Khitbah dan Mahar

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.[1]
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan disyari’atkan  sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memesuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Isalam juga sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri.[2]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Khitbah dan Mahar.?
2.      Apa Saja Yang Menjadi Dasar Hukum Khitbah Dan mahar.?
3.      Bagaimanakah Kandungan Hukum Tentang Khitbah dan mahar.?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Khitbah dan Mahar.
2.      Untuk Mengetahui Dasar Hukum Khitbah Dan mahar.
3.      Untuk Mengetahui Kandungan Hukum Tentang Khitbah dan mahar.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.[3]
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.[4]
B.     Dasar Hukum Khitbah dan Hak Mahar
Firman Allah dalam Surat Albaqarah : 235- 237, sebagai berikut :
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur žw £`èdrßÏã#uqè? #ŽÅ  HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ   žw yy$uZã_ öä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ   bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9 4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt ÇËÌÐÈ  
Artinya :
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(235).
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.(236).
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.[5]

C.    Makna Ijmali
Allah swt telah menjelaskan hukum meminang perempuan yang sedang dalam masa iddah setelah kematian suaminya dalam firman-Nya yang berarti: Tidak ada kesempitan dan tidak ada dosa atas kalian wahai para laki-laki, dalam memulai keinginan menikah dengan perempuan yang sedang dalam masa iddah, dengan cara memberi isyarat tidak terang-terangan, sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui apa yang kalian sembunyikan dalam diri kalian dari kecondongan terhadap mereka, dan keinginan untuk menikah dengan mereka, dan tidak akan menghukum kalian atas tindakan itu, akan tetapi kalian tidak boleh terang-terangan dengan keinginan ini ketika mereka dalam keadaan iddah, kecuali dengan cara isyarat yang diketahui, dengan syarat tidak akan terjadi hal yang buruk atau melewati batas dalam perkataan, dan jangan ber’azam niat untuk melakukan akad nikah sampai selesai masa iddahnya, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mengetahui atas rahasia-rahasiamu dan isi hatimu dan apa yang kamu cari atasnya.
Kemudian Allah menyebutkan hukum perempuan yang ditalak sebelum ditentukan maharnya dan belum disentuh, maka diangkatlah dosa dari  talak  sebelum “dukhul”, agar orang tidak berprasangka bahwa talak dalam keadaan ini dilarang, dan diperintahkan membayar mut’ah untuk mereka sebagai perbaikan bagi kehormatan mereka, sesuai dengan kadar kemampuan si laki-laki baik kaya maupun miskin, dan menjadikannya salah satu dari perbuatan baik untuk menghilangkan kesedihan karena talak, dan adapun talak yang terjadi sebelum adanya persentuhan dan telah disebutkan maharnya, maka perempuan yang ditalak berhak atas setengah dari mahar yang telah ditentukan, kecuali jika telah dijatuhkan haknya, atau suaminya telah membayarkan mahar seluruhnya, atau walinya yang telah menjatuhkan haknya jika dia masih kecil.
Dan Allah mengakhiri ayat itu dengan peringatan: tanpa melupakan kasih sayang, kemurahan hati, dan kebaikan di antara suami istri, maka jika talak telah terjadi karena sebab-sebab  penting yang memaksa, maka tidak seyogyanya talak ini menjadi pemutus ikatan kekeluargaan dan memutuskan kekerabatan.
D.    Tafsir Ayat Secara Umum
1.       Al Qur’an mrmbolehkan meminang perempuan yang dalam iddah dengan cara sindiran, misalnya dengan ucapan : Engkau ini seorang perempuan yang cantik, engkau seorang perempuan sholehah, engkau ini seorang perempuan yang dermawan dan lain sebagainya.[6]
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari abdur rahman bin Sulaiman dari bibinya (Sukainah binti Hadlalah), ia berkata :
دخل علي أبو جعفر محمد بن علي وأنا فى عدتى , فقال : أنا من علمت قرابتى من رسول الله ص م و حق جدى على وقدمى فى الاسلام. فقلت : غفر الله لك يا أبا جعفر, أتخطبنى فى عدتى وانت يؤجذ عنك ؟ فقا ل : أوقد فعلت ؟ أنا أخبرتك بقرا بتى من رسول الله ص م وموضعى , دخل رسول الله ص م على أم سلامة حين توفى عنها زوجها (أبو سلامة) فلم يزل رسول الله ص م يذكر لها منزلته من الله , وهو متحامل على يده حتى أثر الحصير فى يده فما كانت تلك خطبة.
“Abu Ja’far, Muhammad bin Ali pernah masuk ke rumahku, disaat aku masih dalam ‘iddah, lalu ia berkata : Aku ingin orang yang engkau tahu betul akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan hak nenekku Ali serta jejakku dalam Islam, lalu aku berkata : Semoga Allah mengampuni, hai Abu Ja’far, apakah engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam iddah dan apakah engkau mau disiksa ? Abu Ja’far menjawab : Apa aku sudah berbuat ? aku kan hanya memberitahumu akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW serta kedudukanku (dalam keluarga ). Bukankah Rasulullah juga pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika Abu Salamah meninggal dunia, dan Rasulullah SAW sendiri terus menerus menyebut- nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah, sedangkan dia bertanggung jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat pada dirinya, namun yang demikian itu tidak dinamakan meminang.”[7]
2.      Zamakhsyari berkata : “rahasia” yang dimaksud dalam ayat diatas, adalah kinayah dari nikah yang nikah itu sendiri asal artinya ialah: bercampur. Dan dia itulah yang dirahasiakan (dalam perkawinan) itu. Seperti kata al A-‘sya:
ولا تقربن من جارة أن سرها
عليك حرام فانكحوا أو تاء بدا
“Janganlah engkau mendekat seorang gadis Sesungguhnya rahasianya itu haram atasmu Kawinlah dia atau engkau sama sekali menjauh”
Kemudian kata ini dipergunakan untuk arti “kawin” yang berarti ‘aqad, karena ‘aqad itu suatu “sebab” terjadinya perkawinan. [8]
3.      Penyebab kata “azam” dalam ayat itu adalah lilmubalaghah larangan yang sangat keras untuk mengadakan perkawinan dalam ‘iddah, karena azam untuk perbuatan tersebut adalah merupakan muqaddimahnya. Kalau azam saja sudah dilarang, maka mengerjakan lebih dilarang.
4.      Allah mempergunakan kata “menyentuh” untuk arti bercampur, adalah suatu kinayah yang halus yang biasa digunakan dalam Al Qur’an.
Abu Muslim berkata : Kinayah yang dipergunakan Allah SWT untuk bercampur dengan menyentuh itu, sebagai didikan buat manusia agar dalam percakapannya sehari- hari selalu memilih kata- kata yang baik.[9]
5.      Khitbah dalam firman Allah:”Bahwa memaafkan itu jalan terdekat kepada taqwa” dan “jangan kamu lupakan kelebihan antara kamu” itu tertuju untuk pria dan wanita, yang disampaikan dengan mengambil cara “pada umumnya”.
Ar Razi berkata: Apabila pria dan wanita itu hendak disebut secara bersamaan, maka pada umumnya cukup dengan menyebutkan yang pria. Sebab, pria itulah yang pokok, sedang wanita adalah cabang. Misalnya anda mengatakan  فائم (laki- laki berdiri), kemudian anda hendak menyebut juga wanita, maka anda mengatakan قائمة (wanita berdiri).
6.      Hikmah wajibnya mut’ah kepada istri yang ditalak untuk menghiangkan perasaan keganasan talak dan mengurangi kejahatan harta terhadap dirinya.[10]
Ibnu Abbas berkata : Apabila si laki- laki (suami) itu orang yang kaya, maka mut’ahnya berupa khadam (pelayan) dan apabila miskin, mut’ahnya berupa tiga helai baju.
7.      Diriwayatkan, bahwa Al Hasan bin Ali pernah memberikan mut’ah sebanyak 10.000, lalu perempuan itu berkata : “Mut’ah ini terlalu kecil, dari seorang habib (kekasih) yang menceraikan”. Adapun sebab dicerainya istrinya ‘Aisyah al Khats’amiyah itu ialah: bahwa ketika Ali terbunuh dan Al Hasan dibaiat sebagai Khalifah, Aisyah mengatakan : Rupanya kekuasaan Khalifah itu menyenangkan engkau, Ya Amiral Mukminin ! Maka Jawab al Hasan: Ali terbunuh, sedang engkau senang dengan kedudukan ini ? Pergi, engkau kutalak tiga ! begitulah, lalu Aisyah berselimut dengan jilbabnya, dan ia tetap menanti hingga habis masa iddahnya. Lalu oleh al Hasan dikirimnya mut’ah sebanyak 10.000, serta sisa mahar (Yang belum terbayar). Maka komentar Aisyah : Suatu pemberian (mut’ah) yang terlalu kecil dari seorang habib yang menceraikan. “setelah utusan itu menyampaikan hal itu kepada Hasan, maka hasan menangis, seraya berkata : Seandainya aku tidak menjatuhkan talak bain, niscaya kurujuk dia.[11]
E.     Kandungan Hukum
1.       Hukum Meminang [12]
Perempuan. Dalam kedudukan hukum pinangan ini, ada 3 macam :
a)      Perempuan yang boleh dipinang dengan terang- terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan yang masih single dan bukan dalam ‘iddah. Sebab bila ia itu boleh dikawin sudah barang tentu boleh juga dipinang.
b)      Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik dengan terang- terangan maupun dengan sindiran. Yaitu: perempuan yang masih mempunyai suami, sebab meminang perempuan dalam keadaan demikian itu, berarti merusak hubungan suami istri dan hukumnya haram. Begitu pula perempuan yang ditalak raj’i yang masih dalam ‘iddah. Dia itu dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.
c)      Perempuan yang boleh dipinang secara sindiran, tidak boleh dengan terang- terangan. Yaitu, perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah, seperti yang diisyaratkan al Qur’an:”Dan tidak ada dosa atas kamu meminang perempuan itu dengan sindiran”. Termasuk perempuan yang ditalak tiga. Dalil bagi terlarangnya peminangan ini ialah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i:”Dikhususkannya dengan tidak berdosa peminangan secara sindiran itu, menunjukkan bahwa peminangan dengan terang-terangan adalah sebaliknya.” Ini disebut mafhum mukholafah.

2.      Perkawinan dalam Iddah[13]
Allah mengharamkan pernikahan dalam ‘iddah dan mewajibkan perempuan agar menanti, baik dalam iddah talak ataupun iddatul wafat. Ini berdasarkan firman Allah:”Dan jangan kamu berazam untuk mengadakan ‘aqad nikah, sehingga habis masa ‘iddahnya”. Ayat ini menunjukkan haramnya mengadakan aqad perkawinan dalam ‘iddah.
Ulama sepakat bahwa aqadnya itu fasid dan wajib difasakh karena larangan Allah tersebut. Dan apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah tangga, pernikahannya itu harus difasakh, dan perempuan itu haram lagi suaminya untuk selama- lamanya. Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya adalah keputusan Umar. Karena laki- laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak halal, karena itu dia harus dihukum dengan diharamkannya kawin dengan perempuan tersebut. Tak ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya mendapatkan warisan (dari harta si terbunuh).
Tetapi Abu hanifah dan Syafi’i berkata: perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau perempuan itu sudah keluar dari iddahnya, maka laki- laki yang mengawininya tadi dinilai sebagai peminang dan tidak diharamkan untuk kawin dengan perempuan tersebut selamanya.
3.      Hukumnya perempuan yang ditalak sebelum dicampuri[14]
a)      Perempuan yang sudah dicampuri dan sudah ditentukan maharnya. Iddahnya tiga quru’ dan maharnya tidak boleh diambil sedikitpun oleh suaminya. (Al Baqarah: 228-229).
b)      Perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya dan tidak berhak menerima mahar, tetapi berhak mendapatkan mut’ah. (Al Baqarah: 236 dan Al Ahzab: 49).
c)      Perempuan yang belum dicampuri tetapi sudah ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya tetapi mendapatkan separuh mahar. (Al baqarah:237)
d)     Perempuan yang sudah dicampuri tetapi belum ditentukan maharnya. Berhak mendapatkan mahar mitsli. (an Nisa’: 24). Hal ini juga diqiaskan dengan ijma’ para ulama yang menyatakan bahwa perempuan yang sudah dicampuri karena suatu syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar mitsl. Sedang perempuan yang telah dicampuri dengan pernikahan yang sah, adalah lebih berhak, berdasarkan hukum ini.
4.      Hukum mut’ah untuk perempuan yang ditalak[15]
Bagi perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya, jelas wajib mendapatkan mut’ah. Selanjutnya berkaitan dengan apakah mut’ah itu wajib untuk setiap perempuan yang tertalak apa tidak, ada 2 pendapat ulama sebagai berikut :
a)      Hasan Basri berpendapat wajib, berdasarkan keumuman. ( Al Baqarah: 241)
b)      Jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) berpendapat: mut’ah itu wajib bagi perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Adapun bagi perempuan yang sudah ditentukan maharnya, mut’ah itu hukumnya sunat.
5.      Arti mut’ah dan ukurannya[16]
Mut’ah adalah pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik berupa uang, pakaian atau perbekalan apa saja, sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu, serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkan itu. Ukuran mut’ah sebagai berikut :
a)      Imam Malik: Mut’ah tidak ada batasnya, baik minimal dan maksimal.
b)      Syafi’i : bagi yang mampu disunatkan mut’ah itu berupa seorang khadam, sedang orang pertengahan 30 dirham, dan buat yang tidak mampu sekedarnya saja.
c)      Abu hanifah: sedikitnya berupa bajun kurung, kerudung dan tusuk konde dan tidak lebih dari setengah mahar.
d)     Ahmad : mut’ah itu berupa baju kurung dan kerudung yang sekedar cukup dipakai buat sholat dan ini sesuai kemampuan suami.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Namun masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Dasar hukum dari khitbah dan mahar yaitu Firman Allah dala Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 235 237.
Namun dari pembahasan diatas ada beberapa kandungan hukum yang dapat kami simpulkan yaitu:
a.       Perempuan yang boleh dipinang dengan terang- terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan yang masih single dan bukan dalam ‘iddah.
b.      Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik dengan terang- terangan maupun dengan sindiran. Yaitu: perempuan yang masih mempunyai suami.
c.       Perempuan yang boleh dipinang secara sindiran, tidak boleh dengan terang- terangan. Yaitu, perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah
B.     Saran
Demikian makalah ini kami susun, semoga bisa memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah, Untuk itu  sebagai manusia yang tak luput dari khilaf  saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan dari para pembaca demi perbaikan penyusunan yang akan datang.















DAFTAR PUSTAKA

Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan, “Tafsir Ayat Ahkam Ash Shobuni”, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Preada Mnedia Group: Jakarta,cet I. 2006
Hamidi, Muammal dan Imron A. manan, terjemahan Tafsir AYat Ahkam as-Shobuni, Bina Ilmu: Surabaya. Cet I, 1983
Mustofa, Ahmad al-Maroghi,Terjemeah afsir al-Marogh, Toha Putra: Semarang, cet II,1993




[1]  Abu Hafsh usamah bin kamal bin Abdil Razzaq, panduan lengkap NIKAH dari”A” sampai Z” (Jakarta: Dunia Ilmu, 2002) hal. 2
[2]  Ibid..
[3] Abu Hafsh usamah bin kamal bin Abdil Razzaq, panduan lengkap NIKAH dari”A” sampai Z” (Jakarta: Dunia Ilmu, 2002) hal 72
[4] Ibid..
[5] Al-Qur`an Terjemahan Departemen Agama Surat An-nisa’ ayat 3. (Jakarta: Erlangga, 1999), Hal. 51
[6] Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan, “Tafsir Ayat Ahkam Ash Shobuni”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 311
[7] Ahmad al-Maroghi Mustofa, Terjemeah afsir al-Marogh, (Semarang: Toha Putra cet II, 1993), hal. 214
[8] Ibid. Hal. 215
[9]  Ali ash shobuni, op.cit, hal 313

[11] M. Ibrahim Al-Hifnawi, Tafsir Al-Qurtubi Terjemah HR daraquthni, jil. 3, hal. 202
[12] Ali Ash shobuni, op.cit, 314
[13]  Ibid, hal. 314-315
[14]  Ibid, hal. 316
[15] Ibid, 317
[16] Muammad Hamidi dan Imron A. manan, terjemahan Tafsir AYat Ahkam as-Shobuni, (Surabaya: Bina Ilmu, Cet I, 1983), hal 317- 318 

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email