BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam
merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana
kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca
Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada
lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa
Al-qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga
Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari
risalah-risalah sebelumnya.
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-qur’an)
sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah
kalimat-kalimat-Nya.”(Q.S Al-An’am:115). Oleh karena itu dalam pembahasan
makalah kami ini akan membahas mengenai konsep kepemimpinan dalam Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Kepemimpinan
?
2.
Bagaimana Ciri-Ciri
Pemimpin Menurut Islam ?
3.
Apa Syarat-Syarat
Pemimpin Dalam Islam ?
4.
Apa saja Pokok-Pokok
Kepemimpinan Islam ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui dan memahami
Kepemimpinan
2.
Mengetahui dan memahami
Ciri-Ciri Pemimpin Menurut Islam
3.
Mengetahui dan memahami
Syarat-Syarat Pemimpin Dalam Islam
4.
Mengetahui dan memahami
Pokok-Pokok Kepemimpinan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan
1.
Hakikat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi,
perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin,
kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan
yang berkaitan satu dengan lainnya. Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah
serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur
orang lain.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang
lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi
proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku
pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan
budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Kepemimpinan adalah seni
untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk
memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk
menyelesaikan tugas.[1]
2.
Kriteria Pemimpin
Adapun kriteria pemimpin itu sendiri, yakni:
a.
Pemimpin yang mukmin.
b.
Tegas dalam menjalankan
perintah Tuhan.
c.
Takut kepada Allah swt
sewaktu mengurusi orang-orang yang dipimpinnya.
d.
Tidak menzalimi
siapapun.
e.
Tidak memerkosa hak-hak
orang lain.
f.
Menegakkan dan bukan
melecehkan hudud Allah swt.
g.
Membahagiakan rakyatnya
dengan mengharap rida Allah swt.
h.
Orang kuat di sisinya
menjadi lemah sehingga si lemah dapat mengambil kembali haknya yang
direbut si kuat.
i.
Orang lemah di sisinya
menjadi kuat sehingga haknya dapat terlindungi.
j.
Menampakkan kepatuhan
kepada Allah swt dalam menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan hajat hidup
orang banyak sehingga dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya merasa bahagia.
k.
Semua orang hidup aman
dan tenteram.
l.
Sangat mencintai
manusia, begitu pula sebaliknya.
m. Selalu mendoakan manusia, begitu pula sebaliknya. Kriteria di atas menjadi
indikator bagi pemimpin yang terbaik dan termulia di sisi Allah swt dan
manusia.
B.
Ciri-Ciri Pemimpin Menurut Islam
Adapun cirri-ciri pemimpin menurut islam adalah sebagai berikut :
1.
Niat Yang Tulus
Apabila menerima suatu tanggung jawab, hendaklah didahului dengan niat
sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Iringi hal itu dgn mengharapkan
keredhaan-Nya sahaja. Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan
beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2.
Laki-Laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan. Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim
oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu).
3.
Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, ”Wahai
Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.
Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka
kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan
kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk
menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
4.
Berpegang Dan Konsisten
Pada Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia
meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dilucutkan dari jabatannya.
5.
Memutuskan Perkara
Dengan Adil
Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali
ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan keadaan terikat, entah ia akan
diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezalimannya.”
(Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
6.
Senantiasa Ada Ketika
Diperlukan Rakyat
Hendaklah selalu membuka pintu utk setiap pengaduan dan permasalahan
rakyat. Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin atau pemerintah yg menutup
pintunya terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup
pintu-pintu langit terhadap keperluan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam
Ahmad dan At-Tirmidzi).
7.
Menasihati Rakyat
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorg pemimpin yg memegang urusan kaum
Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasihati mereka, kecuali
pemimpin itu tidak akan masuk syurga bersama mrk (rakyatnya).”
8.
Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yg memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai
maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh kerena itu,
hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah
bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat
Thabrani).
9.
Mencari Pemimpin Yang
Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan
seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pembantu, yaitu
pembantu yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pembantu
yang menyuruh kpd kemungkaran dan mendorongnya ke sana. Maka org yg terjaga
adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said
Radhiyallahu’anhu).
10. Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu
ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yg mengurus satu
perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah
kepadanya.
11. Tidak Meragukan Rakyat
Rasulullah bersabda,” Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam
masyarakat, ia akan merusak mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan
Al-hakim).
12. Terbuka Untuk Menerima Ide & Kritikan
Salah satu prinsip Islam adalah kebebasan bersuara. Kebebasan bersuara ini
adalah platform bagi rakyat utk memberi idea atau kritikan kepada kerajaan
& pemimpin agar sma mngembling tenaga & ijtihad kearah pembentukn
negara yg maju. Saidina Abu Bakar berucap ketika dilantik menjadi khalifah,
beliau menegaskan "..saya berlaku baik, tolonglah saya, dan apabila saya
berlaku buruk, betulkn saya..", manakala Khalifah Umar prnah ditegur oleh
seorang wanita ketika memberi arahan di masjid, dan beliau menerima teguran
tersebut.[2]
C.
Syarat-Syarat Pemimpin Dalam Islam
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki
kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa,
memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi
kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil. Pemimpin setelah Rasul harus
memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan
patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu
ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar
ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang
sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin
memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari
segala bentuk dosa.
Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan
kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan
kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa.
Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa
melalui proses penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu
menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari
puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri
yang bersangkutan akan menjadi nol. Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari
derajat keimanan telah mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah
sebagai telah merasakan cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi
telah merasakan cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan
Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk
dosa.
Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan
realitas dari wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui
realitas dari seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini
yang sering menjebak manusia. Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki
sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka
seluruh langit dan bumi ini ada.” Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan
keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak
hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat.
Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang
melayani semua orang dan setiap orang. Penerapan sifat keadilan oleh seorang
pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik,
budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi
dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara
yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama.
Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia
diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, maka ummat Islam
sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi Thalib. Kemudian
dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari kepemimpinan
tersebut adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.
Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut? dan siapakah yang
memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 dasar
falsafi kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah), yaitu:
Pertama, Allah adalah
hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik
al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus
dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem
ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada
kepemimpinan Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan
kepemimpinan Allah atau kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah
Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi
dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat
hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat
menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut
Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat
manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah
keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah
melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir
dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam
yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman
Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama
adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn Al-Hasan
Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi mengalami
dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan
kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu
setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman.
Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga
akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan
beban menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh
karena seorang faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.[3]
Menurut Khomeini, selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan
mengatur (mengorganisasi), ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha
yaitu pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah
wujud dari hukum Islam itu sendiri. Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha
itu tidaklah boleh untuk berbuat salah. Sebelum akhir zaman tiba, maka
kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama (faqih) yang memenuhi
syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi faqih (ulama). Manusia
harus melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual maupun
spiritual. Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah-Nya.
Dalam kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah (5 : 461) menyimpulkan :
"Mereka sepakat bahwa imam disyaratkan harus Muslim, mukallaf, merdeka,
laki-laki, Quraisy, adil, alim, mujtahid, pemberani, memeliki wawasan yang
benar, sehat pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan." Ibn Taimiyah,
walaupun menolak syarat-syarat klasik ini, karena dianggap tidak realistis,
namun beliau menegaskan bahwa keadilan beserta amanah adalah dua kualitas
esensial pemerintahan Islam (lihat Qamaruddin Khan, The Political Thoughts of
Ibn Taymiyah, Islamabad Islamic Research Institution, 1973). Setelah Rasulullah
Saw wafat, yang memegang kendali kepemimpinan politik Islam, bukan lagi tokoh
ideal seperti Nabi.
Ketika diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar Ra berkhutbah : Sesungguhnya
dalam posisi ini aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Ketahuilah
kadang-kadang syaitan menguasai diriku. Bila aku baik bantulah aku. Bila aku
salah luruskanlah aku. Taati aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Jika aku maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian tidak wajib menaatiku.
Jadi, sebenarnya Abu Bakar dipilih tidak melalui suatu proses ijma',
seperti diyakini oleh banyak kalangan. Para mu'arrikh misalnya, menyebutkan
sejumlah orang yang berlindung di rumah Fatimah Az-Zahra Ra; 'Abbas, Salman,
'Ammar ibn Yasir, Al-Barra' ibn 'Azib, Sa'ad ibn Abi Waqqash, 'Utbah ibn Abi
Labhab, Abu Dzar, Miqdad ibn Al-Aswad, Ubay ibn Ka'ab, Thalhah ibn Ubaidillah,
kelompok Bani Hasyim, sekelompok Muhajir dan Anshar.
Mereka beranggapan bahwa 'Ali ibn Abi Thalib Kw, berdasarkan nash
penunjukan oleh Nabi Saw, berhak untuk menjadi khalifah. Beliau dipandang lebih
adil, lebih faqih, dan lebih dekat dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah
Fatimah Az-Zahrah Ra wafat, 'Ali berbaiat kepada Khalifah Abu Bakar Ra yang
kemudian diikuti oleh kelompoknya. Sa'ad ibn 'Ubadah, calon pemimpin dari
kalangan Anshar yang tidak terpilih, pun tidak melakukan perlawanan. 'Ali ibn
Abi Thalib Kw malah memberikan dukungan intelektual terhadap Abu Bakar dan Umar.
Beliau sering membantu mereka dalam mengatasi masalah-masalah hukum, walau pun
ia tidak menduduki jabatan apa pun. Dalam menghadapi kesenjangan, seperti
dikatakan Jalaluddin Rahmat; antara das Sollen dan das Sein –yang tidak begitu
besar-umat terpecah kepada kelompok pendukung das Sollen dan kelompok pendukung
das Sein.
Pada zaman Abu Bakar dan Umar, kedua kelompok ini setelah komplik yang juga
tidak begitu besar-bergabung mendukung keduanya. Sehingga, seperti dikatakan
Maududi, Abu Bakar dan Umar berhasil menegakkan sistim politik yang adil:
pemerintahan berdasarkan musyawarah, amanah, kekuasaan hukum, jiwa demokrasi,
dan anti ashabiyah. Kualifikasi Pemimpin dalam Pemikiran Islam Sebenarnya, apa
sajakah kualifikasi pemimpin menurut para pemikir politik Islam? Adalah
Al-Farabi yang memiliki concern mengenai pewenang tertinggi dalam pemerintahan
ini. Beliau menyebutnya dengan al-ra'is al-awwal li al-madinah al-fadhilah wa
ra'is al-mamirah min al-ardh kulliha (Pemimpin Tertinggi Negara Utama dan
Pemimpin Oikumene Dunia).
Di antara sifat-sifat pemimpin yang disebutkan Al-Farabi ialah :
"…bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat
daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup
menanggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan
jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua
orang –hatta terhadap diri dan keluarganya—serta berani dan paling awal."
Al-Farabi juga menyebutkan : "Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini
dalam diri seseorang adalah sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini
terpenuhi dalam diri seseorang, dialah sang pemimpin.
Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat tersebutlah yang
dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang memenuhi sifat-sifat
tersebut secara maksimal, namun ada dua orang, yang satu bijak (hakim) dan
lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya menjadi pemimpin
bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi satu dengan lainnya. Apabila
sifat-sifat ini ada pada lebih dua orang, dan mereka saling mengerti, maka
semuanya adalah para pemimpin yang dihormati." Sementara itu, Syeikh
Al-Ra'is ibn Sina menyatakan dalam kitabnya, Al-Syifa',
Bab "Penentuan Khalifah dan Imam", sebagai berikut : "…
Kemudian wajib bagi seorang pemimpin untuk mewajibkan patuh kepada orang yang
akan menggantikannya. Suksesi ini tidak boleh terjadi melainkan dari sisinya,
atau berdasarkan ijma' para ahli senior atas seseorang yang secara publik dan
aklamasi diakui sebagai orang yang mandiri dalam politik, kuat secara
intelektual, bermoral mulia –seperti berani, terhormat, cakap mengelola, dan
arif dalam hukum syariat—sehingga tiada orang yang lebih dikenal darinya."
"Ditetapkan kepada mereka bahwa apabila terjadi perselisihan atau
pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu, atau mereka sepakat (menetapkan) orang
yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini, dan yang tidak layak, maka mereka
akan kafir kepada Allah Swt."[4]
Al-Qadhi Abu Ya'la Al-Gharra' dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah,
menyatakan : "Orang yang layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat
syarat, yaitu :
1) Berasal dari keturunan Quraisy;
2) Memenuhi sejumlah syarat, seperti layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka,
akil, balig, berilmu, dan adil;
3) Arif dalam urusan peperangan, politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud
sehingga rasa belas kasihannya tidak menghalanginya dari berbuat adil, serta
memiliki sifat membela umatnya; dan
4) Yang paling utama dalam ilmu dan agama di antara mereka.
" Al-Mawardi, teoritisi utama politik Islam Sunni memerinci dalam
kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, bahwa : "Orang yang layak menyandang
kepemimpinan, harus memenuhi tujuh syarat, yaitu :
1)
adil dengan keseluruhan
persyaratannya;
2)
berilmu pengetahuan
sehingga mampu berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan
ketetapan-ketetapan hukum;
3)
memiliki kesempurnaan
indra seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan agar dengannya ia bisa
melaksanakan tugasnya sendiri;
4)
tak memiliki cacat
tubuh yang bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera;
5)
memiliki kemampuan
menggagas yang dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan pengaturan
kemaslahatan;
6)
berani dan tangguh
sehingga mampu mempertahankan Negara dan melawan musuh; dan
7)
nasab sang pemimpin
hendaklah dari keturunan Quraisy, dan mendapatkan kesepakatan (konsensus).[5]
D.
Pokok-Pokok Kepemimpinan Islam
Yamani dalam bukunya Filsafat Politik Islam (2002 : 15-16), mengemukakan
pokok-pokok kepemimpinan dalam Islam didasarkan atas empat dasar falsafi
(philosophische grondslagen), antara lain :
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.
Allah adalah malik an-nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi
hukum. Manusia harus dipimpin dengan kepemimpinan Ilahiyah.
Kedua, Kepemimpinan manusia (qiyadah abasyariyyah) yang mewujudkan
hakimiyah Allah di bumi ini ialah nubuwwah. Nabi tidak hanya menyampaikan
al-qanun al-ilahi dalam bentuk Kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu.
Supaya hukum sanggup menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan
adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana.'
Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwwah dalam memimpin umat.
Setelah zaman para nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw., kepemimpinan
umat dilanjutkan oleh para imam yang diwariskan oleh Rasulullah dan
ahl-al-bait-nya. Setelah zaman para nabi, dating zaman 'para imam.'
Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat
dibebankan kepada mereka. Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang
berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling
tahu tentang hukum Ilahi.
Setelah para imam tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang
memenuhi syarat-syarat syariat berikut :
Pertama, Faqahah; yakni mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup
melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.
Kedua, Istiqamah, Al-Shalah, dan Tadayyun; yakni memperlihatkan ketinggian
kepribadian, dan bersih dari watak buruk.
Ketiga, Kafa'ah, yakni memiliki kemampuan untuk memimpin umat; mengetahui
ilamu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara
kejiwaan dan rohani.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan
gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain. Kepemimpinan adalah
kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan
sesuatu sesuai tujuan bersama.
Menyatakan bahwa dalam menjadi pemimpin di muka bumi maka manusia harus
bisa menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh Allah dan di setiap langkah
sebagai seorang pemimpin, Allah akan memberikan peringatan bagi kaum Muslimin
agar selalu berhati-hati tentang apa yang akan dilakukan sebagai khalifah Allah
di bumi.
B.
Saran
Dalam makalah singkat ini penulis ingin menyarankan kepada rekan mahasiswa
hendaknya kita membuat tugas yang dibebankan oleh dosen pengasuh kita yang
berupa makalah khususnya mata kuliah pendidikan agama islam, kita membuat
sendiri agar kedepannya kita menjadi mahasiswa yang benar-benar siap pakai di
kalangan masyarakat maupun dunian kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2002)
Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, (Jakarta:
Al-huda, 2005)
[1] Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), hlm 63
[2] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, (Jakarta:
Al-huda, 2005), hlm 21-23
[3] Ibid, hal. 24
[4] Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan
Syar’i, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 78
[5] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan.,
hal. 30
0 comments