BAB I
A.
WAKALAH
1. Pengertian
Wakalah
Secara etimologi, wakalah memiliki beberapa pengertian yang
diantaranya adalah: (al-hifzh) yang berarti perlindungan, atau (al-kifayah)
yang berarti pencukupan, atau (al-dhamah) tanggungan, atau (al-tafwidh) berarti
pendelegasian yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.[1]
Sedangkan secara terminologi, wakalah berarti mewakilkan
atau menyerahkan sesuatu pekerjaan atau urusan kepada orang lain agar bertindak
atas nama orang yang mewakilkan dalam masalah dan waktu yang ditentukan.[2]
2.
Pendapat Ulama Tentang Wakalah
Para ulama memiliki pendapat yang berbeda menyangkut
wakalah, berikut adalah pandangan dari para ulama:
a.
Menurut Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa wakalah adalah ungkapan yang
mengandung arti pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada orang lain
agar orang lain tersebut melakukan kegiatan yang telah dikuasakan atas nama
pemberi kuasa.
b.
Menurut Ulama Malikiyah, wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan kegiatan yang merupakan haknya, yang mana
kegiatan tersebut tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah pemberi kuasa
wafat, sebab jika kegiatan dikaitkan setelah pemberi kuasa wafat maka sudah
berbentuk wasiat.
c.
Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan, yang
pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam
bertindak (bertasharruf).
d.
Menurut Sayyid Sabiq, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada
orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.[3]
3.
Dasar Hukum Wakalah
Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah
SWT berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi,
a.
Al- Qur’an
وَكَذٰ فَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْلِكَ بَعَثَنٰهُمْ
لِيَتَسآءَلُوْا بَيْنَهُمْ ۗ قاَلَ لَبِِثْتُمْ ۗ قَالُوا لَبِثْنَا
يَوْمًًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوْا هِ-رَبُّكُمْ أَعْلَمُْ بِمَا لَبِثْتُمْ
ۗ فَابْعَثُوْﺁ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هٰذ إِلَى المَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ
أَﻴُّﮭﺂ أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلاَ
يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan Demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka
saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara
mereka: ‘Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)’. mereka menjawab: ‘Kita
berada (disini) sehari atau setengah hari’. Berkata (yang lain lagi): ‘Tuhan
kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah
salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu
ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. Maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan
janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk
dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli
makanan.
Ayat lain yang menjadi rujukan wakalah adalah kisah tentang Nabi Yusuf as. saat
ia berkata kepada raja,
قَالَ زَائِنِ الأَرْضِ ۚ إِنِّيْ
حَفِيْظٌ عَلِيْمٌاجْعَلْنِيْ عَلَٰى ﺧَ
Berkata Yusuf: “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir);
Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)
Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil
dan pengemban amanah menjaga “Federal Reserve” negeri Mesir.[4]
b.
Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan
wakalah, di antaranya,
أَنَّ
رَ سُو لَ اللهِ صَلَّ لله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعَثَ أَباَ رَ افِعٍ وَ رَ جُلا
مِنَ الأَنْصَا رِ فَزَوَّجاَهُ مَيْمُو نَةَ بِنْتَ الْحَارِِ ثِ
“Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan
seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-Harits.” (Malik no. 678, kitab al-Muwaththa’,
bab Haji)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan
kepada orang lain untuk berbagai urusan. Di antaranya adalah membayar hutang,
mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi
kandang hewan, dll.[5]
c.
Ijma’
Para ulama bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya
wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa
hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar
kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan
oleh Rasulullah saw..
Allah berfirman,
...وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلاَ تَعَاوَنَوْا عَلَى الإِثْمِ
وَالْغعُدْوَٰنِ... “…Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
kamu tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran…” (QS. Al-Maidah: 2)
Rasulullah saw. bersabda,
وَ اللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ
4.
Rukun dan Syarat Wakalah
a.
Rukun Wakalah
1)
Muwakil (orang yang mewakilkan/pemberi kuasa).
2)
Wakil (yang mewakili/penerima kuasa).
3)
Muwakkal fih/taukil (obyek yang diwakilkan/dikuasakan).
4)
Shighat (ijab dan qabul).
b.
Syarat-syarat Wakalah
1)
Orang yang mewakilkan ialah dia pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan
dapat bertindak pada harta tersebut. Jika yang mewakilkan bukan pemilik atau
pengampu, wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan
buruk dapat (boleh) mewakilkan tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah,
seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah, dan wasiat.
2)
Orang yang mewakili hendaknya orang yang sudah baligh dan berakal sehat. Bila
seorang wakil itu idiot, gila, atau belum dewasa, maka perwakilan batal.
Menurut Hanafiyah, anak kecil yang sudah dapat membedakan yang baik dan buruk
sah untuk menjadi wakil, alasannya ialah bahwa Amar bin Sayyidah Ummuh Salah
mengawinkan ibunya kepada Rasulullah saw., saat itu Amar merupakan anak
kecil yang masih belum baligh.
3)
Syarat-syarat obyek yang diwakilkan ialah:
a)
Menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk
mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan sholat, puasa,
dan membaca ayat al-Qur’an, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
b)
Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan
sesuatu yang akan dibeli.
c)
Diketahui dengan jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti
seseorang berkata: “Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawinkan salah
seorang anakku”.
4)
Shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridhoannya untuk
mewakilkan, dan wakil menerimanya.[7]
5.
Berakhirnya Wakalah
Akad
wakalah berakhir jika terjadi salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
a.
Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat sah akad
adalah orang yang berakad masih hidup.
b.
Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya
orang yang berakad mempunyai akal.
c.
Dihentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam keadaan
seperti ini wakalah tidak berfungsi lagi.
d.
Pemutusan oleh yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil belum mengetahui
(pendapat Syafi’i dan Hambali). Menurut Madzab Hanafi wakil wajib mengetahui
putusan yang mewakilkan. Sebelum ia mengetahui hal itu, tindakannya itu tak
ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala hukumnya.
e.
Wakil memutuskan sendiri, menurut Madzab Hanafi tidak perlu orang yang
mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
f.
Keluarnya orang yang mewakilkan dari status kepemilikan.
1. Pengertian
Dhaman
Dhaman adalah suatu
ikrar atau lafadz yang disampaikan berupa perkataan atau perbuatan untuk menjamin
pelunasan hutang seseorang. Dengan demikian, kewajiban membayar hutang atau
tanggungan itu berpindah dari orang yang berhutang kepada orang yang menjamin
pelunasan hutangnya.
2. Dasar Hukum Dhaman
Dhaman hukumnya boleh dan sah dalam arti
diperbolehkan oleh syariat Islam, selama tidak menyangkut kewajiban yang
berkaitan dengan hak-hak Allah.
“Penyeru-penyeru
itu berkata :”Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat
mengembalikan akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan akan
menjamin terhadapnya” (QS. Yusuf : 72).
Sabda Rasulullah SAW. :
Penghutang
hendaklah mengembalikan pinjamannya dan penjamin hendaklah membayar” (HR.Abu
Dawud dan Turmudzi).
Sabda Rasulullah SAW. :
“Sesungguhnya ada jenazah yang dibawa
kehadapan Nabi SAW. lalu para sahabat berkata:”Ya Rasulullah kami mohon jenazah
ini dishalatkan!”, Tanya Nabi: “Adakah harta pusaka yang ditinggalkan?”, Jawab
sahabat:”Tidak”,lalu Nabi Tanya lagi:”Apakah ia punya hutang?”, jawab
sahabat:”Punya, ada tiga dinar”, kemudian Nabi bersabda:” Shalatkan temanmu
itu!”, lantas Abu Qatadah ra. berkata:”Ya Rasulullah, Shalatkanlah ia dan saya
yang menjamin hutangnya!”. Kemudian Nabi SAW. menshalatkannya” (HR Bukhari)
.
3. Syarat dan Rukun Dhaman
Rukun Dhaman antara lain :
a.
Penjamin (dhamin).
b.
Orang yang dijamin hutangnya (madhmun
‘anhu).
c.
Penagih yang mendapat jaminan (madhmun
lahu).
d.
Lafadz / ikrar.
Adapun syarat dhaman antara lain :
a.
Syarat penjamin
1) Dewasa (baligh)
2)
Berakal (tidak
gila atau waras)
3)
Atas kemauan
sendiri (tidak terpaksa)
4)
Orang yang
diperbolehkan membelanjakan harta.
5) Mengetahui
jumlah atau kadar hutang yang dijamin.
b. Syarat orang yang dijamin, yaitu orang yang berdasarkan
hukum diperbolehkan untuk membelanjakan harta.
c. Syarat orang yang menagih hutang,
dia diketahui keberadaannya oleh orang yang menjamin.
d. Syarat harta
yang dijamin antara lain:
1)
Diketahui
jumlahnya
2)
Diketahui
ukurannya
3)
Diketahui
kadarnya
4)
Diketahui keadaannya
5) Diketahui waktu
jatuh tempo pembayaran.
e. Syarat lafadz (ikrar) yaitu dapat
dimengerti yang menunjukkan adanya jaminan serta pemindahan tanggung jawab
dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutang dan jaminan ini tidak dibatasi oleh sesuatu,
baik waktu atau keadaan tertentu.
4. Hikmah Dhaman
Hikmah dhaman sebagai berikut:
a.
Munculnya rasa aman dari peminjam
(penghutang).
b. Munculnya rasa lega dan tenang dari
pemberi hutang
c.
Terbentuknya
sikap tolong menolong dan persaudaraan
d. Menjamin akan
mendapat pahala dari Allah SWT.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
selalu mebutuhkan bantuan orang lain, baik untuk memenuhi kepentingannya
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.
Setiap manusia pada dasarnya saling membutuhkan bantuan dari sesamanya
dalam berbagai pekerjaan yang dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupannya,
dalam arti manusia akan selalu membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dalam
agama Islam pada hal tolong-menolong sudah ada aturannya yaitu tolong-menolong
dalam hal kebaikan.
Islam merupakan agama yang lengkap dengan segala perbuatannya, baik yang
berhubungan dengan sesama manusia maupun yang berhubungan dengan Sang
pencipta-Nya yaitu Allah SWT. sejalan dengan itu, hukum Islam disyariatkan
untuk mengatur segala perbuatan dan tingkah laku manusia di muka bumi dalam
rangka mencari ridha Allah SWT, sehingga semua urusan manusia diatur dengan
ketentuan hukum yang jelas dan pasti. Ketentuan syara’ yang berkenaan dengan
hak-hak adami manusia itu harus dilaksanakan dengan baik dan bertanggungjawab.
Berdasarkan penjelasan
singkat di atas, yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam makalah ini adalah
mengenai wakalah, sulhu, dhaman, dan kafalah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat
wakalah?
2.
Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat sulhu?
3.
Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat dhaman?
4.
Apa pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat kafalah?
C. Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat wakalah.
2.
Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat sulhu.
3.
Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat dhaman.
4.
Mengetahui dan memahami pengertian, dasar hukum, rukun, dan syarat kafalah.
A. Dhaman
(jaminan)
1. Pengertian Dhaman
Ialah menangguang hutang seseorang atau mengembalikan barang
dan menghadirkan seseorang ke tempat yang ditentukan.
2. Hukum Dhaman
Menanggung hutang seseorang yang sudah tetap dan diketahui
kadarnya Rasulullah hukumnya sah.
3. Syarat dan Rukun Dhaman
a. Orang yang menjamin. Syaratnya: baligh,
berakal, atas kehendak sendiri berhak membelanjakan harta dan mengetahui adanya
jaminan-jaminan.
b. Orang yang berhutang. Syaranya berhak memerlanjakan harta
c. Yang berpiutang. Syaratnya; ialah
diketahui oleh orang yang menjamin.
d. Utang atau barang yang dihadirkan kembali atau orang yang
dihadirkan syaratnya harus diketahui ukuran, keadaan dan jumlahnya serta
waktunya dan tetap keadaannya.
e. Lafaz; syaratnya mengandung syarat
kandunngan makna jaminan tidak digantungkan kepada yang lain dan tidak berarti
sementara.
SYARAT – SYARAT RUKUN DHAMAN
a. Jaminan tidak mengandung penipuan
b. Masing – masing pihak tidak boleh khianat kpada pihak lain
c. Jaminan bukan merupakan kewajiban
misalnya Menjamin nafaqah kepada anak dan isteri
d. Jaminan harus pasti tertentu
4. Cara pembayaran Dhaman
Cara pembayaran dhaman adalah Barang siapa yang berpiutang
berhak menagih kepada orang yang menjamin ata u kepada orang yang berhutang.
Apabila hutang sudah dibayar oleh peminjam dengan seizin orang yang berhutang
maka penjamin berhak minta ganti kepada kepada orang yang berhutang. Apabila
salah satu dhaman atau ishil meninggal dunia sedang belum sampai masa pelunasan
maka pelunasan menjadi lepas waktu itu atas yng mati. Dhaman berhak minta ganti
kembali kepada ashil (madhmu anhu) jika telah membayar hutangnya .
Shignat (lafaz)untuk dhaman &
kafalah adalah seperti kamu menanggung piutangmu lantas kamu menjamin atas
harta atau mendatangkan sesuatu .Apabila kamu berkata Akan saya bayarkan harta
atau mendatangkan sesuatu maka pertanyaan itu menjadi janji yang wajib
dilaksanakan .
0 comments