KATA PENGANTAR
![]() |
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia yang tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan baik, shalawat dan salam kepada
janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw. pembawa
risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat
manusia didunia dan diakhirat.
Makalah ini mengkaji tentang “Konsep Pernikahan Menurut Islam”.
Saya sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka
dari ini saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa/i. Semoga juga
menjadi amal yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.
Sigli, 05
November 2015
KELOMPOK 1
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ........ ii
BAB
I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latar
belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 1
BAB
II : PEMBAHASAN...................................................................................... 2
A. Pengertian Pernikahan............................................................................ 2
B. Anjuran Untuk Menikah......................................................................... 3
C. Tujuan Pernikahan.................................................................................. 4
D. Calon Pasangan Yang Ideal.................................................................... 6
E. Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandasakan Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang Shahih.......................................................................... 8
BAB
III : PENUTUP.............................................................................................. 13
A. Kesimpulan.............................................................................................. 13
B. Saran........................................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Konsep
pernikahan pada umumnya hanya berkisar pada pernikahan Internasional dan
tradisional. Konsep nikah itu sendiri juga pastinya memilih tempat dan wedding
concept resepsi pernikahan yang tepat bukanlah hal yang mudah
dilakukan.
Pernikahan
menurut Islam adalah sebuah kontrak yang serius dan jugamoment yang
sangat membahagiakan dalam kehidupan seseorang maka dianjurkan untuk mengadakan
sebuah pesta perayaan pernikahan dan membagi kebahagiaan itu dengan orang lain.
Seperti dengan para kerabat, teman-teman atau pun bagi mereka yang kurang mampu. Dan pesta perayaan pernikahan juga sebagai rasa syukur kepada Allah
SWT atas segala nikmat yang telah Dia berikan kepada kita. Di samping itu
pernikahan-pernikahan juga memiliki fungsi lainnya yaitu mengumumkan kepada
khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri. Tidak ada cara lain yang lebih
baik untuk menghindari zina melainkan melalui pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan Pernikahan ?
2.
Apa Tujuan Pernikahan ?
3.
Bagaimana memilih Calon
Pasangan Yang Ideal ?
4.
Bagaimana Proses Sebuah
Pernikahan yang Berlandasakan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak
perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir
(mental), pendidikan dan lain hal. Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan
ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama
dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua
kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat
menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang
tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat
menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya
perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara
makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah
dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan
Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".
Allah SWT menegur suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan
merampas hak istrinya dengan firmannya : "Bagaimana kalian akan
mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami
istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang
berat "Mitsaqon gholizho"." (Q.S An-Nisaa : 21).Aqad nikah dapat
menjadi sunnah, wajib, makruh ataupun haram, hal ini disebabkan karena :
1. Sunnah, untuk menikah bila yang bersangkutan :
a.
Siap dan mampu
menjalankan keinginan biologi,
b.
Siap dan mampu
melaksanakan tanggung jawab berumah tangga.
2. Wajib menikah, apabila yang bersangkutan mempunyai keinginan biologi yang
kuat, untuk menghindarkan dari hal-hal yang diharamkan untuk berbuat maksiat,
juga yang bersangkutan telah mampu dan siap menjalankan tanggung jawab dalam
rumah tangga. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S An-Nur : 33.
3. Makruh, apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan
biologi, walo seseorang tersebut sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah,
dll. Atau sebaliknya dia mampu menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu
bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban dalam berumah tangga.
4. Haram menikah, apabila dia mempunyai penyakit kelamin yang akan menular
kepada pasangannya juga keturunannya.
Sebaiknya sebelum menikah memeriksakan kesehatan untuk memastikan dengan
benar, bahwa kita dalam keadaan benar-benar sehat. Apabila yang mengidap
penyakit berbahaya meneruskan pernikahannya, dia akan mendapat dosa karena
dengan sengaja menularkan penyakit kepada pasangannya.
Bagi mereka yang melaksanakan pernikahan dalam keadaan wajib dan sunnah,
berarti dia telah melaksanakan perjanjian yang berat. Apabila perjanjian itu
dilanggar, Allah akan mengutuknya.
Apabila perjanjian itu dilaksanakan dengan tulus, kita akan dimuliakan oleh
Allah SWT, dan ditempatkan dalam lingkungan kasih Allah.
B.
Anjuran Untuk Menikah
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS. An
Nuur : 32)
Ayat di atas menganjurkan kepada umat Islam untuk menikah, dan Allah SWT
menegaskan bahwa menikah bukanlah sebagai penyebab sebuah kemiskinan. Menikah
adalah pembuka dari pintu-pintu rizki dan membaawa berkah dan rahmah dari
Allah. Dengan menikah, Allah akan menambah rizki dan karuniaNya terhadap hambanya
yang yakin terhadap Ayat-ayat Allah.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan
As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia
yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan
Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu
ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu
berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
(yang artinya): "Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh
dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang
separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim].
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan
perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan
penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna),
Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami
oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai
ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu
akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika
pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.
C. Tujuan Pernikahan
1.
Membentengi Martabat
Manusia dari Perbuatan Kotor dan Keji
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya
ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang
telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang
perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Wahai
para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad,
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].
2.
Rumah Tangga Yang
Islami
Tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan
syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga
berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan
muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami. Rumah tangga yang islami
adalah rumah tangga yang berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam secara
total (kaffah)
3.
Karena Menikah itu
Ibadah
Sebagai seorang manusia yang sadar betul kehambaanya, manusia harus
mengabdi dan memberikan hidupnya hanya kepada Allah dan selalu menghabiskan
hari-harinya dengan ibadah kepada Allah semata. Dari sudut pandang ini, rumah
tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di
samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain.
4.
Mencari Keturunan Yang
Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan
bani Adam, Allah berfirman : "Allah telah menjadikan dari
diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?" [An-Nahl : 72].
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh
anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu
mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga
Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak
kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan
karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab
mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
D. Calon Pasangan Yang Ideal
1.
Kafa’ah Menurut Konsep
Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman
sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon
jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status
sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat
perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam
perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua
suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang
Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur
dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial,
keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu
orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya
melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13). “Artinya : Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah
satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih
berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka
meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :“Artinya :Wanita dikawini karena
empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan
karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya),
sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat
Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
2.
Kriteria Memilih Calon
Suami dan Istri Yang Salihah
a. Kriteria Calon Istri yang Shalihah
·
Beragama islam
(muslimah). Ini adalah syarat yang utama dan pertama.
·
Memiliki akhlak yang
baik. Wanita yang berakhlak baik insya Allah akan mampu menjadi ibu dan
istri yang baik.
·
Memiliki dasar
pendidikan Islam yang baik. Wanita yang memiliki dasar pendidikan
Islam yang baik akan selalu berusaha untuk menjadi wanita sholihah yang
akan selalu dijaga oleh Allah SWT. Wanita sholihah adalah sebaik-baik perhiasan
dunia.
·
Memiliki sifat
penyayang. Wanita yang penuh rasa cinta akan memiliki banyak sifat kebaikan.
·
Sehat secara fisik.
Wanita yang sehat akan mampu memikul beban rumah tangga dan menjalankan
kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik.
·
Dianjurkan memiliki
kemampuan melahirkan anak. Anak adalah generasi penerus yang penting bagi masa
depan umat. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW menganjurkan agar memilih wanita
yang mampu melahirkan banyak anak.
·
Sebaiknya memilih calon
istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah menikah. Hal ini
dimaksudkan untuk memelihara keluarga yang baru terbentuk dari permasalahan
lain.
b. Kriteria Calon Suami yang Shalih
·
Beragama Islam
(muslim). Suami adalah pembimbing istri dan keluarga untuk dapat selamat di
dunia dan akhirat, sehingga syarat ini mutlak diharuskan.
·
Memiliki akhlak yang
baik. Laki-laki yang berakhlak baik akan mampu membimbing keluarganya ke jalan
yang diridhoi Allah SWT.
·
Sholih dan taat
beribadah. Seorang suami adalah teladan dalam keluarga, sehingga tindak
tanduknya akan ‘menular’ pada istri dan anak-anaknya.
·
Memiliki ilmu agama
Islam yang baik. Seorang suami yang memiliki ilmu Islam yang baik akan
menyadari tanggung jawabnya pada keluarga, mengetahui cara memperlakukan istri,
mendidik anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah
tangga secara halal dan baik.
E. Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandasakan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih.
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya
ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu
pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya.
2. Nazhar (Melihat Calon Pasangan Hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي.
فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ
فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
Artinya: “Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut.
Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau
menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si
wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si
lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya,
hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim, 9/214)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan
dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku
tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena
khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan
dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita
yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi
istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu
Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita,
hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah
terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram
baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى
يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Artinya:“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh
saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya
(membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ
لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
Artinya:“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah
halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal
pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara
ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta
pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua.
Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila
peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang
kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya
maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah
pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan
dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas
berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya
tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini.
(Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
4. Akad nikah
Akad
nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab
adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari
pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya:
“Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab
Riyadhus Shalihin.”
Qabul
adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima
nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.”
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi,
menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah
menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya:“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor
kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
6. Setelah Akad
Ketika
mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk
menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara
berikut ini:
Pertama:
Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan
tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya
melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan
kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya,
sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua:
Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan
disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga:
Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman
ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan
radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk
dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah
selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat
Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada
beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah
yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum
sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan
secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf,
hal. 20)
Keempat:
Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya)
sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى
خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ
بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ
مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا
عَلَيْهِ
Artinya:“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau
membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku
meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau
ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari
kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.”
(HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima:
Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya
disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari
atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku
menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk
mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku
menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku
pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku
dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat.
Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan
berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.”
(Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq.
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya
shahih sampai ke Abu Sa’id”).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang
pria dan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama dalam usaha
mencar rumah tangga yang ideal. Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam
adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa
cinta) dan Rahmah (kasih sayang).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling
memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan
kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan
perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir,
akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan
kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia,
maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia
mendadak dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan.
B. Saran
1. Dengan adanya perkawinan di harapkan dapat mebentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah, dunia dan akhirat.
2. Perkawinan menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia baru, yang
kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan masadepan yang lebih baik.
3. Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera keluarga, kehidupan
diharapkan menjadi lebih bermakna, dan suami-suami dan istri-istri akhir zaman
ini memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah. Amin!
DAFTAR PUSTAKA
Dandelion, Momoy.
2010. Konsep Pernikahan Dalam Pandangan Islam. (Online), (http://momoydandelion.blogspot.com/, diakses 7 Oktober 2012).
Gunawan, Gugum Gumilar.
2012. Cara Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam. (Online), (http://blogi-one.blogspot.com/, diakses 7 Oktober 2012).
Hadzan, Ibnul.
2007. Konsep Pernikahan dalam Islam. (Online), (http://koswara.wordpress.com/, diakses 7 Oktober 2012).
Kumpulan Makalah.
2009. Konsep Islam Tentang Pernikahan.
(Online), (http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/, diakses 7 Oktober
2012).
Qur'an dan Sunnah.
2009. Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses
Akad Nikah. (Online), (http://qurandansunnah.wordpress.com/, diakses 7 Oktober 2012).
0 comments