TEORI PEMBUKTIAN PIDANA ISLAM (FIQH JINAYAH)

TEORI PEMBUKTIAN PIDANA ISLAM
(FIQH JINAYAH)

A.          Pengertian Pembuktian
Pembuktian menurut istilah bahasa arab berasal dari kata “bayyinah” yang artinya suatu yang menjelaskan. Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah mengaertikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu[1] atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu. Pembuktian secara etimologi berasal dari “bukti” yang berarti sesuatu peristiwa. Sedangkan secara terminologis, pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya seseorang terdakwa dalam sidang pengadilan.
Menurut Sobhi Mahmasoni, yang dimaksud dengan membuktikan adalah mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai pada batas yang meyakinkan. Yang dimaksud meyakinkan adalah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas dasar penelitian dalil-dalil itu.[2]
B.           Jenis-jenis Alat Bukti
Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis-jenis alat bukti yang dapat digunakan dalam tindak pidana. Pertama, menurut jumhur ulama’, untuk pembuktian jarimah qishash dan diyat dapat digunakan tiga cara (alat) pembuktian: pengakuan, persaksian, dan al-qosamah. Kedua, menurut sebagian fuqoha seperti Ibn Al-Qayyim dari mazab Hambali, untuk pembuktian qishash dan diyat digunakan 4 cara pembuktian: pengakuan, persaksian, al-qasamah, dan qarinah.[3] Ketiga alat bukti tersebut qasamah (pengakuan, persaksian, dan qarinah) merrpakan alat bukti yang banyak digunakan dalam jarimah-jarimah hudud. Perbedaan pendapat antara para ulama’ hanya terdapat dalam alat bukti qarinah, meskipun alat bukti yang paling kuat sebenarnya hanya ada dua, yaitu pengakuan dan persaksian. Qasamah sendiri juga termasuk alat bukti yang di perselisihkan, walaupun ulama-ulama dan kalangan mazhab empat telah menyepakati.[4]
1)            Pengakuan
Pengakuan menurut arti bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara’ adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut. Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Pengakuan (iqrar) adalah dasar yang kuat, karena itu hanya mengena akibat hukumnyakepada pengaku sendiri dan tidak dapat menyeret kepada yang lain. Pengakuan dapat berupa ucapan, atau isyarat bagi orang yang bisu sulit bicara, untuk kasus-kasus selain zina, yang apabila pembuktian dalam bentuk isyarat dapat menimbulkan subhat (perserupaan). Sebab isyarat dapat menimbulkan paham yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan subhat dalam menjatuhkan putusan.[5]
Apabila orang yang melakukan pengakuan menarik kembali p[engakuannya maka penarikan atau pencabutan pengakuan tersebut apabila tidak pidana yang tadinya dilakukan itu berkaitan dengan hak Allah yang gugur karena adanya subhat. Adapun tidak pidana yang berkaitan dengan hak manusia atau hak Allah yang tidak gugur karena subhat, seperti zakat dan kifarat maka penarikan atau pencabutan pengakuan tersebut tidak diterima. Apabila seorang mengaku berbuat zina tetapi ia menarik pengakuannya maka ia tidak dituntut karena pengakuannya itu. Akan tetapi ia mengaku membunuh orang atau melukainya kemudian ia mencabut pengakuannya, maka ia tetap dituntut, karean tindakan yang dilakukannya berkaitan dengan hak manusia yang tidak bisa digugurkan kecuali dengan kerelaan korbannya.[6]
2)            Persaksian
Bayyinah dalam istilah fuqaha’, syadanah (kesaksian). Tetapi Ibnu Al-Qayyim memaknakan bayyinah dengan dengan segala yang dapat menjelaskan perkara. Syahadah adalah mengemukakan, syahada (kesaksian) untuk menetapkan hak atas diri orang lain. Dengan kesaksian yang cukup syarat, nyatalah kebenaran bagi hakim dan wajiblah dia memutuskan perkara sesuai dengan kesaksian itu.[7]
Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran deengan lafadz-lafadz syahadat didepan pengadilan.[8] Sedang menurut syara’ kesaksian adalah pemberitaan yang pasti yaitu ucapan yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah tersebar. Memberi kesaksian asal hukumnya fardlu kifayah, artinya jika 2 orang telah memberikan kesaksian maka semua orang telah gugur kewajibannya. Dan jika semua orang menolak tidak ada yang mau menjadi saksi maka berdosa semuanya, kerena maksud kesaksian itu adalah untuk memelihara hak.[9]
Dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dan pelukaan (penganiayaan), para fuqaha membedakan antara jarimah yang hukumannya badaniah sepeerti qishash, dera dan lain-lain dengan jarimah yang hukumannya maliah, seperit diat atau ganti rugi.
a)            Jarimah yang hukumannya badaniah
Jarimah yang hukumanya badaniah ada kalanya qishash dan ada kalanya ta’zir. Unntuk jarimah yang hukumanya qishash, menurut jumhur fuqaha’, pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan seorang saksi laki-laki dan dua perempuan, atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpahnya korban.
Menurut Imam Abu Hanifah, untuk membuktikan jariamah yang hukumanya ta’zir bisa digunakan dua saksi laki-laki yang salah satunya korban, atau seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan. Bahkan menurut kedua muridnya dalam kasusu ini, pembuktiannya cukup dengan seorang saksi laki-laki yang adil, atau dengan persaksian penuntut (korban) ditambah dengan keengganan bersumpahnya terdakwa, atau bahkan cukup dengan pengetahuan hakim (‘ilmu qadhi).[10]
b)            Jarimah yang hukumannya maliah
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, pembuktian untuk jarimah yang hukumannya maliah, seperti diat dan ganti rugi, bisa dengan dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpahnya penuntut (korban) atau keengganan bersumpahnya terdakwa. Mereka (Malikiyah) membolehkan pembuktian untuk jarimah yang hukumannya maliah dengan saksi dua orang wanita ditambah dengan sumpahnya penuntut, sedang Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak membolehkannya. Alsan mereka (Malikiyah) adalah bahwa dua orang perempaun dapat mengantika seorang laki-laki dalam kedudukannya sebagai saksi dalam masalah harta benda. Karena itu maka dalam hukuman maliah dua orang perem puan juga bisa digunakan sebagai saksi untuk pembuktian tindak pidananya. Sedang menurut Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, untuk pembuktian tindak pidana yanng hukumanya maliah dapat digunakan dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Pada akhirnya, kunci untuk diterimanya kesaksian adalah adanya keyakinan hakim. Apabila keterangan saksi tidak seragam, atau bahkan keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain maka kesaksian yang demikian tentu saja meragukan dan hakim sebagai pengambil keputusan tentu tidak yakin dan menolak kesaksian tersebut.
3)            Qasamah
Qasamah dalam arti bahasa adalah al-yamin yang artinya sumpah. Menurut istilah, qasamah didefinisikan sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan. Abu Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili juga membuet definisi dengan menyatakan: Arti qasamah menurut istilah fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si pembunuh) untuk membuktiakan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan.
Qasamah adalah suatu cara pembuktian dengan bersumpah yang dilakukan (diucapkan) 50 orang. Disyari’atkan dalam rangka memelihara jiwa, sehingga dalam keadaan bagaimanapun pembunuhan itu harus tetap diselesaikan, dibuktikan dan ditetapkan hukumannya. Dengan demikian, qasamah merupakan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan suatu khasus pembunuhan, dimana tidak terdapat bukti berupa saksi atau pengakuan.
Menurut ulama Hanafiah, qasamah disyari’atkan untuk menanggulangi kelalaian warga ditemukannya korban dalam menjaga dan memelihara wilayah dari tidakan-tindakan kriminal yang dilakukan, baik penduduk setempat maupun oleh pihak luar. Akibat kelalaian mereka dalam mengamankan wilayahnya, mereka dibebani kewajiban harus melakukan qasamah dan sekaligus membayar diat, karena menurut Imam Abu Hanifah, mereka baik sebagai individu atau kelompok dianggap membunuh korban, karenya mereka harus bertanggung jawab.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, qasamah digunakan apabila pelaku (pembunuh) diketahui ada tanda dan petunjuk yang mengarah kepadanya. Apabila pembunuh tidak diketahui maka menurut mereka (jumhur) qasamah tidak dapat diberlakukan.
Qasamah dapat digunakan sebagai alat bukti kecuali apabila syarat-syarat terpenuhi. Dan syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Kematian yang dialami oleh korban merupakan akibat tindak pembunuhan, baik karena pemukulan, pencekikan maupun yang lainnya. Apabila tidak ada bekas atau tanda-tanda pembunuhan maka tidak ada qashamah dan tidak ada diat.
b.      Jumhur ulama selain Hanafiyah mensyaratkan adanya lauts atau petunjuk yang mengarah kepada pelaku pembunuhan, seperti ditemukannya jasad korban di halaman rumah musuhnya. Apabila tidak ada lauts maka tidak ada qasamah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah tidak mensyartkan adanya lauts, melainkan cukup ditemukannya mayat dan ada bekas pembunuhan.
c.       Hanafiyah mensyaratkan adanya sebagian besar dari jasad korban ditempat kejadian. Apabila yang ditemikan hanya satua nagota badan saja, tidak ada qasamah dan diat. Apabila trdapat separuh badan berikut kepalanya maka berlaku qasamah dan diat. Akan tetapi, apabila hanya ditemukan kepanya saja maka tidak ada qasamah dan tidak ada diat. Sedangkan ulama lain tidak mensyaratkan hal ini.
d.      Imam Abu Hanifah mensyaratkan pembunuhan tidak diketahui. Apabila pembunuhan diketahui maka tidak ada qasamah. Akan tetapi menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad untuk berlakunya qasamah, justru pembunuhan harus diketahui berdasarkan adanya petunjuk (lauts). Apabila pembunuhan tidak diketahui maka qasamah tidak dapat digunakan.
e.       Keluarga korban mengajukan tuntutan terhadap tersangka.
f.       Tuntutan yang diajukan oleh pra keluarga korban tidak boleh bertentangan dengan antara yang satu dengan yang lain. Mislanya sebagian wali (keluarga) menuntut bahwa pembunuhnya A, tetapi keluarga yang lain menyatakan bahwa pembunuhnya B. Jika pertentangan dalam tuntutan itu terjadi maka qasamah tidak bisa digunakan.
g.      Tersangaka mengingkari perbuatan pembunuhan tersebut. Apabila pelaku pembunuhan mengakui perbuatanya maka qasamah tidak dapat digunakan, karena sudah ada alat bukti pengakuan.
h.      Imam Abu Hanafiah mensyaratkan adanya permintaan agar kasus pembunuhan tersebut dibuktikan dengamn qasamah. Hal ini karena qasamah itu merupakan sumpah dan sumpah merupakan hak penuntut yang dapat dipenuhi dengan permintaanya. Itulah sebanya dalam qasamah, kesempatan pertama diberikan kepada korban, karena sumpah adalah hak mereka. Mereka berhak memilih dan menentukan orang-orang diduga sebagai tersangka pelaku pembunuhan dan meminta keluarga mereka yang baik-baik untuk bersumpah.
i.        Imam Abu Hanifah mensyaratkan bahwa tempat mayat korban ditemukan adalah milik seorang atau dalam kekuasaan seseorang. Apabila tempat (tanah) tersebut bukan milik seseorang atau bukan dalam kekuasaan seseorang maka tidak ada qasamah dan tidak ada hukuman diat. Apabila mayat korban berada ditempat yang digunakan untuk kepentingan umum maka tidak wajib qasamah, tetap diat wajib dibayar dari Baitul Mal.[11]

4)            Qarinah
Qarinah merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain, seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Dalam jarimah zina, misalnya qarinah sudah dibicarakan, baik kegunaanya maupun dasar hukumnya. Salah satu conto qarina dalam jarimah zina adalah adanya kehamilan dari seorang perempuan yang tidak bersuami. Dalam jarimah syurbul khami (meminum-minuman keras), yang dapat dianggap sebagai qarinah, misalnya bau minuman dari mulut tersangka. Dalam tidak pidana pencurian, ditemukannya barang curian dirumah tersangka merupakan suatu qarimah yang menunjukkan bahwa tersangka yang mencuri barang tersebut.
Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut: Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas menyerai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjuk kepadanya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa untuk terwujudnya suatu qarinah harus dipenuhi dua hal, yaitu:
a.          Terdapat suatu keadaan yang jelas dan diketahui yang layak untuk dijadikan dasar dan pegangan
b.         Terdapat hubungan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara keadaan yang jelas (zhahir) dan yamng samar (khafi)
Dalam jarimah qishash, qarinah hanya digunakan dalam qasamah, dalam rangka ihtiath (hati-hati) guna menyelesaikan kasus pembunuhan, denga berpegang kepada adanya korban ditempat tersangka menurut Hanafiyah, atau berpegang dengan adanya lauts (petunjuk) menurut jumhur ulama’. Salah satu contoh lauts yang kemudian menjadi petunjuk (qarina) adalah terdapatnya tersangka didekat kepala korban, badan dan tangannya memegang pisau yang terhunus, serta badanya berlumuran darah. Adanya tersangka didekat jasad korban dengan pisau terhunus dan badan serta pakaian yang berlumuran darah merupakan petunjuk (qarinah) bahwa dialah orang yang membunuh korban. Demikian pula ditemukanya korban di tempat (wilayah) tersangka merupakan qarinah (petunjuk) bahwa pembunuhan dilakukan oleh penduduk diwilayah tersebut.









DAFTAR PUSTAKA

Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2006
Sobhi Mahmasoni, Falsafah al-Tasyri’ Fil-Islam, Beirut: Al-Kasyaf, 1949
Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, jus II, dar al-Kitab al-Arab, Beirut
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafida, 2005
T. M. Hasbi-Ash-Shiddiqi, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Khadim Al-Haramain Asy-Syarifain, Madinah, 1971
Muhammad ibn Ali Asy-Syaukani, Nail Al-Author, jus VII, Dar Al Fikr,
Muhammad Salam Madzkur, Al-Qadla’ Fil Islam terjemah Peradilan Dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1964
Abu Ishak, Ibrahim Ibn Ali Asy-Syairazi, Al-Muhadzadzab, jus II, Dar al-Fikr, Beirut, 1994
M. Hasbi Ash-shiddiqy, Peradilan Dan Hukum acara Islam, Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997
Wahba Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, jus VI, dar Al-fikr, Damarkus, 1989
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut hukum Acara Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004


[1] Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 135
[2] Sobhi Mahmasoni, Falsafah al-Tasyri’ Fil-Islam, (Beirut: Al-Kasyaf, 1949), hal. 220
[3] Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, jus II, dar al-Kitab al-Arab, Beirut, hal. 303
[4] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafida, 2005). Hal. 227
[5] Muhammad Salam Madzkur, Al-Qadla’ Fil Islam terjemah Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1964), hal. 119
[6] Abu Ishak, Ibrahim Ibn Ali Asy-Syairazi, Al-Muhadzadzab, jus II, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, hal.481
[7] M. Hasbi Ash-shiddiqy, Peradilan Dan Hukum acara Islam, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997), hal. 139
[8] Wahba Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, jus VI, dar Al-fikr, Damarkus, 1989, hal. 388
[9] Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut hukum Acara Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 388
[10] Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy,,, hal. 315-317
[11] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,,, (hal. 238-240

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email