BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia adalah mahluk bermasyarakat, yang tidak dapat hidup sendiri.
Manusia memerlukan pertolongan satu sama lainnya dan persatuan dalam memperoleh
kemajuannya. Disamping itu tiap-tiap individu manusia, memiliki kepentingan
dari awal sampai akhir hidupnya, bahkan sebelum dilahirkan ke dunia memiliki
kepentingan juga sampai sesudah dikuburkannya.
Tiap-tiap kepentingan antara satu dengan yang lainnya ada yang sama dan
ada yang berbeda dan bahkan ada yang bertentangan sehingga menimbulkan konflik.
Semua ini memerlukan perlindungan dan pengaturan. Karena setiap individu
manusia mempunyai keinginan dan untuk memperoleh keinginan tersebut akan timbul
persaingan, perlombaan, penyerobotan, penganiayaan, dsb.
Supaya keadilan tetap hidup dan tata tertib hidup dapat dipelihara dengan
semestinya diperlukan adanya aturan, hukum, dan undang-undang yang dapat
melaksanakan dengan sempurna dan seksama untuk mencegah ketidakteraturan dan
ketidakadilan agar kepentingan bersama dapat dilaksanakan seperti yang
diharuskan oleh peraturan tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka
yang menjadi rumusan masalahnya yaitu:
1.
Qanun
2.
Tujuan
maqasidsyar’iyah
BAB II
PEMBAHASAN
QANUN DAN
MAKASIDASY-SYARIAH
A.
Qanun
1. Pengertin
Qânûn merupakan
bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya hukum yang telah
memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu proses
pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislative. Dengan kata lain,
qânûn merupakan hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh
pemerintah, sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Qânûn dalam arti hukum tertulis yang telah
diundangkan oleh negara bertujuan untuk:
a.
Mendatangkan
kemakmuran;
b.
Mengatur
pergaulan hidup manusia secara damai;
c.
Mencapai dan
menegakkan keadilan.
d.
Menjaga
kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.[1]
Qânûn atau peraturan perundang-undangan
khususnya di Indonesia bersumber pada tiga hukum: hukum kolonial, hukum Islam,
dan hukum adat, yang dinamai "trikhotomi" sebagai symbol dari
persaingan tiga hukum tersebut.
Qanun dalam kontek Negara Indonesia adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah
(gubernur atau bupati/walikota).
Materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
2.
Syariah
Syariah secara
etimologis (bahasa) berarti jalan keluarnya air untuk minum.Kata ini kemudian
dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus
diturut. Secara terminologis (istilah), šyarî'ah menurut Syaikh Mahmud
Syaltut mengandung arti hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari'atkan bagi
hamba-hambanya untuk diikuti. Sedangkan menurut Manna al-Qaţţan, šyarî'ah
berarti segala ketentuan Allah yang disyari'atkan bagi hamba-hambanya, baik
menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun mu'amalah.
Dari
definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa syariah itu identik
dengan agama. Dengan kata lain, šyarî'ah adalah konsep substansial dari seluruh
ajaran Islam yang meliputi aspek keyakinan, moral, dan hukum. Hal ini sejalan
dengan firman Allah dalam QS. al-Mâ`idah:48, al-Sûrâ:13, dan al-Jâśiyah:18.
Namun pada perkembangan selanjutnya šyarî'ah ini tertuju atau digunakan untuk
menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Quran dan
Sunnah, maupun yang telah dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihâd).
3.
Versi Qanun Aceh
Pengaturan
Pemerintah NAD terhadap seluruh bidang syariat tersebut mencakup juga bidang
aqidah dan syiar Islam, yang diatur dalam qanun Nomor 11 Tahun
2002. Dalam qanun ini diatur mulai dari bentuknya sampai
sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Pengaturan bidang-bidang syariat
dalam qanun di NAD tersebut merupakan bentuk campur tangan
pemerintah terhadap urusan keagamaan umat.
Sebagaimana
uraian terdahulu, syariat Islam dalam pandangan qanun NAD
merupakan tuntunan ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan (pasal 1
ayat Perda Nomor 5 Tahun 2000, Pasal 11
Tahun 2002).
Pasal 1
Dalam Qanun ini
yang dimaksud dengan:
1)
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalahperangkat
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para
Menteri.
2)
Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3)
Pemerintah Provinsi adalah
Gubernur beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
4)
Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5)
Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nila
ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.
6)
Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek
kehidupan
7)
Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut AhlussunnahwalJama’ah.
8)
Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan.
9)
MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
10)
Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat
Islam.
11)
WilayatulHisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan
syariat islam.
Pasal 11
Setiap orang
yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan
ibadah.
B.
Tujuan
qanun (Maqasid Asy Syar’iyah)
1. Tujuan
Segi Aspek Maqasid Al Syariah
a.
Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan
manusia di dunia dan akhirat.
b.
Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c.
Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
d.
Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.
Prinsip kedua konsep An-Nabhani dalam
maqâshidasy-syarî‘ah adalah bahwa maqâshidasy-syarî‘ah (yaitu mewujudkan kemaslahatan)
merupakan tujuan dari syariat secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan
syariat sebagai satu persatu hukum (li kullihukmin bi ‘aynihi). Dengan kata
lain, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara
keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum.[2]
Pandangan ini juga berbeda dengan pandangan
Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa kemaslahatan adalah ‘illat bagi syariat,
baik secara keseluruhan maupun satu demi satu hukum secara rinci.
Konsep An-Nabhani tersebut didasarkan
pada pemahamannya terhadap QS Al-Anbiya’ (21) ayat 107 di atas, yang menurutnya
dengan jelas menunjukkan bahwa rahmat (maslahat) yang dihasilkan adalah dari
keseluruhan risalah. Tidak ada dalâlah (petunjuk) apa pun dari ayat tersebut
atau ayat lainnya (misal QS Al-Isra’ : 82) bahwa maslahat merupakan tujuan
masing-masing hukum.
Karena itu, An-Nabhani mengatakan,
akan kita dapati ketika Asy-Syâri‘ (Allah) menerangkan maqâshidasy-syarî‘ah
dari syariah sebagai keseluruhan, Dia juga menerangkan tujuan dari
masing-masing hukum pada banyak hukum, yang bersifat khusus, yang hanya hanya
bisa diketahui melalui dalil topik yang bersangkutan. Misalnya, tujuan pensyariatan haji adalah agar
manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS al-Hajj : 28); tujuan
pengharaman khamr dan judi adalah agar tidak terjadi permusuhan dan kebencian
antar manusia (QS al-Maidah : 91);
tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar (QS
al-Ankabut: 45), dan seterusnya. Dari sini, jelaslah bahwa dihasilkannya rahmat
(maslahat) hanya dihasilkan dari syariat secara keseluruhan, bukan syariat
sebagai satu demi satu hukum. Dengan kata lain, tidak tepat dikatakan bahwa
tujuan setiap nash syariat adalah mencapai kemaslahatan, karena kadang
nash-nash syariat menjelaskan tujuan (hikmah)-nya secara khusus, seperti telah
dicontohkan. Jika kita mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu-persatu)
adalah untuk memperoleh maslahat, maka ini hanya ditunjukkan oleh dalil akli,
bukan oleh dalil syariat. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah
didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil akli.
Dan Setiap aspek kehidupan
dalam Syariat Islam pelaksanaannya tidak hanya sebatas memerintah, melarang,
menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan tujuantujuan tertentu,
seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat (sebab) yang dapat dipahami atau
dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud dan latar
belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbudi dan yang hikmahnya tidak masuk
akal (ma’qul) yaitu ada rincian rahasia di balik pensyari’ataanya itu.
Allah SWT. menjadikan
Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia,
telah datang kepadamu ma’izhah (pengajaran) dari RABBMU dan Syifa (obat)
bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman (Qs. Yunus ayat : 57). Namun barang siapa tidak
mentaati seluruh ajaran Allah dan mengabaikannya tidak akan berpengaruh
kepada kekuasaan Allah di langit dan dibumi, dan segala maksiat dan kekufuran
mereka tidak akan mencelakakan Allah tapi justru segala itu akan kembali si
pelakunya. Oleh sebab itu tujuan pelaksanaan Syariat Islam terutama sekali untuk
kebaikan manusia itu sendiri.
2.
Tujuan
Pemberlakuan Syariat Islam Di Aceh
Adapun tujuan
dari qanun sebagai mana yang ada diaceh yang telah dibuat tentang pemberlakuan
syariat-syariat islam di Aceh diantaranya tuhuanqanun-qanun tersebut yaitu :
1)
Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan
syi’ar Islam bertujuan untuk :
a)
membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan
masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;
b)
meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan
fasilitasnya;
c)
menghidupkan dan
menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang
Islami.
2)
Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman
pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam.[3]
BAB III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
1.
Qânûn merupakan
bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya hukum yang telah
memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu proses
pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislative.
2.
Qânûn dan
šyarî'ah memiliki hubungan yang erat, namun dapat dibedakan di antara keduanya.
Qanun merupakan hukum positif yang berlaku pada satu Negara yang dibuat oleh
pemerintah, sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Sedangkan
šyarî'ah itu identik dengan agama. Dengan kata lain, šyarî'ah adalah konsep
substansial dari seluruh ajaran Islam yang meliputi aspek keyakinan, moral, dan
hukum.
3.
Allah SWT.
menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai
segenap manusia, telah datang kepadamu ma’izhah (pengajaran) dari RABBMU
dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57).
B. Saran
Demikianlah isi pembahasan
makalah kami ini, tentunya masih ada kesalahan atau kesilapan baik dalam
penuturan maupun penulisan. Oleh karena itu kritikan dan saran yang bersifat
membangun jiwa pemakalah sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan
makalah kami di masa mendatang. Aminn
DAFTAR PUSTAKA
.
Ash-Shiddiqy,
Muhammad Hasbi. 1993, Falsafah Hukum
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Syafe'i,
Rachmat. "Urgensi Hukum Islam dalam Sistem Negara Modern",
Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol. 1, No. 4, Juli Desember 2003.
Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum
Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo, Persada, Edisi. 2, 2006
Puji syukur
penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena, berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
vmenyelesaikan makalah dengan tema“Qanun
dan maqasidasysyar’iyahyang sederhana ini dapat terselesaikan tidak
kurang daripada waktunya.
Maksud dan
tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban mata kuliah, serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab
penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan
ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak
selaku dosen serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian
pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya
penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan yang maha Esa, sehingga
dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam
upaya evaluasi .
Sigli, 25 Juli 2016
Penulis
i
|
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN....................................................... ....... 1
A.
Latar Belakang....................................................... ....... 1
B. Rumusan Masalah................................................... ....... 1
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................. 2
A.
Qanun............................................................................. 2
B. Tujuan qanun (Maqasid Asy Syar’iyah)........................ 4
BAB III : PENUTUP
................................................................... ....... 8
KESIMPULAN............................................................ ....... 8
DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 9
0 comments