BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sekang kita hidup di era yang
modern,semua yang kita butuhkan langsung tersedia secara instant.fenomena
ini,bisa kita lihat di beberapa bidang. Di bidang komonikasi,kita dulu masih SD
tidak ada orang yang megang hendphone kecuali orang-orang tertentu saja,bahkan
dulu TV sangat sulit kita jumpai,tetapi pada era ini anak SD pun sekarang udah
banyak yang megang HP,bahkan sekarang di desa-desa udah ada yang namanya
internet. Di bidang kedokteran,sekarang orang yang hamil bisa diketahui apakah
bayinya laki-laki atau perempuan,bahkan juga bisa mengetahui istri yang sudah
ditinggalkan suaminya apakah dirahimnya terdapat bayinya atau tidak. Dan
dibidang-bidang yang lainya. Sejalan dengan perkembangan itu,persolan-persoalan
juga semakin kompleks.
Namun dalam hal ini kami akan
membahas Pembaharuan Islam di Aceh, karena Aceh merupakan
B.
Rumusan Masalah
·
Bagaimana Aceh Pra Islam ?
·
Bagaimana awal masukna Islam ke Aceh ?
·
Gerakan apa saja dalam pembaharuan Aceh ?
C.
Tujuan Pembahasan
·
Mengetahui aceh Pra Islam
·
Mengetahui awal masukna Islam ke Aceh
·
Mengetahui gerakan apa saja dalam pembaharuan Aceh
BAB
II
PEMBAHASAN
ALIRAN
PEMBAHARUAN ISLAM DI ACEH
A.
Aceh Pra
Islam
Sejauh
ini literatur yang berbicara tentang Aceh, pada umumnya memuat informasitentang
Islam, terutama menekankan pada setting sosial dan islamisasinya. Lalu
bagaimanakondisi sosio-kultur masyarakat Aceh sebelum Islam? Agama apa yang
dianut olehmasyarakat Aceh pra Islam? Berbagai kesulitan membentang untuk
menjawab pertanyaanini.
Di
antaranya disebabkan oleh langkanya referensi yang dapat ditemukan. Oleh
karenaitu, wajar bila Zainuddin sebagaimana dinyatakan dalam Aceh Serambi
Mekkah, bahwa sebagian besar catatan sejarah tentang Aceh sebelum tahun 400 M
tidak diketahui secara jelas. Bahkan, catatan J. Kreemer sebagaimana dikutip
oleh Aboebakar Atjeh menyebutkan bahwa sebelum tahun 1500 sejarah Aceh masih
belum diketahui orang.
Snouck
Hurgronye menunjukkan sedikit gambaran yang mengindikasikan adanyapengaruh
Hindu di Aceh, dengan memperhatikan cara berpakaian para wanita Aceh
yangdikatakannya bersanggul miring mirip dengan cara para wanita Hindu.
Menurutnya pula,langsung atau tidak langsung, Hinduisme pada suatu waktu
mengalir ke dalam peradabandan bahasa Aceh walaupun hal ini sangat sulit
diteliti dalam riwayat dan adat. Julius Jacobseorang ahli kesehatan yang pernah
bertugas di Aceh tahun 1878 menyatakan bahwapengaruh Hindu atas penduduk
setidak-tidaknya dapat ditemukan dengan kenyataantentang pemakaian nama-nama
tempat dalam bahasa Hindu istilahnya terdapat dalambahasa Aceh.
Dalam
ranah kesusastraan, sastra Aceh juga memiliki keterpengaruhan Hindu,seperti
adanya Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, dikenal sebagai saduran
dari Kakawin Ramayana karya Walmiki. Baik versi Aceh maupun
Melayu dari Hikayat Sri Rama maupun Rahwana telah menimbulkan
dugaan bahwa hikayat itu mencerminkan sejarah Aceh dan Raja Rahwana yang
dimaksud di dalamnya adalah Raja yang pernah bertahta di Indrapuri (Aceh
Besar). Nama-nama gampong tua dari bahasa Sangsekerta seperti Indrapuri
atau Indraparwa juga telah dikaitkan oleh sementara penduduk sebagai
suatu nama kota-kota kerajaan Hindu yang pernah tumbuh di Aceh, meski demikian
hal itu samasekali tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengatakan bahwa telah berdiri
kerajaanHindu di Aceh, karena masih memerlukan pembuktian-pembuktian yang dapat
dipercaya mengenai hal ini.
pada
masa itu, budaya yang hidup dalam masyarakat Aceh diserap dari nilai-nilai
agama Hindu. Menurut Van Langen, pada dasarnya orang Aceh berasal dari bangsa
Hindu.Migrasi Hindu bertapak di Pantai Utara Aceh dan dari sini menuju ke
pedalaman. DariGigieng dan Pidie, mungkin juga dari daerah Pase, migrasi Hindu
menuju ke daerah 22Mukim di Aceh Besar. Meskipun pendapat ini dibantah oleh C.
Snouck Hurgronje. Akan tetapi, jika diperhatikan dari intensitas pergaulan,
terutama dalam bidang perdaganganantara Aceh dan India pada masa itu, maka
dapat dikatakan bahwa agama Hindumerupakan anutan sebagian masyarakat Aceh
sebelum kedatangan Islam. Selain Hindu,diperkirakan agama Budha juga menjadi
anutan bagi sebagian masyarakat Aceh yang lain,yang diduga dibawa oleh
orang-orang Cina. Dengan demikian terdapat kecenderunganbahwa budaya yang
berkembang dalam masyarakat Aceh pra Islam bersumber dari ajaran[1]
B.
Awal Masuknya Islam di Aceh
Sebelum Islam datang ke Aceh, rakyat
Aceh masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, lalu agama Hindu dan
Budha masuk ke Aceh. Masyarakat Aceh kemudian menganut agama Hindu. Hingga
kemudian datanglah Islam melalui para saudagar Islam yang datang ke Aceh untuk
berdagang. Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras
terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan persamaan
derajat. Hal ini mampu menarik perhatian masyarakat sekitar untuk memeluk
Islam.
Islam berkembang di Aceh dengan
sangat cepat. Aceh menjadi salah satu kekuatan kerajaan Islam di Nusantara.
Aceh yang terletak di ujung pulau Sumatra mampu memegang peranan penting di
Nusantara maupun di luar Nusantara.
Menurut Dr. M. Abdul Karim, Double M.A, di Sumatera telah ada negeri Islam yaitu Peureulak (Perlak) sebagai pusat penyebaran Islam di pelabuhan Sumatera Utara. Masuknya Islam di Perlak melalui proses mission sacre (proses dakwah bi al-hal) yang dibawa oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang.
Banyak dari para pedagang – pedagang tersebut menikah dengan wanita Perlak yang telah masuk Islam. Semangat keislaman masyarakat Perlak waktu itu sangat tinggi, yang akhirnya kabar datangnya agama baru tersebut terdengar ke telinga raja Perlak.
Menurut Dr. M. Abdul Karim, Double M.A, di Sumatera telah ada negeri Islam yaitu Peureulak (Perlak) sebagai pusat penyebaran Islam di pelabuhan Sumatera Utara. Masuknya Islam di Perlak melalui proses mission sacre (proses dakwah bi al-hal) yang dibawa oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang.
Banyak dari para pedagang – pedagang tersebut menikah dengan wanita Perlak yang telah masuk Islam. Semangat keislaman masyarakat Perlak waktu itu sangat tinggi, yang akhirnya kabar datangnya agama baru tersebut terdengar ke telinga raja Perlak.
Raja Perlak mengundang para saudagar
ke istananya, di sana para saudagar menjelaskan tentang Islam. Akhirnya raja
tersebut menerima Islam sebagai agama baru. Pada bulan Muharram, hari Selasa
tahun 225 H / 840 M berdirilah kerajaan pertama Islam di nusantara yaitu di
Perlak dan Raja yang pertamanya adalah Sayyid Maulana Abdul Aziz. Islam
kemudian berkembang ke semenanjung Malaya dan kemudian kerajaan Samudera Pasai,
dan ke seluruh wilayah di Nusantara.[2]
C.
Gerakan Pembaharuan Islam Di Aceh
Perang
Aceh yang telah berlangsung selama empat puluh tahun (1873-1913) telah
mengakibatkan kerugian materil mau pun jiwa. Baik itu yang dialami pihak Aceh,
maupun Belanda. Sampai 1913 tercatat sekitar 2200 personel militer tewas dalam
pertempuran dan 13.000 lainnya luka-luka di fihak Belanda. Angka tersebut masih
harus ditambah dengan jumlah militer NIL yang meninggal karena sakit sekitar 10
ribu orang dan 25 ribu narapidana yang tewas dalam pertempuran, maupun sakit.
Belum lagi serdadu Belanda yang melakukan desersi ke pihak Aceh. Sementara di
pihak Aceh tewas sekitar tujuh puluh ribu jiwa, suatu jumlah yang cukup berarti
mengingat penduduk Aceh hingga 1890 hanya dihuni sekitar setengah juta jiwa
(Van’t Veer, 1987: 255).
Tidak
mengherankan kalau sejarawan Indonesia asal Australia, Anthony Reid menaksir
sekitar seperempat hingga sepertiga jumlah laki-laki di daerah Alas pada 1903
mati syahid dalam pertempuran (Reid, 1987). Juga suatu hal yang tidak
mengherankan apabila dua atau tiga generasi dari sebuah keluarga gugur dalam
pertempuran, seperti yang dialami keluarga Chik Tiro. Bukan hal yang
mengherankan kalau pahlawan perempuan seperti Cut Nyak Dien kehilangan dua
orang suami yang gugur dalam pertempuran. Kerugian ini belum termasuk kerugian
di bidang sosial ekonomi, seperti hancurnya sejumlah desa, terbengkalainya
persawahan, maupun prasarana lain yang dibangun selama Kesultanan Aceh berdiri.
Pada 1920-an masih terjadi pemberontakan bersenjata di kawasan Aceh Selatan dan
pedalaman.
Pendidikan
barat yang kemudian diterapkan oleh pemerintahan kolonial sebagai konsekuensi
pelaksanaan Aceh-Politiek membawa keguncangan dalam masyarakat, seperti
meningkatnya rasa curiga terhadap mereka yang belajar huruf latin. Tak
mengherankan apabila ada anggapan pada masa 1910-an barang siapa yang
mempelajari huruf latin akan dipotong tangannya di akherat nanti. Tidak
mengherankan hingga 1930 hanya 1,1 persen penduduk Aceh yang bebas dari buta
huruf latin. Sekalipun secara keseluruhan penduduk Hindia Belanda masih banyak
buta huruf. Jawa saja hanya 5,5 persen penduduknya yang bisa membaca huruf
latin. Penduduk Aceh pada 1920-an sekitar 735 ribu jiwa.
Adapun
sekolah rakyat atau sekolah desa pertama yang didirikan di Aceh adalah tanggal
30 Desember 1907,yang diprakarsai oleh Gubernur Militer/Sipil dan Daerah-daerah
takluknya pada masa itu yaitu Van Daalen. Sekolahini didirikan di
wilyah Aceh Besar distrik Ulee Lheue yangdiberi nama sikula mukim
(sekolah mukim) dengan jumlah murid 38 orang. Selanjutnya, pada 4 Januari 1908
dibuka lagi sekolah serupa dengan jumlah murid 35 orang.Di bawah pemerintahan
Gubernur Swart pada
10 Juni 1908 sekolah-sekolah rakyat ini semakin
dikembangkan.
Masalah
lain dihadapi Aceh adalah depresi dan trauma melanda sebagaian rakyat Aceh
pasca perang. Adanya depresi ini terbukti dengan meningkatnya angka pembunuhan
terhadap orang Belanda atau mereka yang dianggap pro Belanda , apa yang disebut
Aceh Moodern. Antara 1910-1919 terjadi sedikitnya 75 penyerangan yang
mengakibatkan jatuhnya 99 korban di pihak Belanda, 12 di antaranya tewas.
Tercatat 47 pelaku penyerangan terbunuh, Laporan Residen Aceh juga
mengungkapkan banyaknya jumlah orang gila atau dianggap gila di daerah ini,
sehingga pada 1920 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sebuah rumah sakit
jiwa di Sabang.
Sesudah
perang yang begitu melelahkan, yang menghabiskan milyaran gulden hanya untuk
daerah yang secara ekonomis tidak berarti, dianggap berakhir-tentunya oleh
Belanda-maka Belanda menjalankan aceh politiek. Para bangsawan Aceh atau yang
dikenal sebagai uleebalang dirangkul, pas dengan anjuran Snouck Hurgronje.
Mereka diberi fasilitas dan hak privillage, baik di bidang politik,
ekonomi dan pendidikan, bahkan budaya. Pendidikan volkschool
diperkenalkan kepada rakyat Aceh sampai ke pelosok perdesaan.
Perkembangan
lain yang menarik pasca perang ialah masuknya gelombang migrasi orang-orang
Minangkabau, yang bermukim di Aceh Barat dan Selatan. Mereka bekerja di sektor
perdagangan atau menjadi mantra dan pegawai kantor pemerintahan. Gelombang
migrasi orang-orang awak ini meningkat dalam 1920-an, membawa serta institusi
pendidikan seperti Muhamadyah, Sumatra Thawalib yang berkembang di Sumatera
Barat era sebelumnya.
Perubahan
yang terjadi sebagai akibat Aceh Politiek ini terutama dialami oleh
golongan uleebalang. Golongan ini sebetulnya adalah kepala-kepala daerah yang
ditunjuk oleh Sultan Aceh dalam Piagam sarakata. Menurut ketatanegaraan Aceh,
mereka didampingi seorang ulama dalam menjalankan pemerintahannya. Kekuasaan
Kolonial di Aceh membuat para uleebalang tidak lagi memerlukan segala aturan di
atas, mereka diberikan pangkat zelfbestuurder dengan gaji 10.200 gulden
bagi mereka yang menguasai daerah luas dan 240 gulden per tahun bagi mereka
yang menguasai tingkat desa setiap tahunnya (Reid, 1987).
Para
uleebalang ini dapat mengumpulkan kekayaan apabila mau bekerjasama dengan
masakapai-masakapai swasta untuk perkebunan seperti daerah Pidie, maupun daerah
pertambanagn minyak bumi seperti di Peurelak. Pada prakteknya mereka tdiak
segan-segannya mengorbankan tanah rakyat yang ada di wilayah mereka. Para
bangsawan ini diberi hak untuk mengawasi kerja rodi yang dilakukan rakyatnya di
daerah perkebunan tersebut, serta memungut hasilnya. Sekitar sepertiga hingga
setengah persawahan rakyat di daerah Pidie diserahkan kepada onderneming swasta
oleh uleebalang setempat.
Namun
yang paling berbeda dibanding masa sebelumnya, pada pendudukan Belanda ini para
uleebalang mendapat kesempatan untuk mengambil hak-hak para ulama dalam
mengurus zakat dan harta anak yatim. Akibatnya mereka berpeluang mendapat
penghasilan tambahan dengan menggelapkan uang yang didapat dari zakat dan harta
anak yatim itu. Perilaku ini memberikan citra buruk bagi kelompok ini.
Pendidikan
yang lebih baik memang didapati golongan uleebalang ini. Banyak dari mereka
yang berkesempatan sekolah hingga luar Aceh seperti OSVIA di Bukittinggi.
Mereka juga mendapat tempat di Volksraad sebagai wakil rakyat Aceh. Biasanya
mereka tidak memperdulikan nasib rakyatnya, kecuali uleebalang seperti Teuku
Muhamad Hasan dan Teuku Nyak Arief. Dua orang uleebalang ini bahkan mempunyai
perananan dalam pergerakan nasional.
Sebagai
anak yang lahir dari golongan uleebalang, Teuku Muhammad Hasan beruntung
mengenyam pendidikan yang baik. Kelahiran Gampong Peukan Sot 4 April1906, Pidie
ini putra dari Teuku Bintara Pineueng. Dia menempuh pendidikan volksschool
di Lampoih Saka, ibukota Kecamatan Peukan Baro pada 1914. Setelah belajar
selama dua tahun diminta Belanda melanjutkan pendidikan di Europeesche Largere
School (ELS) di Sigli. Dia tamat pada 1924 dan melanjutkan sekolah di Batavia
di Koningen Wihelmina School. Setelah itu dia menamatkan pendidikan Fakultas
Hukum di Leiden. Selama di Negeri Belanda, Teuku Muhamamd Hasan berkenalan
dengan Perhimpunan Nasional dan berkenalan dengan tokoh pergerakan seperti
Achmad Subardjo, Maria Ulfah, Muhammad Hatta dan sebagainya (Ibrahim, 1983).
Sementara
Teuku Nyak Arief, uleebalang dari Sagi XXXVI Aceh Besar mewakili Aceh dalam
Volksraad. Dia orang Aceh kedua setelah Teuku Chik M. Thayeb, uleebalang dari
Peurelak yang menjadi anggota Volskraad pada 8 Februari 1918 hingga 14 Mei
1920. Dalam volsraad, Nyak Arief ikut membentuk fraksi nasional dengan tujuan
mencapai Indonesia Merdeka. Jelas dari sikap mereka dalam volksraad, Teuku
Muhamamd Hasan dan Nyak Arief, ini sudah punya pandangan ke-Indonesiaan yang
lebih luas.
·
Gerakan Lokal
Golongan Uleebalang
Gerakan
pertama yang berdiri di Aceh adalah Syarikat Aceh yang didirikan oleh
pemuda-pemuda lulusan sekolah guru di Bukit tingi. Gerakan ini digagas pada
1914, dalam sebuah pertemuan yang melibatkan sejumlah uleebalang berpikiran
maju dan juga pejabat Belanda. Dalam penggasan terjadi perbedaan faham antara
kaum tua yang dipimpin Panglima Polem dan golongan muda dipimpin Teuku Chick
Muhammad Thayeb. Pada 1916 Syarikat Aceh berdiri dengan ketuanya Chick Muhammad
Thayeb dan wakilnya Teuku Teungoh Meuraksa, Tujuannya mengubah adat lama yang
mengekang amsyarakat Aceh dan memberikan eksempatan kepada kaum wanita untuk
mendapatkan pendidikan. Gerakan ini bersifat lokal.
Pada
1918 Teuku Rhi Boejang yang memerintah Nizam mendirikan Islam Menjadi Satu,
yang tujuan utamanya menjembatani jurang antara pendidikan gaya barat dan
tradisional. Uleebalang ini juga mendorong berkembangnya Sarekat Islam di
daerahnya. Awalnya pemerintah kolonial membiarkan aksi Teuku Rhi Boejang dengan
harapan gerakan-gerakan ini dapat mengalihkan fanatisme agama ke gerakan
reformasi. Namun solidaritas Islamnya akhirnya dinilai membahayakan kekuasaan
Belanda. Tahun itu juga Rhi Boejang ditangkap bersama seorang uleebalang
lainnya (Reid, 1987).
Gerakan
Muhamadyah awalnya disebut sebagai “Kaphe Padang” dan tidak mendapatkan
sambutan. Misalnya saja, di Lhok Seumawe, Muhamadyah didirikan oleh seorang
mantra polisi asal Minang bernama Sutan Mansyoer. Perkembangan organisasi ini
pada awalnya bergerak lambat. Sampai pada 1932 hanya tujuh persen anggota
Muhamdyah di kawasan ini. Di mata ulama tardisional, Muhamadyah dianggap sama
dengan pendidikan barat ancaman bagi eksistensi pendidikan tradisional.
Gerakan
pendidikan memang menonjol di Aceh pada akhir 1920-an dan awal 1930-an. Pada
1929 Teuku Chik M. Thayeb mendirikan Perkumpulan Usaha Sama akan kemajuan Aceh
(PUsaka). Tiga tahun kemudian , pada 1932 itu berdiri Perguruan Taman siswa di
kutaraja dengan Ketuanya Teuku Hasan Glumpang Pajong dengan Wakil ketua Teuku
Nyak Arief. Sementara anggotanya A.Azis yang disebutkan berasal dari Padang dan
Ru Martin dari Ambon.
Organisasi yang berasal dari Jawa yaitu
Jong Islamieten Bond (JIB). Rencana pendirian organisasi cabangini pada mulanya
pada tahun 1928. Pelopornya
seorang pengurus pusat JIB, Azis, putera seorang
pensiunan Groot Atjehsche Afdeelingbank bernama Brahim pulang keKutaraja
dalam rangka libur sekolah. Akan tetapi usaha itu belum berhasil. Baru pada
1930 dengan dukunganTeuku Nyak Arief, cabang JIB dapat didirikan di
Kutaraja,Sigli dan Lhokseumawe dengan catatan bahwa organisasi
ini tidak mencampuri urusan politik di Aceh, (setiap
organisasi Islam yang masuk ke Aceh selalu di curigai olehpemerintah Hindia Belanda).
JIB
Cabang Kutaraja cukup berkembang dengan
mendirikan bagian wanitanya yaitu Jong Islamieten Bond
Dames Afdeeling (JIBDA). Pembentukan JIBDA ini diikuti pada 1931, membuka
sebuah sekolah khusus untuk puteri (sekolah rakyat
puteri), tetapi pada tahun 1932 sekolah ini dirubah menjadisekolah campuran
(untuk pria dan wanita). Pada tanggal 6Oktober 1932 JIB
mendirikan lagi sebuah cabang di Sabang
yang diketuai oleh Abdurrahim dan setelah itu
kelihatannya JIB tidak mendirikan cabang-cabang lagi pada kota-kota lain di
Aceh
·
Gerakan Kaum
Ulama
Para
ulama menjawab tantangan ini dengan mendirikan sekolah-sekolah model baru.
Sebagian dari mereka menuntut ilmu di Jawa, Mekah dan Sumatra Barat. Pada 1928
Tengku Abdul Wahab di Seulimeum mendirikan perguruan Al Islam, disusul Madrasah
Ahlu Sunnah Wal Djamaah di Idi oleh Said Hussein. Pada 1930 Tengku Abdul
Rachman mendirikan Al Islam Peusangan di Biereun. Disusul pendirian
Djamiatuddinyah Al Mutasiah oleh Tengku Syech Ibrahim pada 1931. Para ulama
pembaharu ini umumnya lulusan Sumatra Thawalib.
Perguruan
yang paling populer, serta paling moderat ialah sekolah yang didirikan Tengku
Muhamamd Daud Beureuh pada 1930 di Garot, dengan nama Djamiatul Diniyah (ada
yang menulisnya Jam’iyatud Diniyah yang berarti organisasi keagamaan) . Tabligh
pertama perguruan ini dihadiri sekitar 7500 orang, yang datang
berbondong-bondong, datang berjalan kaki sampai berkilometer jauhnya. Ulama
muda ini kemudian tersingkir dari daerahnya di Pidie karena berselisih dengan
Teuku Oemar Keumangan, uleebalang di mukim tersebut. Konflik antara Oemar
Keumangan dan Daud Beureuh merupakan awal dari perselisihan antara golongan
uleebalang dan ulama.
Puncak
dari kebangkitan para ulama Aceh ini ialah berdirinya Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) pada 1939. Organisasi didirikan melalui sebuah konferensi yang
dilaksanakan secara hati-hati oleh Tengku Abdul Rachman. Dalam konferensi ini
Tengku Daud Beureuh terpilih sebagai ketua dan Noer El Ibrahimy sebagai
Sekretaris I. PUSA adalah organsisasi pergerakan yang berwarna Aceh. Lewat
organisasi ini bagaikan menemukan jati diri orang Aceh yang hilang akibat
tekanan pemerintah kolonial. PUSA tumbuh pesat dalam waktu singkat terutama di
wilayah perdesaan.
Golongan
uleebalang menyadari kebangkitan ulama bakal menjadi ancaman bagi status quo
mereka. Untuk itu para uleebalang mencari alternatif untuk menghambat
perkembangan PUSA. Muhamadyah dinilai sebagai organisasi yang bisa mengimbangi
PUSA. Untuk itu para uleebalang beramai-ramai mendirikan Muhamadyah di
daerahnya. Namun PUSA tetap tak terbendung, apalagi Daud Beureuh berhasil
mendamaikan ulama tua yang masih tradisional dengan ulama yang muda di bawah
kepemimpinannya
Para golongan
uleebalang dengan juru bicaranya –justru dari kalangan nasionalis- seperti
Teuku Muhammad Hasan dan Teuku Nyak Arief mengecam berdirinya PUSA sebagai
kemunduran bagi daripada pergerakan nasional. Sebaliknya PUSA menggugat hak privillage
yang dimiliki golongan uleebalang di bidang agama, sebagai perampasan
terhadap hak ulama. Kecaman terhadap golongan uleebalang mengalir deras dan
mulai mempertanyakan hak-hak mereka di bidang ekonomi dan politik.
Kecaman-kecaman itu dimuat di Majalah Penyedar yang terbit di Medan pada
1939.
Persaingan
antara golongan uleebalang dengan mempergunakan Muhammadyah dan ulama dan
PUSA-nya tampak juga pada kaum mudanya. Ketika Muhamadyah mendirikan Hizbul
Wathon, maka PUSA menajwabnya dengan mendirikan Pemuda PUSA melalui Kongres
Pertama PUSA pada 1940. Pemuda PUSA ini dipimpin oleh seorang ulama muda,
Teungku Husain Al-Mujahid. Dalam kongres ini tampil ulama kalangan modernis
dari kalangan masyarakat Aceh seperti Mahmud Yunus, Rangkayo Rahma Elyunusiah.
Dari kalangan uleebalang hadir Tgk. M.Hasan Glumpang Payong yang mewakili
hulubalang di daerah Pidie yang menyatakan kesediaan hulubalang memberikan
kelapangan kepada PUSA untuk bergerak menempuh jalan yang baik dan menghindari
pertikaian.
Pembicara lain
Mr.S.M. Amin dan Mr.T.M. Hanafiah memberikan penilaian kritis terhadap
sistem sistem sosial mayarakat Aceh agar dijadikan bahan pertimbangan
program PUSA. Dalam pidatonya yang berjudul “Hubungan Syarak,
Wetdan Adat”, S.M. Amin secara tegas menyerukan agar
diubah sistem pengadilan di Aceh yang bersandarkan adat. Menurut S.M Amin adat
yang telah lampau tidak memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan. Sementara
Mr.T.M.Hanafiah dalam pidatonya “kemiskinan Rakyat Aceh dan Cara Mengatasinya”
menyebutkan tentang rendahnya pendapatan petani Aceh. Hal itu disebabkan rendahnya
produktifitas akibat kewajiban adat dan sosial yang dibebankan pada mereka. Ini
harus dicarikan cara penyelesaiannya (Wibowo, 2005).
Dalam kongres
itu PUSA menyatakan mendobrak tradisi yang ada dalam masyarakat yang melenceng
dari ajaranIslam. Demikian pesan Tgk. Abdullah Umar Lam U dalam pidatonya
berjudul “Kewajiban dalam Islam adalah suruh makruf dan tegah mungkar”. PUSA
juga menyatakan maksudnya untuk membasmi iktikad yang batil dalam agamayang
sangat merusak rakyat Aceh.
Pernyataan
kedua ulama PUSA itu secara jelas memperlihatkan cita-cita membentuk masyarakat
Aceh yang lebih berwajah Islami. PUSA memikul beban suci, dalam memurnikan ajaran Islam dari segala
bentuk tahyul dan kurafat. Dengan sikap seperti itu PUSA
berhadapan dengan ulama tradisional dan hulubalang. Pada 1938 di Volksraad
diperdebatkan suatu usulan mengenai restorasi Kesultanan Aceh yang didukung
golongan ulama. Namun golongan uleebalang mengecam usulan itu sebagai suatu
kemunduran. Teuku Muhammad Hasan yang aktif di pergerakan bahkan mendukung kubu
uleebalang dengan menyusun suatu barisan panjang menentang restorasi. Bagi
uleebalang terbentuknya kembali Kesultanan Aceh berarti ancaman bagi
konsesi-konsesi di bidang politik,ekonomi dan budaya yang mereka peroleh dari
kebijakan kolonial Belanda.
Hubungan sosial
PUSA dengan kaum uleebalang dapat dikatakan kerap diwarnai dengan konflik.
Tokoh muda PUSA menyerang kebijakan uleebalang yang menyengsarakan rakyat.
Bidang utama tugas uleebalang yang paling dikecam adalah pengerahan rodi (atau
kerja wajib bagi laki-laki usia 18-55 tahun) untuk proyek-proyek umum selama 12
hari dalam setahun, serta penarikan belasting kepada orang miskin sekalipun
sebesar F1 per penduduk kepala.
·
Akhir Tragis
Penjajahan Belanda di Aceh
Berbeda dengan
daerah lain, masa penjajahan Belanda di Aceh berakhir diwarnai pertumpahan
darah. Pada 1940-1942 Pemuda PUSA mengadakan hubungan dengan Jepang yang sudah
menduduki Malaya. Ada kesepakatan bahwa Pemuda PUSA membantu Jepang
menumbangkan kekuasaan Hindia Belanda. Dinas rahasia Jepang mempergunakan
kesempatan ini untuk mengadakan perang urat syaraf di Aceh dikenal dengan
gerakan F (Fujiwara Kikan). Tujuannya untuk melunakan pertahanan Belanda
sebelum tentara Jepang mendarat. Caranya mengacaukan perhubungan Belanda, menimbulkan
kegelisahan di kalangan pejabat Belanda dan menghalangi pelaksanaan bumi
hangus.
Pada Februari 1942 setelah
kedatangan dua puluh anggota F kikan dipimpin oleh Abu Bakar ke Sumatra, pesan
propaganda mereka menyebar seperti api liar di seluruh Aceh dengan dukungan
PUSA. Sentimen anti Belanda makin berkobar. Pada 23 Februari malam hari pecah
pemberontakan dimulai dengan serangan pasukan Aceh dipimpin Tengku Abdul Wahab
terhadap kantor pos Belanda di Seulimem. Tentara Belanda yang berasal dari orang
Indonesia membelot kepada pasukan F-Kikan.
Orang-orang Aceh berhasil mencegah
penghancuran jembatan dengan dinamit. Di tempat lain mereka memblokir
jalan-jalan sempit, memotong saluran telepon dan meledakan rel kereta api
Indrapuri. Keesokan harinya terjadi senjata antara tentara Belanda dengan
tentara Aceh. Kedua belah pihak menderita korban belasan jiwa (Iwaichi, 1983).
Dalam kerusuhan di Seulemeum itu Controleur Tiggelman dibunuh rakyat. Pejabat
Belanda lain yang mati mengenaskan adalah Kepala Jawatan Kereta Api bernama Van
Sperling. Sebanyak 5000 gulden dari kantor pos berhasil dilarikan untuk dana
perjuangan. Akibat perlawanan rakyat ini Belanda mengadakan jam malam di
Kutaraja (Safwan, 1976)
Pada 7 Maret pemberontakan yang
sistematis juga pecah di seluruh Aceh Besar dan bagian utara Pantai Barat Aceh.
Pada malam harinya 800 anggota F-Kikan menyerang barak tentara Belanda dekat
Krueng Jreue. Poliklinik di Indrapuri dihancuran. Jatuhnya Jawa ke tangan
Jepang pada 8 Maret 1942 membuat pejabat Belanda di Kutaraja panik. Residen
Aceh mengadakan pertemuan dengan Teuku nyak Arief yang mengusulkan agar
pemerintahan di Aceh diserahkan saja kepada dirinya, dengan begitu ia
bertanggungjawab atas nyawa orang-orang Eropa. Usulan ini ditolak.
Tetapi akhirnya orang Belanda kabur
ke luar Kotaraja. Warga sipil diungsikan ke Medan. Pertempuran terjadi di
Calang antara 9-11 Maret dengan korban yang cukup banyak di kedua belah pihak.
Pada 19 Maret tentara Jepang menduduki Aceh. Tentara Belanda dipimpin Kolonel
Gonsenson mundur ke Takengon dengan kekuatan 2000 tentara, Mereka bermaksud
mengadakan perang geriliya, tapi apa daya tidak didukung rakyat Aceh, Pada 28
Maret 1942 Mayor Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenon menyerah kalah kepada
Jepang di Kutacane
Kenyataannya sekalipun PUSA
memainkan peranan penting dalam mempermudah pendudukan Jepang di Aceh, tetapi
pemerintahan militer Jepang mengakomodir kaum uleebalang dalam pemerintahan.
Sementara ulama hanya urusan agama saja. Tentunya menimbulkan kekecewaan.
Keretakan antara kedua golongan ini makin melebar. Ketika Perang Kemerdekaan
pecah, Aceh adalah daerah yang tidak diduduki Belanda. Namun pada 1945-1946
revolusi sosial pecah, kelompok PUSA yang pro Kemerdekaan RI berhadapan dengan
kelompok uleebalang yang masih mempertahankan status quonya dengan
berharap pada kembalinya kekuasaan Belanda. Dalam bentrokan berdarah itu
kekuasaan uleebalang berakhir.[3]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebelum Islam datang ke Aceh, rakyat
Aceh masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, lalu agama Hindu dan
Budha masuk ke Aceh. Masyarakat Aceh kemudian menganut agama Hindu. Hingga
kemudian datanglah Islam melalui para saudagar Islam yang datang ke Aceh untuk
berdagang. Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras
terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan persamaan
derajat.
B.
Saran
Demikianlah isi pembahasan makalah
kami ini, kami mohon maaf karena sudah tentunya banyak yang terdapat kesalahan
ataupun kesilapan. Oleh karena itu kritikan dan saran yang sifatnya konstruktif
sangat kami harapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufik “Islam, Sejarah,
Politik di Aceh” dalam Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan
Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987
El Ibrahimy, M. Noer, Tgk.M.
Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh,Jakarta: Gunung Agung,
1982
Ibrahim, Drs. Muhammad, Mr.
Teoekoe Moehammad Hasan: Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983
Iwaichi, Lt.General Fujiwara,
F.Kikan : Japanese Army Operations in Southeast Asia during World War II,
Heineman Asia, Hong Kong, Singapore, Kuala Lumpur, 1983
0 comments