BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mesir adalah
salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat kaya dengan khazanah keIslaman.
Semenjak Islam masuk ke sana dan Amr bin ‘Ash menjadi gubernur pertama di bawah
Khalifah Umar Ibn al-Khattab, di negeri ini telah muncul para pemikir muslim
dan pembaharu yang sangat brilian. Pada zaman Islam klasik, kita mengetahui
bahwa salah seorang imam madzhab Islam terbesar, Muhammad bin Idris al-Syafi’i
atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i, hampir separuh usianya beliau habiskan
di Mesir. Pada tataran militer, negeri ini pernah dijadikan markas besar oleh
mujâhid besar, Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan al-Quds dari tangan kaum
Nashrani.
Memasuki abad
ke-18 umat Islam dihadapkan pada berbagai persoalan yang sungguh menyakitkan.
Pada saat umat Islam kesulitan menemukna sosok yang mempunyai kekuatan untuk
bangkit kembali menemukan jati diri, maka persoalan ini semakin mengkristal,
sehingga membawanya ke lembah kemunduran. Wajar jika banyak orang yang
memandang bahwa abad ini sebagai “abad kegelapan” sejarah Islam.[1] Gambaran ini berpangkal pada banyaknya perpecahan yang terjadi
dalam pemerintahan serta kemerosotan secara umum di dunia Islam. Kondisi ini
diperparah lagi dengan semakin kuatnya kekuasaan kolonial barat pada abad ke-19
M. yang cukup melemahkan bahkan menghilangkan kekuasaan Islam. Ketika kesadaran
orang Islam mulai tergugah, secara sistematis mereka membangun gerakan yang
mampu memudarkan kendali-kendali barat yang mengikat.
Mesir adalah
salah satu kancah perjuangan tempat pejuang Islam merapatkan barisan dalam
mengejar ketertinggalan dan membendung berbagai pengaruh yang datang
menghantam. Di kawasan ini pula banyak tokoh pembaharu terlahir yang sampai
saat ini pengaruhnya masih berbekas khususnya di dunia Islam, tak terkecuali di
Indonesia. Pada saat yang sama muncul pula berbagai ide yang mencita-citakan
kembalinya umat Islam yang sebenarnya. Mesir, atas dasar ini dipandang
menempati garda terdepan dalam perkembangan politik, sosial, intelektual, dan
keagamaan di dunia Arab dan dunia Islam yang lebih luas.
B.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan pembaharuan dalam Islam ?
Apa latar belakang sejarah pembaharuan di Mesir ?
Siapa
tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Mesir ?
C.
Tujuan
Pembahasan
Untuk
mengetahui pengertian pembaharuan dalam Islam
Untuk
mengetahui latar belakang sejarah
pembaharuan di Mesir
Untuk mengetahui tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Mesir
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembaharuan dalam Islam
Secara etimologi, kata ‘pembaruan’ dalam Bahasa Arab dikenal dengan
istilah tajdîd, memiliki makna antara lain; proses, cara,
perbuatan membarui.[2] Sedangkan
menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari at-Tajdid dalam
bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang terjadi di dunia Barat akibat
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Sehingga pembaharuan dapat dilihat dari kata modernism.
Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya
untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kamajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.[3]
Dalam kamus Oxford
pembaharuan dikenal dengan istilah resurgence diartikan sebagai kegiatan yang
muncul kembali. Pengertian ini mengandung tiga hal:
1)
Suatu pandangan dari dalam ”dimana suatu cara kaum muslimin melihat
bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Sehingga keberadaan Islam
disini menjadi penting kembali. Dalam artian memperoleh kembali prestasi
dan kehormatan dirinya”
2)
Kebangkitan kembali” menunjukan bahwa keadaan tersebut telah terjadi
sebelumnya. Jejak Nabi dan para pengikutnya dapat memberikan pengaruh yang
besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh pada jalan hidup umat Islam.
3)
Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep” mengandung paham tentang suatu
tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain
penjajahan bangsa barat atas dunia Islam.
Kata yang lebih dikenal dan lebih populer untuk pembaharuan ialah
modernisasi. Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran,
aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat,
institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan
pendapat-pendapat dan keadaan baru ditimbulkan pengetahuan modern. Pikiran dan
aliran di periode itu disebut age of reason atau englightenment ( Masa
Akal atau Masa Terang ) 1650 – 1800 M.
B.
Latar Belakang Sejarah Pembaharuan di Mesir
Latar belakang sejarah Mesir
secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di
Timur dengan Bizantium sebagai ibu kotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di
abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap
orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena
ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir.
Kerajaan Romawi Timur
dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengembangan Islam yang
keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin
Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target
pengembangan misi keIslaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat
menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai
agama baru memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu
tidak diperoleh dari pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi
yang labil karena berkembangnya konflik keagamaan.
Mesir
menjadi wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin
Khattab pada 640 M, Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang
kemudian ia dijadikan gubernur di sana. Kemudian diganti oleh Abdullah
Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut konflik yang menjadi salah satu
sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam
dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti
Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah
(567-648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai
Palestina, dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki
Usmani.[4]
Segera setelah Mesir
menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan yang
sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya
pada masa yang lalu, misalnya :
a. Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah Afrika, bahkan menjadi batu
loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan
Tunisia).
b. Menjadi kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
c. Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam
pada masa Nabi Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian.
d. Menjadi wilayah penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk
di dalamnya adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat
Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis
Tahkim”.
Bagaiamanapun Mesir
adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan kesejarahan. Bagaimana
tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan memberikan
sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Dari segi
ekonomi dan politik, ia memberikan sumbangan yang cukup besar terutama
sektor perdagangan dan pelabuhan Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi
Timur merupakan pelabuhan yang ramai. Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam,
Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan bentuk dan aliran hukum Islam
terutama dengan kehadiran Imam Syafi’i, yang hukum-hukumnya sangat kita kenal.
Ketika melacak sejarah Mesir,
akan lebih menarik dari munculnya (kekhalifahan) dinasti Fatimiyah yang
membangun Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang
dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai
modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang,
berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan.
Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah
pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak
inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam
gagasan-gagasan modernisme.
Setelah Dinasti
Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai
tahun 1517 M, mereka inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah
dari peperangan Salib serta yang membendung kedahsyatan tentara Mogol di
bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan demikian Mesir terbebaskan dari
penghancuran dari pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam
yang lain.
Ketika Napoleon
Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam
kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh
dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa
secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh
pemerintahan Utsmani di Istanbul.
Situasi kekuasaan dan
pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan
stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang
selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat
sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk
membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang.
Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan
sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam,
peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk dijadikan
batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia.
Pada
tanggal 2 Juni 1798 M,
ekspedisi Napoleon mendarat di Alexandria ( Mesir) dan
berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal
Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika bertempur melawan
Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan Salim
III ( Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka
mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad
Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.
Walaupun Napoleon
menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang
ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte
menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah
umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan
kelemahan dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping
membawa pasukan yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat
peralatan ilmiah untuk mengadakan penelitian.[5]
Harun Nasution
menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir tidak hanya membawa
tentara, akan tetapi terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita. Diantara jumlah
tersebut terdapat 167 orang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
membawa 2 unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani, tujuannya
untuk kepentingan ilmiah yang pada akhirnya dibentuk sebuah lembaga ilmiah
dinamai Institut d’Egypte terdiri dari ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik,
dan sastera seni. Lembaga ini boleh dikunjungi terutama oleh para ulama
dengan harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan mulailah terjadi
kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.
Alat percetakan
yang dibawa Napoleon tersebut menjadi perusahaan percetakan
Balaq, perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang. Sedangkan
peralatan modern pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau
alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Prancis merupakan hal
yang asing dan menakjubkan bagi orang Mesir pada saat itu.
Abdurrahman al-Jabarti,
ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799 berkunjung ke Institut
d’Egypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh Napoleon di Mesir. Ketika
kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, “saya lihat di sana benda-benda
dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada kita”, ungkapan al-Jabarti itu
merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat, dan menunjukkan
aktivitas ilmiah mengalami kemunduran umat Islam ketika itu.[6]
Di samping kemajuan
teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide baru yang dihasilkan
Revolusi Prancis seperti:
1) Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk
waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan
oleh Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan raja
absolut yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta
tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada.
2) Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya
rakyat dalam soal pemerintahan, cara mendirikan suatu badan
kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari
Kairo dan daerah-daerah lain.
3) Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa
(nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun
beragama Islam. Pada saat itu yang ada hanya umat Islam dan tidak sadar
akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.
Menurut Philip K.
Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli 1798 dengan tujuan
menghukum kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya dalam
bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang
Prancis untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan
serangan hebat kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya
dengan wilayah Timur, sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia.
Akan tetapi penghancuran arnada Prancis di Teuluk Aboukir ( 1 Agustus 1798
), tertahannya ekspedisi di Akka ( 1799) serta kekalahan pertempuran
Iskandariyah ( 21 Maret 1801) mengagalkan ambisi Napoleon di Timur.[7]
Diantara keberhasilan
yang telah dicapai oleh orang sipil Prancis di Mesir sebagai berikut:
a. Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya
berlibat ganda.
b. Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta
Stone.
c. Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala
negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal
ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa pada saat itu.[8]
Hal inilah yang membuka
mata para pemikir-pemikir Islam untuk melakukan perubahan meninggalkan
keterbelakangan menuju modernisasi di berbagai bidang khususnya bidang
pendidikan. Upaya pembaharuan dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, kemudian
diikuti oleh pemikir-pemikir lainnya.
Sementara yang sedang
terjadi dan berkembang di Mesir pada saat itu antara lain dalam bidang
pendidikan sangat doktrinal, metode penguasaan ilmu menghafal di luar
kepala tanpa ada pengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam
seperti dituangkan sedemikian rupa ke kepala murid dan mahasiswa. Para
murid dan mahasiswa tinggal menerima apa adanya. Diskusi dan dialog
menjadi barang langka dalam pengkajian keIslaman. Selain itu filsafat dan
logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah.
Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu
dengan metode menghafal luar kepala.[9]
Belum lagi realitas
sosial keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam
tarikat yang membuat iklim Islam makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud
ekstrem dari metode tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam
ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam
tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya,
termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi top
figur dalam kepemimpinan agama.
Setelah meninggal dunia
pun kuburan para syaikh tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali
yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar
menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan mengais
keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada
klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang membuat seseorang
akan mudah terpuruk kepada perilaku musyrik. Karena mereka lebih mengutamakan
meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa
langsung kepada-Nya.
Kondisi sosial
keagamaan juga demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy rakyat Mesir
dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah
yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas
berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan umat Islam.
Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan oleh
Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang
berpijak kepada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[10]
Pembaharuan Islam
di Mesir menurut John L. Esposito dilatarbelakangi oleh ortodoksi sunni
yang mengalami proses kristalisasi setelah bergulat dengan aliran muktazilah,
aliran syiah dan kelompok khawarij yang kemudian disusul dengan sufisme
yang pada tahapan selanjutnya mengalami degenerasi. Degenerasi dan dekadensi
aqidah dan politik nepotisme dan absolutis yang bertentangan semangat
egaliterianisme yang diajarkan Islam setelah merajalelanya bid’ah, kurafat,
fabrikasi dan supertisi di kalangan umat Islam dan membuat buta terhadap ajaran-ajaran
Islam yang orisinal. Maka tampilah pada abad peralihan 13 ke-14 seorang tokoh
Ibnu Taimiyah yang melakukan kritik tajam sebagai reformis ( Tajdid) dengan
seruannya agar umat Islam kembali kepada Al-Quran, Sunnah serta memahami
kembali ijtihad.
Lebih jauh Muhamamd
Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan
salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri
merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan
metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.
Al-Azhar yang selama
ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga terjangkit penyakit
kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu agama dan melarang segala bentuk kajian
keilmuan yang berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah.
Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keIslaman dan pendidikan dengan orientasi
pada sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak
berkembang di kalangan umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan
menimbulkan reaksi yang keras, yang berkembang dari mereka yang tidak mau
menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis terhadap ajaran Islam. Hal
tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap kehangatan
sufisme dan mistisisme.
Kehadiran Napoleon ini
sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran Barat, yang
sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan
ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat pengkajian dan pembaharuan
dalam Islam.
Maka pada tahap
perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir lebih mengarah
kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata cara
berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang
dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh
kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam
percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam
secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia.
C.
Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Islam Di Mesir
Di antara
tokoh-tokoh pembaharu yang lahir dalam dunia Islam adalah sebagai berikut:
a.
Muhammad Ali
Pasha (1765 – 1849 M)
Bangkitnya
gerakan Mesir dalam memperjuangkan nasibnya sendiri berawal dari bangkitnya
kaum muslimin untuk melawan tentara napoleon. Salah seorang perwira kenamaan
yang mempunyai keberanian luar biasa yaitu Muhammad Ali, dianggap sebagai dasar
gerakan Mesir dalam melawan penjajah.[11] Sejarah Mesir
di buat oleh Muhammad Ali yang lahir bulan Januari 1976 di Kavala-Albania dekat
pantai Macedonia. Dialah pendiri dinasti Mesir yang keturunannya memerintah Mesir
sampai tahun 1952. dia muncul di Mesir tahun 1799 sebagai salah seorang
diantara 300 orang anggota pasukan yang dikirim Albania atas perintah Sultan
Utsmani untuk mengusir Perancis.
Usaha-usaha
pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali adalah:
· Dalam
bidang Militer
Jatuhnya Mesir
ke tangan Napoleon Bonaparte menyadarkan Muhammad Ali Pasha. Ia melihat
kemajuan yang dicapai negara-negara Barat, terutama Perancis, begitu hebat.
Kemajuan dalam teknologi peperangan membuat Perancis dengan mudah menguasai Mesir
(1798 – 1802 M). Setelah perancis dapat diusir Inggris tahun 1802 M, Muhammad
Ali Pasha mengundang Save seorang perwira tinggi perancis dapat diusir untuk
melatih tentara Mesir. Untuk keperluan itu mendirikan Sekolah Militer tahun
1815 M dan mengirim pelajar untuk belajar kemiliteran di Perancis.
· Dalam
bidang Pendidikan
Muhammad Ali
Pasha sangat besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu itu,
pada tahun 1815 M mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik tahun 1816 M,
Sekolah Pertambangan tahun 1834 M dan Sekolah Penerjemahan tahun 1836. selain
itu, ia juga banyak mengirim pelajar ke Perancis untuk belajar pengetahuan
berapa sains dan teknologi Barat di Perancis.
· Dalam
bidang Ekonomi
Pengambilalihan
pemilikan tanah oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan
pembangunan negara. Dan untuk menjaga kesuburan tanah Mesir, ia membangun
sistem irigasi, sehingga hasil pertanian menjadi lebih baik.[12]
Pembaharuan Ali pasha disebut dengan pembaharuan gerakan. Biasa pembaharuan itu berangkat dari sebuah konsep.
Pembaharuan Ali pasha disebut dengan pembaharuan gerakan. Biasa pembaharuan itu berangkat dari sebuah konsep.
b.
Al-Tahtawi
(1801 – 1873 M)
Tahtawi
dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon
menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu,
mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa
silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang
kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Tahtawi adalah
bagian dari program perbaikan ekonomi-militer Mesir yang dicanangkan Muhammad
Ali. Pada tahun 1826, ia ditunjuk menjadi pemimpin (imam) delegasi
pelajar-tentara Mesir yang dikirim ke Paris, Perancis. Saat itu, Thahthawi
sebetulnya sedang menikmati masa-masa indahnya belajar di al-Azhar. Ia
mendapatkan guru yang baik, di antaranya Syeikh Hassan al-Attar, guru dan
pembimbing yang juga merupakan teman diskusinya yang mengasyikkan. Ia mengerti
betapa luhurnya tugas tentara. Karenanya, ia tak menolak ketika gurunya
merekomendasikannya menjadi imam delegasi pelajar-tentara yang dikirim Muhammad
Ali.
Al-Tahtawi,
dalam kedudukannya sebagai ulama dari al-Azhar dikirim oleh Muhammad Ali Pasya
ke Paris di tahun 1826 M, untuk menjadi imam bagi pelajar-pelajar Mesir yang
ada di sana. Selama bertugas di Paris ia juga belajar sehingga ia mahir dalam
bahasa Perancis. Sekembalinya di Cairo ia diangkat menjadi guru dan penerjemah
di sekolah kedokteran. Di tahun 1836 M Sekolah Penerjemah didirikan dan ia
diangkat menjadi kepalanya.[13]
Diantara
karya-karyanya yang monumenta adalah sebagai berikut:
· Takhlis
al-Ibriz fi Talkhish Bariz. Buku ini berisi tentang kemajuan Eropa, terutama di
Paris.
· Manahij
al-Bab al-Mishriyah fi Manahij al-Adab al-Ashriyah. Buku ini menerangkan tentang
pentingnya sektor ekonomi bagi kemajuan negara. Didalamnya juga dijelaskan
perbandingan pemerintahan Islam dan Eropa.
· al-Mursyid
al-Amin li al-Banat wa al-banin. Buku ini menerangkan tentang pentingnya
pendidikan diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan.
· Al-Qaulu
al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid. Buku ini berisi tentang keharusan ijtihad
dan pintu ijtihad menurutnya tidak tertutup.
·
Anwar Taufiq
al-Jalil fi Akhbar al-Mishr wa Tautsiq Bani Ismail. Buku ini berisi tentang
puji-pujian terhadap raja dalam memajukan pembangunan di Mesir, sehingga Mesir
mengalami kemajuan pesat.[14]
c.
Jamaluddin
al-Afghani
Nama lengkapnya
adalah Sayyid Jamaludin Al Afgani. Ia lahir di Asad Abad tahun 1839 M dan wafat
di Istambul tahun 1897 M. Sejak kecil ia sudah belajar membaca Al Qur’an.
Kemudian belajar bahasa Arab, Persia, dan ilmu-ilmu lainnya, seperti tafsir,
hadits, tasawuf dan fislsafat.
Pembaharuan
pemikiran yang dimunculkan Jamludin al-Afgani adalah
· Untuk
mengembalikan kejayaan umat Islam di masa lalu dan sekaligus menghadapi dunia
modern, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni dan memahami Islam
harus dengan resiko dan kebebasan.
· Corak
pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis.
Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman.
· Kepala
Negara harus tunduk kepada Undang-Undang.
·
Kemunduran umat
Islam dalam bidang politik disebabkan karena terjadinya perpecahan dalam umat Islam
itu sendiri.
·
Tidak ada
pemisahan antara agama dan politik.
· Pan-Islamisme
atau rasa solidaritas antara umat Islam harus dihidupkan.
d.
Muhammad Abduh
(1849-1905 M)
Muhammad Abduh
lahir di Mesir Hilir tahun 1849 M. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, yang
berasal dari Turki, dan Ibunya seorang Arab yang silsilahnya sampai kepada suku
Umar bin Khatab. Muhammad Abduh termasuk anak yang cerdas sekali,
meskipun ia berasal dari keluarga petani miskin di Mesir. Sejak kecil ia tekun
belajatr. Ia melanjutkan studinya di Al-Azhar.
Ide-ide
pembaharuan yang dibawa Muhammad Abduh, membawa dampak positif bagi
perkembangan pemikiran dalam Islam. Di antara ide-ide pembaharuannya adalah :
· Penghapusan
faham Jumud yang berkembang di dunia Islam saat itu.
· Pembukaan
pintu ijtihad, karena ijtihad merupakan dasar yang penting dalam
menginterpretasikan kembali ajaran Islam.
· Penghargaan
terhadap akal. Abduh mengatakan bahwa Islam adalah agama rasional yang sejalan
dengan akal. Sebab akallah Ilmu pengetahuan maju.
· Kekuasaan
negara harus dibatasi oleh konstitusi yang telah dibuat oleh negara
bersangkutan
·
Islam maju
harus melalui pendidikan.
e.
Muhammad Rasyid
Ridla ( 1865-1935 M)
Rasyid Ridla
dilahirkan di al-Qalamun, di pesisir Laut Tengah, pada tanggal 23 September
1865 M. Pendidikannya bermula di Madrasah al-Kitab di al-Qalamun. Kemudian di
madrasah al-Rasyidiah di Tripoli. Di sini ia belajar nahwu, sharaf, berhitung,
dasar-dasar geografi akidah ibadah, bahasa Arab dan Turki. Tetapi ia tidak
betah di sekolah ini, karena bahasa pengantarnya bahasa Turi. Kemudian ia melanjutkan pendidikan
tingginya di Al-Azhar tahun 1898 M dan berguru kepada Muhammad Abduh. Bersama-sama
Abduh, Rasyid Ridla menerbitkan majalah al Manar yang memiliki tujuan sama
dengan al-Urwatul Wutsqa.
Di antaranya
adalah pembaharuan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, memberantas khurafat
dan bid’ah, menghilangkan faham fatalisme, serta faham-faham yang dibawa
tarekat. Ia juga mendesak gurunya, Muhammad Abduh untuk menuliskan Al-Qur’an
secara modern, yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.
Diatara ide-ide
pembaharuannya adalah :
· Menumbuhkan
sikap aktif dan dinamis di kalangan umat. Umat Islam harus meninggalkan sikap fatalisme
(jabariyah)
· Akal
dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat maupun hadits dengan tidak
meninggalkan prinsip umum.
· Umat
Islam harus menguasai sains dan teknologi jika ingin maju.
· Kemunduran
umat Islam disebabkan karena banyaknya unsur bid’ah dan khurafat yang masuk
kedalam ajaran Islam.
·
Kebahagiaan di
dunia da akhirat dperoleh melalui hukum alam yang diciptakan Allah.
· Perlunya
menghidupkan kembali sistem pemerintahan khalifah.
· Khalifah
adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang mengurusi bidang agama dan politik
·
Khalifah
haruslah seorang mujtahid besar yang dengan bantuan para ulama dalam menerapkan
prinsip-prinsip hukum Islam sesuai dengan tuntutan zaman.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
yang telah kami bahas di atas, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai
berikut:
1.
Kebangkitan
gerakan dan pemikiran modernisasi Islam di Mesir dilatarbelakangi oleh
kesadaran akan adanya intervensi bahkan penindasan terhadap bangsa Mesir yang
dilakukan oleh pihak Eropa, terutama pimpinan Napoleon Bonaparte. Kondisi ini
juga membawa bangsa Nesir untuk melakukan kontak dengan dunia Barat yang sudah
maju. Selain mendatangkan banyak kerugian, kontak ini juga memberikan banyak
keuntungan bagi bangsa Mesir dengan munculnya dasar-dasar modernisme peradaban
yang sangat mendukung mereka untuk bergerak naik di kancah peradaban umat Islam
khususnya dan dunia umumnya.
2.
bangkitnya
gerakan dan pemikiran modernisasi di Mesir diawali oleh munculnya kekuatan baru
yang dimotori Muhammad Ali Pasya dari keturunan Turki. Dalam upayanya
mengadakan pembaharuan, ia menata sistem politik dan pemerintahan Mesir,
melebarkan pengaruh persatuan, membangun sistem pendidikan, menyerap ilmu
pengetahuan dari luar sebanyak-banyaknya guna mencerdaskan untuk belajar diluar
untuk mengabdikan ilmunya dalam meningkatkan kualitas intelektual di negaranya
itu.
3.
Dalam dekade
selanjutnya gerakan dan pemikiran modernisasi Islam di Mesir menampakkan
perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai gagasan dan gerakan yang
berbeda dengan sebelumnya dalam berbagai bidang misalnya:
a)
Bidang sosial
politik dengan munculnya gagasan Trias Politika, patriotisme, emansipasi
wanita, dan juga persatuan umat Islam seluruh dunia dalam rangka membendung
pengaruh-pengaruh dunia Barat yang berusaha merongrong Islam dan kaum muslimin
yang diwujudkan dengan berbagai gerakan sosial;
b)
Bidang
pendidikan dengan memunculkan gagasan bahwa semua bangsa Mesir harus mengenyam
pendidikan secara merata, yang diupayakan lewat penataan kembali sistem
pendidikan;
c)
Bidang agama
dan teologi dengan munculnya gagasan pemurnian ajaran Islam, menghilangkan
kejumudan berpikir dan sikap fatalistik yang merupakan penyebab pokok kemunduran
umat Islam; dan lain-lain, tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh tidak hanya di Mesir,
tetapi juga seluruh dunia khususnya Islam. Mereka antara lain Rif’ah Badwi
Raf’i al-Tahtawi, Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan
beberapa pengikutnya.
B.
Saran
Demikianlah isi
pembahasan makalah kami ini, mohon maaf bila ada kesalahan ataupun kejanggalan
baik itu dalam bentuk ucapan maupun tulisan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua. Aminn....
DAFTAR PUSTAKA
Harun
Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, Jakarta, UI
Press, 1985
Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Hasan
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Kota Kembang,
1997
John
Ober Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern,
ter.Ajat Sudrajat, yogyakarta: Titian Illahi, 1997
Murodi,
Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang, PT.Karya Toha Putra, 1997
Philip
K.Hitti, History of The Arabs, London: Macmillan Press, 1970
M. Riza Sihbudi
dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung, PT.
Eresco,1993
M. Yusran Asmuni, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. Raja
Grafindo Persada. 1998
Muhammad Al-Bahy, Pemikiran
Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986
[1] John Ober Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan
Perubahan di Dunia Modern, ter.Ajat Sudrajat, (Yogyakarta: Titian Illahi,
1997), hal. 59
[3] Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan Bintang, 2003),
hal. 3
[4] M. Riza Sihbudi
dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Bandung, PT.
Eresco,1993). hal. 81-82.
[7] Philip K. Hitti, History
of The Arabic, (Terjemahan R. Cecep Lukman), (Jakarta, PT. Serambi Ilmu
Semesta), hal. 924
[8] M. Yusran Asmuni, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. Raja
Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Peradaban Islam,
(Yogyakarta: Kota Kembang, 1997), hal: 357
[12] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang:
PT.Karya Toha Putra, 1997), hal. 172-173
[13] Harun Nasution, Islam
di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, (Jakarta, UI Press, 1985), hal:
96-97
[14] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, hal. 174
[15] Ibid,,,, hal. 178
[16] Ibid,,, hal.
179
0 comments