiayaan
yang dalam melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam bentuk pembelian dan
atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu
perusahaan dari transaksi dalam atau luar negeri. Lihat: Richard Burton
Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 109.
28 Tim
Penulis DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI, edisi II, diterbitkan atas kerjasama
MUI, KARIM Business Consulting, dan Bank Indonesia: 2003, hlm. 306.
No: 12/DSN-MUI/IV/2000, tentang
H{awa>lah, poin kedua dalam Ketentuan
Umum H{awa>lah menyebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan
oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad).
BMT BIF sebagai salah satu Lembaga Keuangan
Syari’ah juga menyediakan produk hiwalah dalam produk pembiayaannya. BMT BIF
menggunakan akad hiwalah, misalnya, jika anggota BMT membutuhkan pinjaman untuk
biaya sekolah, Rumah Sakit, atau jika anggota mempunyai hutang di pihak lain
yang harus segera dibayar. Namun, pelaksanaan akad hiwalah tesebut hanya
dilakukan oleh dua belah pihak, yakni pihak BMT BIF Gedongkuning dan pihak
anggota, sehingga praktek tersebut hampir sama dengan akad Al-Qardh. BMT BIF
Gedongkuning juga mengenakan fee. Fee tersebut sesuai dengan kesepakatan antara
pihak BMT dan anggota, setelah diadakan survei. Misalnya, plafon / jumlah
pinjaman minimal 1 juta rupiah, fee sebesar dua puluh lima ribu rupiah.
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti
masalah tersebut adalah penelitian lapangan (field research), yakni data yang
diperoleh dengan melakukan penelitian langsung di lapangan. Adapun lokasi
penelitian ini adalah BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta.
2.
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu
menilai masalah yang ada dalam pokok
bahasan secara kritis
analitis, apakah permasalahan
itu sesuai dengan hukum Islam
atau tidak.
3.
Pendekatan Masalah
Dalam pembahasan penelitian ini, penyusun
menggunakan pendekatan normatif,
yaitu pendekatan melalui
norma-norma hukum Islam berdasarkan nas}-nas{ al-Qur’an, al-
Hadis, kaidah fiqhiyah maupun hasil ijtihad ulama.
4.
Metode Pengumpulan Data a. Data
Primer
1)
Wawancara (interview). Dalam hal ini, penyusun memilih jenis wawancara
bebas terpimpin.29 Wawancara ditujukan
kepada manajer BMT BIF Gedongkuning, bagian administrasi pembiayaan dan tabungan,
bagian marketing dan
anggota BMT yang menggunakan akad hiwalah.
2)
Dokumen-dokumen di lapangan. Dokumen diambil dari data yang telah ada di
lapangan, seperti sejarah dan perkembangan BMT BIF, struktur organisasi, job
description serta sistem dan prosedur pembiayaan di BMT BIF Gedongkuning.
b. Data
Sekunder
29 Yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan
terpimpin. Pewawancara hanya membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti,
selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi, pewawancara
harus pandai mengarahkan yang diwawancarai apabila ia menyimpang. Cholid
Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cet. V, (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), hlm. 84.
Diperoleh dari buku-buku fiqh dan perbankan
Islam serta buku-buku lain yang relevan dengan permasalahan yang penyusun
teliti.
5.
Analisis Data
Untuk menganalisis data, digunakan cara
berpikir deduktif. Dalam hal ini, berangkat
dari teori hukum
muamalat khususnya hiwalah
kemudian melihat praktek hiwalah di BMT BIF Gedongkuning apakah sudah
sesuai dengan teorinya
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah alur pembahasan agar lebih
terarah dan sistematis, maka penyusun membahas skripsi ini dalam lima bab,
terdiri dari beberapa sub bab yang secara lengkap sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang
merupakan kerangka dari bab-bab
berikutnya, yang berisi
latar belakang masalah,
pokok masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua memaparkan tentang hutang piutang dan
pengalihan hutang (hiwalah) menurut hukum Islam. Ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran umum hutang piutang dan pengalihan hutang (hiwalah) sebagai
penjelasan terhadap teori terkait permasalahan yang penyusun teliti, yang
meliputi pengertian dan dasar hukum, rukun dan syarat, obyek dan macam- macam,
akibat hukum dan berakhirnya akad hiwalah, aplikasi hiwalah dalam Lembaga
Keuangan Syari’ah serta perbedaan akad hiwalah dengan Al-Qardh.
Bab ketiga, berisi tentang gambaran umum
praktek hiwalah di BMT BIF Gedongkuning,
yang mencakup: pengertian BMT, letak geografis, sejarah berdirinya BMT
BIF serta perkembangannya, visi
dan misi, struktur organisasi, produk-produk yang
ditawarkan serta penjelasan tentang praktek hiwalah di BMT BIF Gedongkuning.
Bab ini merupakan data yang akan dianalisis.
Bab keempat, merupakan analisis hukum terhadap
praktek hiwalah di BMT BIF Gedongkuning,
dari segi subyek,
obyek yakni hutang
yang dialihkan (muh}a>l bih), dari segi s}igah serta dari segi
pengenaan fee. Hal ini penting untuk mengetahui apakah prakteknya sudah sesuai
dengan rukun dan syarat dalam hiwalah sebagaimana teorinya. Bab ini merupakan
jawaban dari pokok permasalahan yang penyusun teliti.
Bab kelima, merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dan berbagai saran dalam pembahasan skripsi ini.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah menyelesaikan penelitian di BMT BIF
Gedongkuning, kemudian menganalisis tentang praktek akad hiwalah terutama yang
berkaitan dengan subyek dan hutang yang dialihkan (muh}a>l bih) serta s}igah
(ijab dan qabul), maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari segi subyek, akad hiwalah yang
dilakukan oleh BMT BIF Gedongkuning adalah sah. Anggota BMT BIF sebagai
muh}i>l (orang yang berhutang dan berpiutang), pihak lain (Rumah Sakit,
sekolah atau person) adalah muh}a>l karena anggota berhutang kepadanya, dan
BMT BIF Gedongkuning adalah muh}a>l
‘alaih, yakni pihak yang berhutang kepada muh{i>l dan
berkewajiban membayar hutang
kepada muh}a>l. Menurut mazhab Hanafi, orang yang memindahkan
hutang tidak disyaratkan mempunyai hutang yang dipikul oleh orang yang
dipindahi hutang. Jadi boleh saja memindahkan hutang kepada orang yang
melakukannya dengan sukarela.
2. Dari
segi obyek, yakni hutang yang dialihkan atau yang disebut dengan
muh{a>l bih, pihak
BMT BIF Gedongkuning tidak
mensyaratkan bahwa hutang anggota
kepada pihak lain yang akan dibayarkan BMT BIF Gedongkuning harus sebesar
simpanan dana atau tabungan anggota. Tabungan anggota di BMT BIF Gedongkuning
biasanya lebih kecil dari
pinjaman yang diajukan, karena salah satu
syarat orang yang meminjam di BMT harus menjadi anggota BMT dengan membuka
rekening tabungan. Hal tersebut dibolehkan karena mengacu pada teori mazhab
Hanafi yang tidak mensyaratkan hutang yang dialihkan harus sama dalam jumlah
dan kualitasnya untuk hiwalah mut}laqah.
3.
Dari segi s}igah,
bahwa akad hiwalah
yang terjadi di
BMT BIF
Gedongkuning
hanya dilaksanakan antara
anggota sebagai muhi} >l dan BMT BIF Gedongkuning sebagai
muh}a>l ‘alaih. Hal ini berbeda dengan ketentuan Fatwa DSN
MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 yang menyatakan bahwa pernyataan ijab dan qabul
harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad). Dalam hal ini, pihak Rumah Sakit, sekolah atau orang
yang berpiutang kepada anggota tidak mengetahui adanya akad hiwalah antara
anggota dan BMT BIF Gedongkuning.
4. Dari
segi fee, tidak diperbolehkan pengambilan fee atas akad tabarru’, sedangkan
akad hiwalah termasuk akad tabarru’.
Akad tabarru’ adalah jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau
transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba / keuntungan. Dalam hal
ini, dimaksudkan untuk menolong dan murni
semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah. BMT BIF Gedongkuning
juga mengenakan fee atas pelaksanaan
akad hiwalah, sehingga
tidak diperbolehkan walaupun
pihak anggota sepakat.
B.
Saran-saran
1. BMT
BIF hendaknya memberikan pengetahuan atau penjelasan tentang akad-akad yang ada
di BMT BIF agar anggota lebih mengetahui dan mengerti benar tentang akad- akad
yang digunakan di BMT BIF.
2.
Dalam pelaksanaan akad hiwalah di
BMT, hendaknya masing-masing pihak mengetahui terjadinya
akad hiwalah, baik pihak anggota yang mengajukan pemindahan / pengalihan hutang
ke BMT BIF Gedongkuning, pihak BMT BIF Gedongkuning yang menerima pemindahan
hutang dan pihak lain yang mempunyai piutang di tangan anggota, agar
pelaksanaan ijab dan qabul dapat dinyatakan oleh ketiga belah pihak,
sebagaimana fatwa DSN MUI tentang hiwalah.
3. Biaya administrasi dengan fee adalah
berbeda. Jika BMT BIF ingin mengenakan fee, maka lebih baik menggunakan akad
ijarah multiguna / multijasa sebagaimana Bank Indonesia telah mengeluarkan
peraturannya berdasarkan Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI
NO: 44/DSN- MUI/VIII/2004
tentang ijarah multijasa.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Al-Qur’an
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: Tanjung Mas
Inti, 1992.
B.
Kelompok al-Hadis
Al-Bukha>ri>, S{ah}ih al-Bukha>ri>,
Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. 4 jilid. Ibnu Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah,
Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. 2 jilid.
C.
Kelompok al-Fiqh / Us}ul Fiqh
Abdul Hadi, Abu Sura’i, Bunga Bank Dalam Islam,
alih bahasa M. Thalib, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Ali> Fikri>, Al-Mu’a>malah al-Ma>diyah wa al-Adabiyyah, Mesir: Mustafa al-
Babi> al-Halabi> wa Auladuh, 1938, 4juz.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Dari
Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Arifin,
Zainul, Dasar-Dasar Manajemen
Bank Syariah, Jakarta:
Pustaka
Alvabet, 2006.
Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat
(Hukum Perdata Islam), Yogyakarta, UII Press, 2000.
----, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang,
Gadai, cet. II, Bandung: Al
Ma’arif, 1983.
Gemala
Dewi, dkk., Hukum
Perikatan Islam Indonesia,
cet. II, Jakarta: Kencana, 2006.
Al-Jazi>ri>, ‘Abd ar-Rah}ma>n, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Maza>hib al-Arba’ah, alih bahasa Moh. Zuhri, dkk, cet.
IV, Semarang: Asy Syifa’, 1994, 4jilid.
Karim, Adiwarman A, Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga
Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2002.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank
Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Munawwir, Ahmad Warson,
al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: t.p., 1984.
Al Muslih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, alih
bahasa Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004.
Muthahhari, Murtadha, Pandangan Islam Tentang
Asuransi dan Riba, alih bahasa Irwan Kurniawan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003. Pasaribu,
Chairuman dan Suhrawardi
K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam
Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Perwataatmadja, Karnaen
dan Muhammad Syafi’i
Antonio, Apa dan
Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1992.
Ridwan,
Muhammad, Manajemen Baitul
Ma>l Wat Tamwil
(BMT),
Yogyakarta: UII Press, 2004.
Sa>biq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, alih
bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: Al Ma’arif, 1987. 14 jilid.
Sjahdeini,
Sutan Remy, Perbankan
Islam dan Kedudukannya
dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, cet. II, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2005.
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 1992. Sudarsono,
Heri, Bank dan
Lembaga Keuangan Syari’ah,
Yogyakarta:
Ekonisia, 2005.
Sudarsono, Heri dan Hendi Yogi Prabowo, Kamus
Istilah-istilah Bank dan
Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: UII
Press, 2004. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005. Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Tim Penulis DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI,
edisi II, diterbitkan atas kerjasama
MUI, KARIM Business
Consulting, dan Bank
Indonesia:
2003.
Az-Zuhaili>, Wahbah, al-Fiqh
al-Isla>mi> wa Adillatuhu, Damsyiq: Da>r al-Fikr, t.t, 8 juz.
Akad Takafuli dan
Tabarru’ dalam Asuransi Syariah. www.pojokasuransi.com,
2007.
2007.
D.
Lain-lain
C.S.T.
Kansil, Pokok-Pokok Hukum
Dagang Indonesia, Jakarta:
Sinar
Grafika, 1994.
Goldfield, Stephen M. dan Lester V. Chandler,
Ekonomi Uang dan Bank, alih bahasa A. Hasyim Ali, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perekonomian Adat
Indonesia, cet. I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Dagang tentang
Surat-Surat Berharga, Bandung: Alumni, 1984.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi
Penelitian, cet. V, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, cet. II,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Simatupang, Richard Burton, Aspek Hukum Dalam
Bisnis, Jakarta: Rineka
Cipta, 2003.
Soerjopratiknjo, Hartono, Hutang Piutang, Perjanjian-Perjanjian
Pembayaran, dan Jaminan Hypotik, Yogyakarta:
Mustika Wikasa, 1994.
Sunggono, Bambang, Pengantar Hukum Perbankan,
Bandung: CV Mandar
Maju, 1995.
Suryodibroto,
Imam Prayogo dan
Djoko Prakoso, Surat
Berharga Alat
Pembayaran Dalam Masyarakat Modern, Jakarta:
Rineka Cipta, 1995.
Y.
Sri Susilo dkk,
Bank dan Lembaga
Keuangan Lain, Jakarta:
Salemba
Empat, 2000.

0 comments