BAB II Pengalihan Hutang (Hiwalah)

BAB I.    PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah 

B.  Pokok Masalah

C.  Tujuan dan Kegunaan
D.  Telaah Pustaka 

E.  Kerangka Teoretik

F.  Metode Penelitian

G.  Sistematika Pembahasan

BAB II.  TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PIUTANG

DAN PENGALIHAN HUTANG (HIWALAH)  
A.  Hutang Piutang
1. Pengertian dan Dasar Hukum
2. Rukun dan Syarat

3. Obyek dan Macam-macam .....................................................  22

B.   

1.   Pengertian dan Dasar Hukum

2.   Rukun, Syarat dan Macam-macam

3.   Akibat Hukum dan Berakhirnya Akad Hiwalah

C.  Aplikasi Hiwalah di Lembaga Keuangan Syariah

1.   Praktek hiwalah di Lembaga Keuangan Syari’ah

2.   Perbedaan dengan akad Al-Qardh

BAB III.   GAMBARAN UMUM BMT BIF GEDONGKUNING DAN PRAKTEK HIWALAH  DI BMT BIF
A.  Gambaran Umum BMT BIF Gedongkuning

1.   Letak Geografis

2.   Sejarah dan Perkembangan BMT BIF

3.   Struktur Organisasi

4.   Produk-produk dan jasa yang ditawarkan

B.   Praktek Hiwalah di BMT BIF Gedongkuning

1.   Syarat dan Prosedur Pinjaman dengan Akad Hiwalah

2.   Pelaksanaan Akad Hiwalah

BAB IV.  ANALISIS TERHADAP PRAKTEK HIWALAH

DI BMT BIF GEDONGKUNING

A.  Dari segi subyek

B.   Dari segi obyek





C.   Dari segi s}igah ..........................................................................  67

D.  Dari segi fee…………………………………………………....   70

BAB V.  PENUTUP........................................................................................  74

A.  Kesimpulan   ..............................................................................  74

B.   Saran………………………………………………...................   76

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................   77

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1.   TERJEMAHAN……………………………………………………….…...   I

2.   BIOGRAFI ULAMA DAN SARJANA MUSLIM………………..…......... III

3.   PEDOMAN WAWANCARA………………………………………...…..   V

4.   SURAT IJIN PENELITIAN……………………………………..……......  VI

5.   SURAT KETERANGAN DARI BMT BIF……………………….…....….  X

6.   AKAD PEMBIAYAAN HIWALAH……………………………………..  XI

7.   SURAT BUKTI WAWANCARA……………………………………..… XIII

8.   FATWA DSN MUI NO. 12/DSN-MUI/IV/2000

TENTANG H{AWA<LAH………………………………………...……....  XX

9.   FATWA DSN MUI NO.: 44/DSN-MUI/VIII/2004

TENTANG PEMBIAYAAN MULTIJASA……………………………... XXII

10. CURRICULUM VITAE……………………………………………….. XXIII








BAB I

PENDAHULUAN




A.  Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Disadari atau tidak, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berhubungan satu sama lain.1 Dalam hal ini, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain, karena manusia diciptakan untuk saling tolong menolong. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Qur’an  :
2ناوﺪﻌﻟاو ﻢﺛﻹا ﻰﻠﻋ اﻮﻧوﺎﻌﺗ ﻻو ىﻮﻘﺘﻟاو ﺮﺒﻟا  ﻰﻠﻋ اﻮﻧوﺎﻌﺗو


Dalam ayat tersebut setiap manusia diperintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebajikan. Hubungan antar sesamanya dalam bentuk ta’a>wun tersebut lebih dikenal dengan istilah muamalah.
Salah satu bentuk kegiatan muamalah adalah hutang piutang. Hutang piutang   adalah   muamalah   yang   dibolehkan   karena   dalam   memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, setiap manusia terkadang tidak dapat mencukupinya dengan harta benda yang dimiliki, sehingga jika menghadapi kebutuhan yang mendesak sering orang berhutang kepada orang lain. Dalam
ajaran Islam, hutang dapat berupa barang maupun uang. Walaupun hutang



1   Ahmad  Azhar  Basyir,  Asas-Asas  Hukum  Muamalat  (Hukum  Perdata  Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 11.

2 Al-Ma>idah (5): 2.








dalam bentuk barang diperbolehkan, namun sekarang ini lebih banyak orang berhutang dalam bentuk uang. Transaksi hutang piutang dalam bentuk uang terjadi   ketika   seseorang   karena   suatu   kebutuhan   tertentu   memerlukan pinjaman uang dari orang lain dan yang bersangkutan berjanji akan mengembalikan uang tersebut pada waktu yang telah disepakati bersama.
Dalam  hutang  piutang,  Islam  mengajarkan  untuk  bersegera melunasinya karena menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah perbuatan yang zalim. Namun, terdapat kemurahan bagi orang yang tidak mampu membayarnya. Dalam hal ini, orang yang berhutang (selanjutnya disebut debitur), dapat mengalihkan hutangnya kepada pihak lain. Demikian juga dengan orang yang berpiutang (selanjutnya disebut kreditur), ia dapat mengalihkan piutangnya kepada orang lain. Hal tersebut, dalam hukum Islam disebut dengan hiwalah  / h}awa>lah.  Hiwalah  merupakan pemindahan hutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain dengan hutang yang sama.3

Dalam istilah ulama, hiwalah  adalah pemindahan beban hutang dari muh}i>l (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muh}a>l ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
Dewasa ini, telah banyak tersebar lembaga-lembaga keuangan yang berprinsip syari’ah baik makro maupun mikro, berupa Lembaga Keuangan Syari’ah (selanjutnya disebut LKS) bank maupun non-bank. Dengan tersebarnya lembaga keuangan berprinsip syari’ah tersebut, maka akad dan
prinsip-prinsip muamalah juga diterapkan dalam operasionalisasi LKS, seperti

3  ‘Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, alih bahasa Moh. Zuhri, dkk, cet. IV, (Semarang: Asy Syifa’, 1994), IV: 353.








akad   hiwalah   tersebut.   Fatwa   Dewan   Syari’ah   Nasional   MUI   telah menetapkan bahwa hiwalah dapat dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah.4   Hiwalah     ini  sangat  penting  karena  memudahkan  penyelesaian hutang piutang, terutama dalam dunia perdagangan besar yang biasa menggunakan cheque dari bank.5
Dalam LKS, hiwalah  merupakan akad pelengkap yang dimaksudkan

untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dan tidak ditujukan untuk mencari keuntungan6, karena dasar akadnya adalah ta’a>wuni  atau tabarru’. Dengan demikian, tidak diperbolehkan adanya pengambilan keuntungan atas pelaksanaan akad tersebut. Hal ini dikarenakan, inti dari akad tabarru’ adalah untuk  menolong  /  membantu  orang  yang  mengalami  kesulitan,  misalnya kurang mampu dalam membayar hutang. Namun, saat ini setiap Lembaga Keuangan Syariah mengenakan fee atas akad-akad tabarru’ dengan alasan sebagai biaya administrasi.

Bait al Ma>l Wat Tamwil (selanjutnya disebut BMT) adalah salah satu lembaga keuangan mikro non-bank yang berdiri berdasarkan syari’ah Islam dan   bergerak   dalam   upaya   memberdayakan   umat.   Pendirian   BMT
dimaksudkan untuk memfasilitasi masyarakat yang tidak terjangkau pelayanan



4 Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 12/DSN- MUI/IV/2000, tentang H{awa>lah, poin b.

5  Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 475, sebagaimana dikutib dalam buku karya Moh. Anwar, Muamalat, Munakahat, Fara’id, dan Jinayat, hlm. 60.

6  Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia,
2005), hlm. 71.








bank syari’ah seperti BMI dan BPR Syari’ah. Prinsip operasionalnya tidak jauh berbeda dengan bank syari’ah. Dalam hal pembiayaan, selain menggunakan  prinsip  bagi  hasil,  jual  beli,  dan  sewa,  juga  menggunakan prinsip jasa / akad pelengkap seperti hiwalah.

BMT Bina Ihsanul Fikri (selanjutnya disingkat BMT BIF) Gedongkuning merupakan salah satu lembaga keuangan mikro syari’ah di Yogyakarta dan cukup berkembang.7 BMT BIF juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Dalam profil Lembaga Keuangan Syariah BMT BIF, hiwalah adalah produk jasa talangan dana yang dibutuhkan sangat cepat sementara piutang nasabah di tempat lain belum jatuh tempo.8
Dalam   prakteknya,   pemberian   pinjaman   dengan   akad   hiwalah misalnya: untuk keperluan biaya sekolah keluarga anggota9, Rumah Sakit atau jika anggota memiliki hutang di pihak lain sedangkan hutang anggota tersebut sudah   jatuh   tempo,   kemudian   anggota   meminta   pihak   BMT   untuk
membayarnya  terlebih  dahulu.  Dalam  pelaksanaan  akad  hiwalah  tersebut,






7  Lokasi BMT BIF didekat pasar Gedong Kuning yang juga berdekatan dengan obyek wisata kebun binatang. Dengan lokasi yang sangat strategis ini, BMT BIF menjadi salah satu alternatif peminjaman ataupun pembiayaan dengan prinsip syari’ah baik dari pedagang pasar, pedagang kaki lima di sekitar kebun binatang maupun dari masyarakat sekitar Gedong Kuning sendiri.

8    Profile BMT Bina Ihsanul Fikri, hlm. 5.

9  Yang dimaksud anggota di sini adalah para nasabah. Walaupun BMT merupakan salah satu lembaga keuangan syari’ah, namun BMT berada dalam naungan koperasi, sehingga istilah nasabah tidak digunakan dalam BMT, tetapi maksudnya sama dengan anggota.








BMT BIF Gedongkuning mengenakan fee10, yang dalam fiqh muamalah disebut dengan ujrah (upah). Hal ini berbeda dengan teori dasar akad hiwalah, yakni akad tabarru’ yang merupakan akad yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan.

Selain itu, mengenai s}igah,  Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis


Ulama Indonesia No: 12/DSN-MUI/IV/2000, tentang Ha{

wa>lah,  poin kedua



dalam Ketentuan Umum H{awa>lah  menyebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Dengan demikian, dalam akad hiwalah tersebut  terdapat  tiga  pihak  yang  terlibat,  yakni  muh}i>l,  muh}a>l  dan  muh}a>l
‘alaih.   Namun,   dalam   prakteknya   di   BMT   BIF   Gedongkuning   hanya dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak BMT BIF dan pihak anggota, sehingga jika dilihat, akad tersebut hampir sama dengan akad Al-Qardh (hutang piutang). Berangkat dari permasalahan tersebut, penyusun tertarik untuk membahasnya.




B.  Pokok Masalah

Berdasarkan  paparan  latar  belakang  permasalahan  tersebut  di  atas, maka penyusun merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: Bagaimana tinjauan  hukum  Islam  terhadap  pelaksanaan  akad  hiwalah   di  BMT  BIF
Gedongkuning?



10 Dapat diartikan sebagai insentif atau bonus, yakni pembayaran yang diterima baik di depan atau di belakang dan atau di antara keduanya, atas jasa tertentu yang diberikan sesuai dengan perjanjian atau kontrak. Tim Penulis DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI, edisi II, diterbitkan atas kerjasama MUI, KARIM Business Consulting, dan Bank Indonesia: 2003, hlm. 306.








C.  Tujuan dan Kegunaan

1.   Tujuan Penelitian

Menjelaskan  tinjauan hukum Islam terhadap praktek hiwalah di BMT BIF Gedong Kuning.
2.   Kegunaan Penelitian

a.   Secara  teoritik,  untuk  memberikan  pengetahuan  dan  pemahaman tentang   praktek-praktek   fiqh   muamalah   di   Lembaga   Keuangan Syari’ah, terutama yang berhubungan dengan praktek hiwalah di LKS.
b.   Secara terapan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bermanfaat untuk perkembangan BMT BIF pada khususnya, serta lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya dan umat Islam pada umumnya, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan akad hiwalah di Lembaga Keuangan Syari’ah.



D.  Telaah Pustaka

Hiwalah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah digunakan sebagai salah satu  produk  pembiayaan  yang  berdasar  prinsip  jasa.  H{iwal> ah  ini  hanya merupakan akad pelengkap. Sejauh pengetahuan penyusun, belum ada penelitian yang membahas tentang praktek hiwalah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah, khususnya di BMT. Ada beberapa literatur yang membahas tentang praktek hiwalah dalam dunia perbankan. Namun, belum ada buku yang secara khusus mengetengahkan bahasan tersendiri tentang hiwa>lah.








Literatur tersebut, di antaranya adalah buku karya Sutan Remy Sjahdeini yang berjudul Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Dalam buku ini dijelaskan secara detail mengenai gambaran umum akad hiwalah, mulai dari pengertian, dasar hukum, macam-macam hiwalah, rukun dan syarat, akibat hukum jika hiwalah  telah terjadi serta hal-hal yang menyebabkan berakhirnya akad hiwalah. Selain itu, dijelaskan juga tentang risiko yang harus ditanggung oleh muh}a>l apabila muh}a>l  ‘alaih dalam keadaan bangkrut, mengingkari hiwalah  atau meninggal dunia, disertai dengan perlunya diadakan sumpah apabila terjadi perbedaan pendapat di antara pihak yang terlibat langsung dalam akad hiwalah. 11
Muhammad Syafi’i Antonio dalam buku yang berjudul Bank Syari’ah

Dari Teori ke Praktik memaparkan tentang manfaat dari hiwalah serta aplikasi hiwalah dalam dunia perbankan yang antara lain adalah usaha factoring (anjak piutang), post-dated check, dan bill discounting.  Sedangkan, Heri Sudarsono menjelaskan bahwa dalam praktek perbankan syari’ah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya dan bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang.12   Dalam  buku  Sistem  dan  Prosedur  Operasional  Bank  Syari’ah










11  Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, cet. II, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 101.

12   Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hlm. 72.








dipaparkan sedikit tentang penerapan hiwalah  dalam dunia perbankan, yaitu diterapkan dalam proses debt transfer.13
Muhammad Ridwan dalam buku Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), menjelaskan bahwa hiwalah merupakan salah satu jenis akad tabarru’ yaitu jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba dan lebih berorientasi pada kegiatan ta’a>wun / tolong menolong.14  Pinjaman dengan menggunakan akad hiwalah ini disyaratkan adanya piutang dari yang meminjam.
Dalam kitab al-Fiqh al-Isla>mi  wa Adillatuhu karangan Wahbah az- Zuhaili,  memberikan  penjelasan  mengenai  gambaran  umum akad hiwalah, mulai  dari  definisi  hiwalah,  rukun,  syarat  serta  kembalinya  muh}a>l   ‘alaih kepada muhi} >l, dan kapan hiwalah itu berakhir.15  Sedangkan dalam Kitab al- Fiqh  ‘ala  al-Maza>hib  al-Arba’ah,  karya  ‘Abd.  ar-Rahma>n  al-Jazi>ri>,  alih bahasa Moh. Zuhri, dkk dijelaskan juga bahwa syarat bagi hutang yang dialihkan merupakan hutang  yang dinilai tetap dan hutang yang dipikul oleh muh}i>l  itu sama dengan hutang muh}a>l  ‘alaih dalam hal jenis, kadar, masa pembayaran kembali, tempo, utuh dan pecahannya. Dalam buku tersebut juga dijelaskan secara panjang lebar tentang syarat-syarat muhi}>l, muh}a>l, dan muh}a>l
‘alaih serta s}igah. Kemudian, As- Sayyid Sa>biq dalam bukunya yang berjudul


13  Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 40.

14 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Ma>l Wat Tamwil, (Yogyakarta: UII Press,
2004), hlm. 88.

15   Wahbah  az-Zuhaili>,  al-Fiqh  al-Isla>mi>  wa  Adillatuhu,  (Damsyiq:  Da>r   al-Fikr,
1989), V.








Fiqh as-Sunnah, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki menjelaskan tentang definisi, dasar hukum, syarat-syarat serta gugurnya tanggungan muhi} >l   dengan adanya hiwalah yang berjalan sah.16
Adapun mengenai karya ilmiah, sejauh pengetahuan penyusun, tidak

banyak yang membahas tentang pengalihan hutang (hiwalah) ini. Salah satu karya ilmiah yang membahas tentang pengalihan hutang adalah skripsi yang disusun   oleh   Nanik   Rosyidah   dengan   judul   “Perspektif   Hukum   Islam Terhadap Pengalihan Hutang Kepada Pihak Ketiga”. Dalam skripsi ini, penelitian menyangkut masalah pengalihan hutang piutang dalam bisnis modern yaitu perusahaan anjak piutang (factoring). Penelitian dalam skripsi ini lebih kepada prinsip pengalihan piutang yang diterapkan oleh perusahaan anjak piutang ditinjau dari hukum Islam, yang dikaitkan dengan konsep hiwalah.17  Sedangkan, penelitian penyusun menyangkut praktek hiwalah di Lembaga Keuangan Syariah, khususnya di BMT, yang salah satu aplikasi akad hiwalah di LKS adalah anjak piutang.



E.  Kerangka Teoretik
Allah SWT. menciptakan manusia dengan minat dan niatnya untuk selalu mengadakan hubungan antar sesamanya agar saling tolong menolong. Hubungan tersebut dinamakan muamalah. Hutang piutang merupakan salah satu kebiasaan muamalah yang dibolehkan. Sebagaimana kaidah fiqh:

16   As-Sayyid  Sa>biq,  Fiqh  as-Sunnah,  alih  bahasa  H.  Kamaluddin  A.  Marzuki, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), XIII: 39-41.

17  Nanik Rosyidah, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Pengalihan Hutang Kepada
Pihak Ketiga,” Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga 2001, hlm. 8.


ﻮﻔﻌﻟا  ةدﺎﻌﻟا  ﻰﻓ ﻞﺼﻌﻟاا18


Dalam al-Qur’an juga telah dijelaskan bahwa siapa pun yang mau memberikan pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayarannya dengan lipat ganda yang baik. Sebagaimana firman Allah SWT.:
ةﺮﻴﺜآ  ﺎﻓﺎﻌﺿا  ﻪﻟ ﻪﻔﻌﻀﻴﻓ ﺎﻨﺴﺣ ﺎﺿﺮﻗ ﷲا ضﺮﻘﻳ يﺬﻟا اذ ﻦﻣ



نﻮﻌﺟﺮﺗ  ﻪﻴﻟاو

ﻂﺼﺒﻳو  ﺾﺒﻘﻳ ﷲاو19




Islam menganjurkan untuk melunasi hutang jika sudah sanggup membayarnya agar terlepas dari tanggung jawab. Jika sesorang mampu membayar hutang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim. Namun, jika tidak bisa membayarnya secara langsung maka hutang tersebut
dapat dialihkan kepada seseorang yang lain. Sebagaimana sabda Nabi saw.:


ﻊﺒﺘﻴﻠﻓ ّﻲﻠﻣ ﻰﻠﻋ ﻢآﺪﺣا  ﻊﺒﺗا  اذՁ

ﻢﻠﻇ ّﻲﻨﻐﻟا ﻞﻄﻣ20




Dalam hadis tersebut Rasulullah saw. memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang (muhi} >l)  menghiwalahkan kepada   orang   yang   kaya   dan   berkemampuan,   hendaklah   orang   yang
berpiutang (muh}a>l) menerima hiwalah tersebut, dan ia dapat menagih hutang






133.

18  Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.


19 Al-Baqarah (2): 245




20 Al-Bukha>ri,>

S{ah}ih al-Bukha>ri>, Kitab H{awa>lah, Bab al H}awalati wa Hal Yarji’u fi>


al H}awalati, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994) III: 76. Hadis no. 2287. Hadis diriwayatkan dari Abu
Hurairah.


tersebut pada orang yang dihiwalahkan (muh}a>l ‘alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi.21
Hiwalah diambil dari kata tah}wil yang berarti intiqal (perpindahan).22

Menurut pengertian etimologi (bahasa) berarti memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun menurut pengertian terminologi, yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan hutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang lain dengan hutang yang sama.23
Hiwalah memiliki beberapa macam. Mazhab Hanafi membagi hiwalah

dalam beberapa bagian, yaitu:

1.   Hiwalah muqayyadah (pemindahan bersyarat), yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua. Dalam hiwalah            muqayyadah   tersebut   mencakup:   hiwalah  al-h}aqq,     yaitu pemindahan   hak   menuntut   hutang   serta   hiwalah     ad-dain,   yaitu pemindahan kewajiban untuk membayar hutang.
2.   Hiwalah mut}laqah   (pemindahan mutlak), yaitu pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua.
Adapun rukun hiwalah  menurut mazhab Hanafi adalah adanya ijab

(pernyataan  melakukan  hiwalah)   dari  pihak  pertama,  dan  adanya  qabul




21   As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, XIII: 39.

22  Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
t.p., 1984), hlm. 311.

23   Al Jazi>ri>,  Kitab al-Fiqh, hlm. 353.








(pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga. Sedangkan menurut jumhur selain Hanafiah, hiwalah memiliki enam rukun, yaitu:24
1.   Muh}i>l (orang yang berhutang)

2.   Muh}a>l disebut juga Muh}ta>l dan h}a>wil, yaitu pemilik hutang atau kreditur

3.   Muh}a>l ‘alaih, debitur pada muha}  >l

4.   Muh}a>l bih, piutang muh}a>l atas muh}i>l

5.   Piutang muhi>l atas muha>l ‘alaih

6.   S{igah

Hiwalah    sah   dilakukan   apabila   memenuhi   syarat-syarat   sebagai berikut:25
1.   Para pihak yang terlibat dalam hiwalah  itu cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh atau berakal.
2.   Adanya pernyataan persetujuan (kerelaan) dari muh}i>l dan muh}a>l.

3.   Hutang yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang pasti.
4.   Kedua piutang itu persis sama, baik jumlah maupun kualitasnya.

Aplikasi hiwalah dalam perbankan Islam, antara lain:26
1.   Factoring (anjak piutang)27, yaitu apabila para nasabah yang memiliki hutang pada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.


24 Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi>, V:165.

25   Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam, hlm. 97.

26  M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), hlm. 127.








2.   Post-date   chek,   yaitu   bank   bertindak   sebagai   juru   tagih,   tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3.   Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hiwalah. Perbedaannya, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan dalam kontrak hiwalah tidak terdapat pembahasan tentang fee.
Dalam fiq muamalah, dilihat dari maksud dan tujuannya, akad dibagi dalam dua bagian, yakni akad tabarru’ dan akad tijari. Akad hiwalah merupakan salah satu akad tabarru’, yakni jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Dalam hal ini, dimaksud untuk menolong dan   murni semata-mata   karena   mengharap   ridha   dan   pahala   dari   Allah.   Dengan demikian, dalam akad hiwalah tidak dibolehkan adanya pengambilan fee.
Fee diartikan sebagai insentif atau bonus, yakni pembayaran yang diterima baik di depan atau di belakang dan atau di antara keduanya, atas jasa tertentu yang diberikan sesuai dengan perjanjian atau kontrak.28  Namun, saat ini  setiap  Lembaga  Keuangan  Syariah  mengenakan  fee  atas  akad-akad tabarru’ dengan alasan sebagai biaya administrasi, sedangkan akad tabarru’ semata-mata  untuk  tolong  menolong  tanpa  mengharap  apapun.  Kemudian,
mengenai s}igah,  Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia


27  Dalam bisnis konvensional, factoring (anjak piutang) merupakan lembaga pembiayaan yang dalam melakukan usaha pembiayaannya dilakukan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi dalam atau luar negeri. Lihat: Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 109.

28  Tim Penulis DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI, edisi II, diterbitkan atas kerjasama MUI, KARIM Business Consulting, dan Bank Indonesia: 2003, hlm. 306.








No: 12/DSN-MUI/IV/2000, tentang H{awa>lah,  poin kedua dalam Ketentuan Umum H{awa>lah menyebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
BMT BIF sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syari’ah juga menyediakan produk hiwalah dalam produk pembiayaannya. BMT BIF menggunakan akad hiwalah, misalnya, jika anggota BMT membutuhkan pinjaman untuk biaya sekolah, Rumah Sakit, atau jika anggota mempunyai hutang di pihak lain yang harus segera dibayar. Namun, pelaksanaan akad hiwalah tesebut hanya dilakukan oleh dua belah pihak, yakni pihak BMT BIF Gedongkuning dan pihak anggota, sehingga praktek tersebut hampir sama dengan akad Al-Qardh. BMT BIF Gedongkuning juga mengenakan fee. Fee tersebut sesuai dengan kesepakatan antara pihak BMT dan anggota, setelah diadakan survei. Misalnya, plafon / jumlah pinjaman minimal 1 juta rupiah, fee sebesar dua puluh lima ribu rupiah.



F.  Metode Penelitian

1.   Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti masalah tersebut adalah penelitian lapangan (field research), yakni data yang diperoleh dengan melakukan penelitian langsung di lapangan. Adapun lokasi penelitian ini adalah BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta.
2.   Sifat Penelitian








Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu menilai masalah yang ada dalam pokok  bahasan  secara  kritis  analitis,  apakah  permasalahan  itu  sesuai dengan hukum Islam atau tidak.
3.   Pendekatan Masalah

Dalam pembahasan penelitian ini, penyusun menggunakan pendekatan normatif,  yaitu  pendekatan  melalui  norma-norma  hukum  Islam berdasarkan nas}-nas{ al-Qur’an, al- Hadis, kaidah fiqhiyah maupun hasil ijtihad ulama.
4.   Metode Pengumpulan Data a.   Data Primer
1)  Wawancara (interview). Dalam hal ini, penyusun memilih jenis wawancara bebas terpimpin.29  Wawancara ditujukan kepada manajer BMT BIF Gedongkuning, bagian administrasi pembiayaan dan tabungan,   bagian   marketing   dan   anggota   BMT   yang menggunakan akad hiwalah.
2)  Dokumen-dokumen di lapangan. Dokumen diambil dari data yang telah ada di lapangan, seperti sejarah dan perkembangan BMT BIF, struktur organisasi, job description serta sistem dan prosedur pembiayaan di BMT BIF Gedongkuning.
b.   Data Sekunder




29 Yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin. Pewawancara hanya membuat pokok-pokok masalah yang akan diteliti, selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi, pewawancara harus pandai mengarahkan yang diwawancarai apabila ia menyimpang. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cet. V, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 84.



Diperoleh dari buku-buku fiqh dan perbankan Islam serta buku-buku lain yang relevan dengan permasalahan yang penyusun teliti.
5.   Analisis Data

Untuk menganalisis data, digunakan cara berpikir deduktif. Dalam hal ini, berangkat  dari  teori  hukum  muamalat  khususnya  hiwalah   kemudian melihat praktek hiwalah di BMT BIF Gedongkuning apakah sudah sesuai dengan teorinya



G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah alur pembahasan agar lebih terarah dan sistematis, maka penyusun membahas skripsi ini dalam lima bab, terdiri dari beberapa sub bab yang secara lengkap sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang merupakan kerangka dari bab-bab  berikutnya,  yang  berisi  latar  belakang  masalah,  pokok  masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memaparkan tentang hutang piutang dan pengalihan hutang (hiwalah) menurut hukum Islam. Ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum hutang piutang dan pengalihan hutang (hiwalah) sebagai penjelasan terhadap teori terkait permasalahan yang penyusun teliti, yang meliputi pengertian dan dasar hukum, rukun dan syarat, obyek dan macam- macam, akibat hukum dan berakhirnya akad hiwalah, aplikasi hiwalah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah serta perbedaan akad hiwalah dengan Al-Qardh.








Bab ketiga, berisi tentang gambaran umum praktek hiwalah  di BMT BIF Gedongkuning, yang mencakup: pengertian BMT, letak geografis, sejarah berdirinya   BMT   BIF   serta   perkembangannya,   visi   dan   misi,   struktur organisasi, produk-produk yang ditawarkan serta penjelasan tentang praktek hiwalah di BMT BIF Gedongkuning. Bab ini merupakan data yang akan dianalisis.
Bab keempat, merupakan analisis hukum terhadap praktek hiwalah di BMT  BIF  Gedongkuning,  dari  segi  subyek,  obyek  yakni  hutang  yang dialihkan (muh}a>l bih), dari segi s}igah serta dari segi pengenaan fee. Hal ini penting untuk mengetahui apakah prakteknya sudah sesuai dengan rukun dan syarat dalam hiwalah sebagaimana teorinya. Bab ini merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang penyusun teliti.
Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan berbagai saran dalam pembahasan skripsi ini.








BAB V

PENUTUP




A.  Kesimpulan

Setelah menyelesaikan penelitian di BMT BIF Gedongkuning, kemudian menganalisis tentang praktek akad hiwalah terutama yang berkaitan dengan subyek dan hutang yang dialihkan (muh}a>l bih) serta s}igah (ijab dan qabul), maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari segi subyek, akad hiwalah yang dilakukan oleh BMT BIF Gedongkuning adalah sah. Anggota BMT BIF sebagai muh}i>l (orang yang berhutang dan berpiutang), pihak lain (Rumah Sakit, sekolah atau person) adalah muh}a>l karena anggota berhutang kepadanya, dan BMT BIF Gedongkuning adalah muh}a>l  ‘alaih, yakni pihak yang berhutang kepada muh{i>l    dan  berkewajiban  membayar  hutang  kepada  muh}a>l.  Menurut mazhab Hanafi, orang yang memindahkan hutang tidak disyaratkan mempunyai hutang yang dipikul oleh orang yang dipindahi hutang. Jadi boleh saja memindahkan hutang kepada orang yang melakukannya dengan sukarela.
2.   Dari segi obyek, yakni hutang yang dialihkan atau yang disebut dengan muh{a>l  bih,  pihak  BMT BIF  Gedongkuning  tidak  mensyaratkan  bahwa hutang anggota kepada pihak lain yang akan dibayarkan BMT BIF Gedongkuning harus sebesar simpanan dana atau tabungan anggota. Tabungan anggota di BMT BIF Gedongkuning biasanya lebih kecil dari








pinjaman yang diajukan, karena salah satu syarat orang yang meminjam di BMT harus menjadi anggota BMT dengan membuka rekening tabungan. Hal tersebut dibolehkan karena mengacu pada teori mazhab Hanafi yang tidak mensyaratkan hutang yang dialihkan harus sama dalam jumlah dan kualitasnya untuk hiwalah mut}laqah.
3.   Dari   segi   s}igah,   bahwa   akad   hiwalah    yang   terjadi   di   BMT   BIF

Gedongkuning  hanya  dilaksanakan  antara  anggota  sebagai  muhi} >l       dan BMT BIF Gedongkuning sebagai muh}a>l  ‘alaih.  Hal ini berbeda dengan ketentuan Fatwa DSN MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 yang menyatakan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Dalam hal ini, pihak Rumah Sakit, sekolah atau orang yang berpiutang kepada anggota tidak mengetahui adanya akad hiwalah antara anggota dan BMT BIF Gedongkuning.
4.   Dari segi fee, tidak diperbolehkan pengambilan fee atas akad tabarru’, sedangkan akad hiwalah  termasuk akad tabarru’. Akad tabarru’ adalah jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau transaksi yang tidak bertujuan untuk mendapatkan laba / keuntungan. Dalam hal ini, dimaksudkan untuk menolong dan  murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah. BMT BIF Gedongkuning juga mengenakan fee        atas   pelaksanaan   akad   hiwalah,   sehingga   tidak   diperbolehkan walaupun pihak anggota sepakat.








B.  Saran-saran

1.   BMT BIF hendaknya memberikan pengetahuan atau penjelasan tentang akad-akad yang ada di BMT BIF agar anggota lebih mengetahui dan mengerti benar tentang akad- akad yang digunakan di BMT BIF.
2.   Dalam  pelaksanaan  akad  hiwalah  di  BMT,  hendaknya  masing-masing pihak mengetahui terjadinya akad hiwalah, baik pihak anggota yang mengajukan pemindahan / pengalihan hutang ke BMT BIF Gedongkuning, pihak BMT BIF Gedongkuning yang menerima pemindahan hutang dan pihak lain yang mempunyai piutang di tangan anggota, agar pelaksanaan ijab dan qabul dapat dinyatakan oleh ketiga belah pihak, sebagaimana fatwa DSN MUI tentang hiwalah.
3. Biaya administrasi dengan fee adalah berbeda. Jika BMT BIF ingin mengenakan fee, maka lebih baik menggunakan akad ijarah multiguna / multijasa sebagaimana Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturannya berdasarkan     Fatwa   Dewan   Syariah   Nasional   MUI   NO:   44/DSN- MUI/VIII/2004 tentang ijarah multijasa.








DAFTAR PUSTAKA



A.  Al-Qur’an

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Tanjung Mas
Inti, 1992.

B.  Kelompok al-Hadis

Al-Bukha>ri>, S{ah}ih al-Bukha>ri>, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. 4 jilid. Ibnu Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. 2 jilid.

C.  Kelompok al-Fiqh / Us}ul Fiqh

Abdul Hadi, Abu Sura’i, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.

Ali> Fikri>, Al-Mu’a>malah   al-Ma>diyah  wa al-Adabiyyah, Mesir: Mustafa al-
Babi> al-Halabi>  wa Auladuh, 1938, 4juz.

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Arifin,  Zainul,  Dasar-Dasar  Manajemen  Bank  Syariah,  Jakarta:  Pustaka
Alvabet, 2006.

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta, UII Press, 2000.

----, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang, Gadai, cet. II, Bandung: Al
Ma’arif, 1983.

Gemala  Dewi,  dkk.,  Hukum  Perikatan  Islam  Indonesia,  cet.  II,  Jakarta: Kencana, 2006.

Al-Jazi>ri>,  ‘Abd ar-Rah}ma>n,  Kitab al-Fiqh ‘ala al-Maza>hib  al-Arba’ah, alih bahasa Moh. Zuhri, dkk, cet. IV, Semarang: Asy Syifa’, 1994, 4jilid.

Karim, Adiwarman A, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001.

Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2002.








Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2000.

Munawwir,      Ahmad    Warson,    al-Munawwir:    Kamus    Arab-Indonesia, Yogyakarta: t.p., 1984.

Al Muslih, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, alih bahasa Abu Umar Basyir, Jakarta: Darul Haq, 2004.

Muthahhari, Murtadha, Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba, alih bahasa Irwan Kurniawan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Pasaribu,  Chairuman  dan  Suhrawardi  K.  Lubis,  Hukum  Perjanjian  Dalam
Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Perwataatmadja,   Karnaen   dan   Muhammad   Syafi’i   Antonio,   Apa   dan
Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1992.

Ridwan,   Muhammad,   Manajemen   Baitul   Ma>l     Wat   Tamwil   (BMT),
Yogyakarta: UII Press, 2004.

Sa>biq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: Al Ma’arif, 1987. 14 jilid.

Sjahdeini,  Sutan  Remy,  Perbankan  Islam  dan  Kedudukannya  dalam  Tata
Hukum Perbankan Indonesia, cet. II,   Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2005.
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Sudarsono,  Heri,  Bank  dan  Lembaga  Keuangan  Syari’ah,  Yogyakarta:
Ekonisia, 2005.

Sudarsono, Heri dan Hendi Yogi Prabowo, Kamus Istilah-istilah Bank dan
Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2004. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Tim Penulis DSN MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI, edisi II, diterbitkan atas kerjasama  MUI,  KARIM  Business  Consulting,  dan  Bank  Indonesia:
2003.








Az-Zuhaili>, Wahbah, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, Damsyiq: Da>r al-Fikr, t.t, 8 juz.

Akad               Takafuli       dan       Tabarru’       dalam       Asuransi       Syariah. www.pojokasuransi.com, 2007.

Teori  Akad  dalam  Fiqh  Ekonomi  Syariah,   www.ilmuekonomisyariah.com,
2007.

D.  Lain-lain

C.S.T.   Kansil,   Pokok-Pokok   Hukum   Dagang   Indonesia,   Jakarta:   Sinar
Grafika, 1994.

Goldfield, Stephen M. dan Lester V. Chandler, Ekonomi Uang dan Bank, alih bahasa A. Hasyim Ali, Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perekonomian Adat Indonesia, cet. I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, Bandung: Alumni, 1984.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cet. V, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, cet. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Simatupang, Richard Burton, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Rineka
Cipta, 2003.

Soerjopratiknjo,      Hartono,      Hutang      Piutang,      Perjanjian-Perjanjian
Pembayaran, dan Jaminan Hypotik, Yogyakarta: Mustika Wikasa, 1994.

Sunggono, Bambang, Pengantar Hukum Perbankan, Bandung: CV Mandar
Maju, 1995.

Suryodibroto,  Imam  Prayogo  dan  Djoko  Prakoso,  Surat  Berharga  Alat
Pembayaran Dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Y.  Sri  Susilo  dkk,  Bank  dan  Lembaga  Keuangan  Lain,  Jakarta:  Salemba

Empat, 2000.

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email