Pembaharuan dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Mesir adalah salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat kaya dengan khazanah keIslaman. Semenjak Islam masuk ke sana dan Amr bin ‘Ash menjadi gubernur pertama di bawah Khalifah Umar Ibn al-Khattab, di negeri ini telah muncul para pemikir muslim dan pembaharu yang sangat brilian. Pada zaman Islam klasik, kita mengetahui bahwa salah seorang imam madzhab Islam terbesar, Muhammad bin Idris al-Syafi’i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i, hampir separuh usianya beliau habiskan di Mesir. Pada tataran militer, negeri ini pernah dijadikan markas besar oleh mujâhid besar, Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan al-Quds dari tangan kaum Nashrani.
Memasuki abad ke-18 umat Islam dihadapkan pada berbagai persoalan yang sungguh menyakitkan. Pada saat umat Islam kesulitan menemukna sosok yang mempunyai kekuatan untuk bangkit kembali menemukan jati diri, maka persoalan ini semakin mengkristal, sehingga membawanya ke lembah kemunduran. Wajar jika banyak orang yang memandang bahwa abad ini sebagai “abad kegelapan” sejarah Islam.[1] Gambaran ini berpangkal pada banyaknya perpecahan yang terjadi dalam pemerintahan serta kemerosotan secara umum di dunia Islam. Kondisi ini diperparah lagi dengan semakin kuatnya kekuasaan kolonial barat pada abad ke-19 M. yang cukup melemahkan bahkan menghilangkan kekuasaan Islam. Ketika kesadaran orang Islam mulai tergugah, secara sistematis mereka membangun gerakan yang mampu memudarkan kendali-kendali barat yang mengikat.
Mesir adalah salah satu kancah perjuangan tempat pejuang Islam merapatkan barisan dalam mengejar ketertinggalan dan membendung berbagai pengaruh yang datang menghantam. Di kawasan ini pula banyak tokoh pembaharu terlahir yang sampai saat ini pengaruhnya masih berbekas khususnya di dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia. Pada saat yang sama muncul pula berbagai ide yang mencita-citakan kembalinya umat Islam yang sebenarnya. Mesir, atas dasar ini dipandang menempati garda terdepan dalam perkembangan politik, sosial, intelektual, dan keagamaan di dunia Arab dan dunia Islam yang lebih luas.
B.       Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan pembaharuan dalam Islam ?
Apa latar belakang sejarah pembaharuan di Mesir ?
Siapa tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Mesir ?
C.      Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui pengertian pembaharuan dalam Islam
Untuk mengetahui latar belakang sejarah pembaharuan di Mesir
Untuk mengetahui tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Mesir
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pembaharuan dalam Islam
Secara etimologi, kata ‘pembaruan’ dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tajdîd, memiliki makna antara lain; proses, cara, perbuatan membarui.[2] Sedangkan menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari  at-Tajdid dalam bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang terjadi di dunia Barat akibat perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga pembaharuan dapat dilihat dari  kata  modernism. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[3]
Dalam kamus Oxford pembaharuan dikenal dengan istilah resurgence diartikan sebagai kegiatan yang muncul kembali. Pengertian ini mengandung tiga hal:
1)    Suatu pandangan dari dalam ”dimana suatu cara  kaum muslimin melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Sehingga keberadaan Islam disini menjadi penting kembali. Dalam artian memperoleh kembali prestasi  dan kehormatan dirinya”
2)    Kebangkitan kembali” menunjukan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak Nabi dan para pengikutnya dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh pada jalan hidup umat Islam.
3)    Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep” mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain penjajahan bangsa barat atas dunia Islam.
Kata yang lebih dikenal dan lebih populer untuk pembaharuan ialah modernisasi. Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru ditimbulkan pengetahuan modern. Pikiran dan aliran di periode itu disebut age of reason atau englightenment  ( Masa Akal atau Masa Terang ) 1650 – 1800 M.
B.       Latar Belakang Sejarah Pembaharuan di Mesir
Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibu kotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir.
Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengembangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target pengembangan misi keIslaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang labil karena berkembangnya konflik keagamaan.
Mesir   menjadi   wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M,  Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur  di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra.  Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.[4]
Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya :
a.    Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika, bahkan menjadi batu loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan Tunisia).
b.    Menjadi kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
c.    Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian.
d.   Menjadi wilayah penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”.
Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan kesejarahan. Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan memberikan sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri.  Dari segi ekonomi dan politik,  ia memberikan sumbangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadiran Imam Syafi’i, yang hukum-hukumnya sangat kita kenal.
Ketika melacak sejarah Mesir, akan lebih menarik dari munculnya (kekhalifahan) dinasti  Fatimiyah yang membangun Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan  sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai tahun 1517 M,  mereka inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang  membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran dari  pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain.
Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul.
Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada  waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan  dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk  dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia.
Pada   tanggal   2 Juni  1798 M,      ekspedisi Napoleon mendarat  di Alexandria ( Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan Salim III    ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.
Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian.[5]
Harun Nasution menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir  tidak hanya membawa tentara, akan tetapi terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita. Diantara jumlah tersebut terdapat 167 orang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan membawa 2 unit percetakan dengan huruf  Latin, Arab dan Yunani, tujuannya untuk kepentingan ilmiah yang pada akhirnya dibentuk sebuah lembaga ilmiah dinamai Institut d’Egypte terdiri dari ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik, dan sastera seni.  Lembaga ini boleh dikunjungi terutama oleh para ulama dengan harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan mulailah terjadi kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.
Alat percetakan  yang dibawa  Napoleon tersebut  menjadi perusahaan  percetakan Balaq,  perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang. Sedangkan peralatan modern  pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Prancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan  bagi orang Mesir pada saat itu.
Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799 berkunjung ke Institut d’Egypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh Napoleon di Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, “saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada kita”, ungkapan al-Jabarti itu merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat,  dan menunjukkan aktivitas ilmiah mengalami  kemunduran umat Islam ketika itu.[6]
Di samping kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi Prancis seperti:
1)     Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang  dasar dan bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja absolut yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada.
2)     Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan,   cara mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari Kairo dan daerah-daerah lain.
3)     Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa (nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun beragama Islam. Pada  saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.
Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan menghukum  kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang Prancis untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan tetapi penghancuran arnada Prancis di Teuluk Aboukir ( 1 Agustus 1798 ), tertahannya ekspedisi di Akka ( 1799) serta kekalahan pertempuran Iskandariyah ( 21 Maret 1801) mengagalkan  ambisi Napoleon di Timur.[7]
Diantara keberhasilan yang telah dicapai oleh orang sipil Prancis di Mesir sebagai berikut:
a.       Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat ganda.
b.       Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
c.       Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa pada saat itu.[8]
Hal inilah yang membuka mata para pemikir-pemikir Islam untuk melakukan perubahan meninggalkan keterbelakangan menuju modernisasi di berbagai bidang khususnya bidang pendidikan. Upaya pembaharuan dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, kemudian diikuti oleh pemikir-pemikir lainnya.
Sementara yang sedang terjadi dan berkembang di Mesir pada saat itu antara lain dalam bidang pendidikan sangat doktrinal, metode penguasaan  ilmu menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan sedemikian rupa ke kepala  murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa  adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka dalam pengkajian keIslaman. Selain itu  filsafat dan logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu dengan metode menghafal luar kepala.[9]
Belum lagi realitas sosial keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam tarikat yang membuat iklim Islam makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud ekstrem dari metode tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi  top figur dalam kepemimpinan agama.
Setelah meninggal dunia pun kuburan para syaikh tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan mengais keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku musyrik. Karena mereka lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya.
Kondisi sosial keagamaan juga demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan umat Islam. Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan  oleh Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[10]
Pembaharuan  Islam di Mesir menurut John L. Esposito dilatarbelakangi oleh  ortodoksi sunni yang mengalami proses kristalisasi setelah bergulat dengan aliran muktazilah, aliran syiah dan kelompok  khawarij yang kemudian disusul dengan sufisme yang pada tahapan selanjutnya mengalami degenerasi. Degenerasi dan dekadensi aqidah dan politik nepotisme dan absolutis yang bertentangan semangat egaliterianisme yang diajarkan Islam setelah merajalelanya bid’ah, kurafat, fabrikasi dan supertisi di kalangan umat Islam dan membuat buta terhadap ajaran-ajaran Islam yang orisinal. Maka tampilah pada abad peralihan 13 ke-14 seorang tokoh Ibnu Taimiyah yang melakukan kritik tajam sebagai reformis ( Tajdid) dengan seruannya agar umat Islam kembali kepada Al-Quran, Sunnah serta memahami kembali ijtihad.
Lebih jauh Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan  salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.
Al-Azhar yang selama ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga terjangkit penyakit kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu agama dan melarang segala bentuk kajian keilmuan yang berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah. Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keIslaman dan pendidikan dengan orientasi pada sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak berkembang di kalangan umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan menimbulkan reaksi yang keras, yang berkembang dari mereka yang tidak mau menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis terhadap ajaran Islam. Hal tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap kehangatan sufisme dan mistisisme.
Kehadiran Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran Barat,  yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat pengkajian dan pembaharuan dalam Islam.
Maka pada tahap perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir lebih mengarah kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia.
C.      Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Di Mesir
Di antara tokoh-tokoh pembaharu yang lahir dalam dunia Islam adalah sebagai berikut:
a.     Muhammad Ali Pasha (1765 – 1849 M)
Bangkitnya gerakan Mesir dalam memperjuangkan nasibnya sendiri berawal dari bangkitnya kaum muslimin untuk melawan tentara napoleon. Salah seorang perwira kenamaan yang mempunyai keberanian luar biasa yaitu Muhammad Ali, dianggap sebagai dasar gerakan Mesir dalam melawan penjajah.[11]  Sejarah Mesir di buat oleh Muhammad Ali yang lahir bulan Januari 1976 di Kavala-Albania dekat pantai Macedonia. Dialah pendiri dinasti Mesir yang keturunannya memerintah Mesir sampai tahun 1952. dia muncul di Mesir tahun 1799 sebagai salah seorang diantara 300 orang anggota pasukan yang dikirim Albania atas perintah Sultan Utsmani untuk mengusir Perancis.
Usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali adalah:
·       Dalam bidang Militer
Jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon Bonaparte menyadarkan Muhammad Ali Pasha. Ia melihat kemajuan yang dicapai negara-negara Barat, terutama Perancis, begitu hebat. Kemajuan dalam teknologi peperangan membuat Perancis dengan mudah menguasai Mesir (1798 – 1802 M). Setelah perancis dapat diusir Inggris tahun 1802 M, Muhammad Ali Pasha mengundang Save seorang perwira tinggi perancis dapat diusir untuk melatih tentara Mesir. Untuk keperluan itu mendirikan Sekolah Militer tahun 1815 M dan mengirim pelajar untuk belajar kemiliteran di Perancis.
·       Dalam bidang Pendidikan
Muhammad Ali Pasha sangat besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu itu, pada tahun 1815 M mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik tahun 1816 M, Sekolah Pertambangan tahun 1834 M dan Sekolah Penerjemahan tahun 1836. selain itu, ia juga banyak mengirim pelajar ke Perancis untuk belajar pengetahuan berapa sains dan teknologi Barat di Perancis.
·       Dalam bidang Ekonomi
Pengambilalihan pemilikan tanah oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan pembangunan negara. Dan untuk menjaga kesuburan tanah Mesir, ia membangun sistem irigasi, sehingga hasil pertanian menjadi lebih baik.[12]
Pembaharuan Ali pasha disebut dengan pembaharuan gerakan. Biasa pembaharuan itu berangkat dari sebuah konsep.
b.      Al-Tahtawi (1801 – 1873 M)
Tahtawi dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Tahtawi adalah bagian dari program perbaikan ekonomi-militer Mesir yang dicanangkan Muhammad Ali. Pada tahun 1826, ia ditunjuk menjadi pemimpin (imam) delegasi pelajar-tentara Mesir yang dikirim ke Paris, Perancis. Saat itu, Thahthawi sebetulnya sedang menikmati masa-masa indahnya belajar di al-Azhar. Ia mendapatkan guru yang baik, di antaranya Syeikh Hassan al-Attar, guru dan pembimbing yang juga merupakan teman diskusinya yang mengasyikkan. Ia mengerti betapa luhurnya tugas tentara. Karenanya, ia tak menolak ketika gurunya merekomendasikannya menjadi imam delegasi pelajar-tentara yang dikirim Muhammad Ali.
Al-Tahtawi, dalam kedudukannya sebagai ulama dari al-Azhar dikirim oleh Muhammad Ali Pasya ke Paris di tahun 1826 M, untuk menjadi imam bagi pelajar-pelajar Mesir yang ada di sana. Selama bertugas di Paris ia juga belajar sehingga ia mahir dalam bahasa Perancis. Sekembalinya di Cairo ia diangkat menjadi guru dan penerjemah di sekolah kedokteran. Di tahun 1836 M Sekolah Penerjemah didirikan dan ia diangkat menjadi kepalanya.[13]
Diantara karya-karyanya yang monumenta adalah sebagai berikut:
·       Takhlis al-Ibriz fi Talkhish Bariz. Buku ini berisi tentang kemajuan Eropa, terutama di Paris.
·       Manahij al-Bab al-Mishriyah fi Manahij al-Adab al-Ashriyah. Buku ini menerangkan tentang pentingnya sektor ekonomi bagi kemajuan negara. Didalamnya juga dijelaskan perbandingan pemerintahan Islam dan Eropa.
·       al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-banin. Buku ini menerangkan tentang pentingnya pendidikan diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan.
·       Al-Qaulu al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid. Buku ini berisi tentang keharusan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya tidak tertutup.
·       Anwar Taufiq al-Jalil fi Akhbar al-Mishr wa Tautsiq Bani Ismail. Buku ini berisi tentang puji-pujian terhadap raja dalam memajukan pembangunan di Mesir, sehingga Mesir mengalami kemajuan pesat.[14]

c.     Jamaluddin al-Afghani
Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaludin Al Afgani. Ia lahir di Asad Abad tahun 1839 M dan wafat di Istambul tahun 1897 M. Sejak kecil ia sudah belajar membaca Al Qur’an. Kemudian belajar bahasa Arab, Persia, dan ilmu-ilmu lainnya, seperti tafsir, hadits, tasawuf dan fislsafat.
Pembaharuan pemikiran yang dimunculkan Jamludin al-Afgani adalah
·       Untuk mengembalikan kejayaan umat Islam di masa lalu dan sekaligus menghadapi dunia modern, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni dan memahami Islam harus dengan resiko dan kebebasan.
·       Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis. Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman.
·       Kepala Negara harus tunduk kepada Undang-Undang.
·       Kemunduran umat Islam dalam bidang politik disebabkan karena terjadinya perpecahan dalam umat Islam itu sendiri.
·       Tidak ada pemisahan antara agama dan politik.
·       Pan-Islamisme atau rasa solidaritas antara umat Islam harus dihidupkan.
d.    Muhammad Abduh (1849-1905 M)
Muhammad Abduh lahir di Mesir Hilir tahun 1849 M. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, yang berasal dari Turki, dan Ibunya seorang Arab yang silsilahnya sampai kepada suku Umar bin Khatab. Muhammad Abduh termasuk anak yang cerdas sekali, meskipun ia berasal dari keluarga petani miskin di Mesir. Sejak kecil ia tekun belajatr. Ia melanjutkan studinya di Al-Azhar.
Ide-ide pembaharuan yang dibawa Muhammad Abduh, membawa dampak positif bagi perkembangan pemikiran dalam Islam. Di antara ide-ide pembaharuannya adalah :
·       Penghapusan faham Jumud yang berkembang di dunia Islam saat itu.
·       Pembukaan pintu ijtihad, karena ijtihad merupakan dasar yang penting dalam menginterpretasikan kembali ajaran Islam.
·       Penghargaan terhadap akal. Abduh mengatakan bahwa Islam adalah agama rasional yang sejalan dengan akal. Sebab akallah Ilmu pengetahuan maju.
·       Kekuasaan negara harus dibatasi oleh konstitusi yang telah dibuat oleh negara bersangkutan
·       Memodernisasikan sistem pendidikan Islam di Al-Azhar.[15]
·       Islam maju harus melalui pendidikan.

e.     Muhammad Rasyid Ridla ( 1865-1935 M)
Rasyid Ridla dilahirkan di al-Qalamun, di pesisir Laut Tengah, pada tanggal 23 September 1865 M. Pendidikannya bermula di Madrasah al-Kitab di al-Qalamun. Kemudian di madrasah al-Rasyidiah di Tripoli. Di sini ia belajar nahwu, sharaf, berhitung, dasar-dasar geografi akidah ibadah, bahasa Arab dan Turki. Tetapi ia tidak betah di sekolah ini, karena bahasa pengantarnya bahasa Turi. Kemudian ia melanjutkan pendidikan tingginya di Al-Azhar tahun 1898 M dan berguru kepada Muhammad Abduh. Bersama-sama Abduh, Rasyid Ridla menerbitkan majalah al Manar yang memiliki tujuan sama dengan al-Urwatul Wutsqa.
Di antaranya adalah pembaharuan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, memberantas khurafat dan bid’ah, menghilangkan faham fatalisme, serta faham-faham yang dibawa tarekat. Ia juga mendesak gurunya, Muhammad Abduh untuk menuliskan Al-Qur’an secara modern, yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.
Diatara ide-ide pembaharuannya adalah :
·       Menumbuhkan sikap aktif dan dinamis di kalangan umat. Umat Islam harus meninggalkan sikap fatalisme (jabariyah)
·       Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat maupun hadits dengan tidak meninggalkan prinsip umum.
·       Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi jika ingin maju.
·       Kemunduran umat Islam disebabkan karena banyaknya unsur bid’ah dan khurafat yang masuk kedalam ajaran Islam.
·       Kebahagiaan di dunia da akhirat dperoleh melalui hukum alam yang diciptakan Allah.
·       Perlunya menghidupkan kembali sistem pemerintahan khalifah.
·       Khalifah adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang mengurusi bidang agama dan politik
·       Khalifah haruslah seorang mujtahid besar yang dengan bantuan para ulama dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam sesuai dengan tuntutan zaman.[16]





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari uraian yang telah kami bahas di atas, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:
1.      Kebangkitan gerakan dan pemikiran modernisasi Islam di Mesir dilatarbelakangi oleh kesadaran akan adanya intervensi bahkan penindasan terhadap bangsa Mesir yang dilakukan oleh pihak Eropa, terutama pimpinan Napoleon Bonaparte. Kondisi ini juga membawa bangsa Nesir untuk melakukan kontak dengan dunia Barat yang sudah maju. Selain mendatangkan banyak kerugian, kontak ini juga memberikan banyak keuntungan bagi bangsa Mesir dengan munculnya dasar-dasar modernisme peradaban yang sangat mendukung mereka untuk bergerak naik di kancah peradaban umat Islam khususnya dan dunia umumnya.
2.      bangkitnya gerakan dan pemikiran modernisasi di Mesir diawali oleh munculnya kekuatan baru yang dimotori Muhammad Ali Pasya dari keturunan Turki. Dalam upayanya mengadakan pembaharuan, ia menata sistem politik dan pemerintahan Mesir, melebarkan pengaruh persatuan, membangun sistem pendidikan, menyerap ilmu pengetahuan dari luar sebanyak-banyaknya guna mencerdaskan untuk belajar diluar untuk mengabdikan ilmunya dalam meningkatkan kualitas intelektual di negaranya itu.
3.      Dalam dekade selanjutnya gerakan dan pemikiran modernisasi Islam di Mesir menampakkan perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai gagasan dan gerakan yang berbeda dengan sebelumnya dalam berbagai bidang misalnya:
a)    Bidang sosial politik dengan munculnya gagasan Trias Politika, patriotisme, emansipasi wanita, dan juga persatuan umat Islam seluruh dunia dalam rangka membendung pengaruh-pengaruh dunia Barat yang berusaha merongrong Islam dan kaum muslimin yang diwujudkan dengan berbagai gerakan sosial;
b)   Bidang pendidikan dengan memunculkan gagasan bahwa semua bangsa Mesir harus mengenyam pendidikan secara merata, yang diupayakan lewat penataan kembali sistem pendidikan;
c)    Bidang agama dan teologi dengan munculnya gagasan pemurnian ajaran Islam, menghilangkan kejumudan berpikir dan sikap fatalistik yang merupakan penyebab pokok kemunduran umat Islam; dan lain-lain, tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh tidak hanya di Mesir, tetapi juga seluruh dunia khususnya Islam. Mereka antara lain Rif’ah Badwi Raf’i al-Tahtawi, Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan beberapa pengikutnya.

B.       Saran
Demikianlah isi pembahasan makalah kami ini, mohon maaf bila ada kesalahan ataupun kejanggalan baik itu dalam bentuk ucapan maupun tulisan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aminn....









DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, Jakarta, UI Press, 1985
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1997
John Ober Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, ter.Ajat Sudrajat, yogyakarta: Titian Illahi, 1997
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang, PT.Karya Toha Putra, 1997
Philip K.Hitti, History of The Arabs, London: Macmillan Press, 1970
M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung, PT. Eresco,1993
M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada. 1998
Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986




[1] John Ober Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, ter.Ajat Sudrajat, (Yogyakarta: Titian Illahi, 1997), hal. 59
[2] . Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: hal. 109
[3] Harun Nasution,  Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan Bintang, 2003), hal. 3
[4] M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Bandung, PT. Eresco,1993). hal. 81-82.
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan , hal. 28-33.

[6] Ibid,,,,  hal. 23
[7] Philip K. Hitti, History of The Arabic, (Terjemahan R. Cecep Lukman), (Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta), hal. 924
[8] M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66
[9] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 59
[10] Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 90-92
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1997), hal: 357
[12] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: PT.Karya Toha Putra, 1997), hal. 172-173
[13] Harun  Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, (Jakarta, UI Press, 1985), hal: 96-97
[14] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, hal. 174
[15] Ibid,,,, hal. 178
[16] Ibid,,, hal. 179

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email