BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang
paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme
hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh
makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini
disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya.
Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang
disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah
berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk
melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).
Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya
stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan
perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu
dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok
yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya
sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan
kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat
terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.[1]
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan
bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan
manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt
menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh
umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di
dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya
adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang
harus dipilih oleh seorang muslim. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan
disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu
memesuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta
kesadaran masing-masing pihak.
Isalam juga sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan
seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya hak untuk menerima
mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri,
bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya.
Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya
sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri.[2]
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Pengertian Khitbah dan Mahar.?
2. Apa
Saja Yang Menjadi Dasar Hukum Khitbah Dan mahar.?
3. Bagaimanakah
Kandungan Hukum Tentang Khitbah dan mahar.?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian Khitbah dan Mahar.
2. Untuk
Mengetahui Dasar Hukum Khitbah Dan mahar.
3. Untuk
Mengetahui Kandungan Hukum Tentang Khitbah dan mahar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam
bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa,
adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah
(pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses
meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata
"khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah),
adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan)
dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara
kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar
mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj
(pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang
mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.[3]
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan
“pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan
budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun
disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal
penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah
tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual
itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum
tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun
wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun masa khitbah
bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk
meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan
sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing
keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk
dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.[4]
B.
Dasar Hukum Khitbah dan Hak Mahar
Firman Allah dalam Surat Albaqarah : 235- 237, sebagai berikut :
Ÿwur yy$oYã_ öNä3ø‹n=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þ’Îû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õ‹tGy™ `Å3»s9ur žw £`èdr߉Ïã#uqè? #…ŽÅ HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ“÷ès? noy‰ø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þ’Îû öNä3Å¡àÿRr& çnrâ‘x‹÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# î‘qàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ žw yy$uZã_ öä3ø‹n=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur ’n?tã ÆìÅ™qçRùQ$# ¼çnâ‘y‰s% ’n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâ‘y‰s% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ô‰s%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ “Ï%©!$# ¾Ínωu‹Î äoy‰ø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3”uqø)G=Ï9 4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ tbqè=yJ÷ès? îŽÅÁt ÇËÌÐÈ
Artinya :
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka)
Perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad
nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(235).
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian)
kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian
itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.(236).
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya,
Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa
yang kamu kerjakan.[5]
C.
Makna Ijmali
Allah swt telah menjelaskan hukum meminang perempuan yang sedang dalam masa
iddah setelah kematian suaminya dalam firman-Nya yang berarti: Tidak ada
kesempitan dan tidak ada dosa atas kalian wahai para laki-laki, dalam memulai
keinginan menikah dengan perempuan yang sedang dalam masa iddah, dengan cara
memberi isyarat tidak terang-terangan, sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui apa
yang kalian sembunyikan dalam diri kalian dari kecondongan terhadap mereka, dan
keinginan untuk menikah dengan mereka, dan tidak akan menghukum kalian atas
tindakan itu, akan tetapi kalian tidak boleh terang-terangan dengan keinginan
ini ketika mereka dalam keadaan iddah, kecuali dengan cara isyarat yang
diketahui, dengan syarat tidak akan terjadi hal yang buruk atau melewati batas
dalam perkataan, dan jangan ber’azam niat untuk melakukan akad nikah sampai
selesai masa iddahnya, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mengetahui atas
rahasia-rahasiamu dan isi hatimu dan apa yang kamu cari atasnya.
Kemudian Allah menyebutkan hukum perempuan yang ditalak sebelum ditentukan
maharnya dan belum disentuh, maka diangkatlah dosa dari talak
sebelum “dukhul”, agar orang tidak berprasangka bahwa talak dalam
keadaan ini dilarang, dan diperintahkan membayar mut’ah untuk mereka sebagai
perbaikan bagi kehormatan mereka, sesuai dengan kadar kemampuan si laki-laki
baik kaya maupun miskin, dan menjadikannya salah satu dari perbuatan baik untuk
menghilangkan kesedihan karena talak, dan adapun talak yang terjadi sebelum
adanya persentuhan dan telah disebutkan maharnya, maka perempuan yang ditalak
berhak atas setengah dari mahar yang telah ditentukan, kecuali jika telah
dijatuhkan haknya, atau suaminya telah membayarkan mahar seluruhnya, atau
walinya yang telah menjatuhkan haknya jika dia masih kecil.
Dan Allah mengakhiri ayat itu dengan peringatan: tanpa melupakan kasih
sayang, kemurahan hati, dan kebaikan di antara suami istri, maka jika talak
telah terjadi karena sebab-sebab penting
yang memaksa, maka tidak seyogyanya talak ini menjadi pemutus ikatan kekeluargaan
dan memutuskan kekerabatan.
D.
Tafsir Ayat
Secara Umum
1.
Al Qur’an mrmbolehkan
meminang perempuan yang dalam iddah dengan cara sindiran, misalnya dengan
ucapan : Engkau ini seorang perempuan yang cantik, engkau seorang perempuan
sholehah, engkau ini seorang perempuan yang dermawan dan lain sebagainya.[6]
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari abdur rahman bin Sulaiman dari bibinya
(Sukainah binti Hadlalah), ia berkata :
دخل علي أبو
جعفر محمد بن علي وأنا فى عدتى , فقال : أنا من علمت قرابتى من رسول الله ص م و حق
جدى على وقدمى فى الاسلام. فقلت : غفر الله لك يا أبا جعفر, أتخطبنى فى عدتى وانت
يؤجذ عنك ؟ فقا ل : أوقد فعلت ؟ أنا أخبرتك بقرا بتى من رسول الله ص م وموضعى ,
دخل رسول الله ص م على أم سلامة حين توفى عنها زوجها (أبو سلامة) فلم يزل رسول
الله ص م يذكر لها منزلته من الله , وهو متحامل على يده حتى أثر الحصير فى يده فما
كانت تلك خطبة.
“Abu Ja’far, Muhammad bin Ali pernah masuk ke rumahku, disaat aku masih
dalam ‘iddah, lalu ia berkata : Aku ingin orang yang engkau tahu betul akan
kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan hak nenekku Ali serta jejakku dalam
Islam, lalu aku berkata : Semoga Allah mengampuni, hai Abu Ja’far, apakah
engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam iddah dan apakah engkau mau
disiksa ? Abu Ja’far menjawab : Apa aku sudah berbuat ? aku kan hanya
memberitahumu akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW serta kedudukanku (dalam
keluarga ). Bukankah Rasulullah juga pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika
Abu Salamah meninggal dunia, dan Rasulullah SAW sendiri terus menerus menyebut-
nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah, sedangkan dia bertanggung
jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat pada dirinya, namun yang
demikian itu tidak dinamakan meminang.”[7]
2.
Zamakhsyari berkata :
“rahasia” yang dimaksud dalam ayat diatas, adalah kinayah dari nikah yang nikah
itu sendiri asal artinya ialah: bercampur. Dan dia itulah yang dirahasiakan
(dalam perkawinan) itu. Seperti kata al A-‘sya:
ولا تقربن من
جارة أن سرها
عليك حرام
فانكحوا أو تاء بدا
“Janganlah
engkau mendekat seorang gadis Sesungguhnya rahasianya itu haram atasmu Kawinlah
dia atau engkau sama sekali menjauh”
Kemudian kata ini dipergunakan untuk arti “kawin” yang berarti ‘aqad,
karena ‘aqad itu suatu “sebab” terjadinya perkawinan. [8]
3.
Penyebab kata “azam” dalam
ayat itu adalah lilmubalaghah larangan yang sangat keras untuk mengadakan
perkawinan dalam ‘iddah, karena azam untuk perbuatan tersebut adalah merupakan
muqaddimahnya. Kalau azam saja sudah dilarang, maka mengerjakan lebih dilarang.
4.
Allah mempergunakan kata
“menyentuh” untuk arti bercampur, adalah suatu kinayah yang halus yang biasa
digunakan dalam Al Qur’an.
Abu Muslim berkata : Kinayah yang dipergunakan Allah SWT untuk bercampur
dengan menyentuh itu, sebagai didikan buat manusia agar dalam percakapannya
sehari- hari selalu memilih kata- kata yang baik.[9]
5. Khitbah dalam firman Allah:”Bahwa memaafkan itu jalan terdekat kepada
taqwa” dan “jangan kamu lupakan kelebihan antara kamu” itu tertuju untuk pria
dan wanita, yang disampaikan dengan mengambil cara “pada umumnya”.
Ar Razi berkata: Apabila pria dan wanita itu hendak disebut secara
bersamaan, maka pada umumnya cukup dengan menyebutkan yang pria. Sebab, pria
itulah yang pokok, sedang wanita adalah cabang. Misalnya anda mengatakan فائم (laki-
laki berdiri), kemudian anda hendak menyebut juga wanita, maka anda mengatakan قائمة (wanita berdiri).
6. Hikmah wajibnya mut’ah kepada istri yang ditalak untuk menghiangkan
perasaan keganasan talak dan mengurangi kejahatan harta terhadap dirinya.[10]
Ibnu Abbas berkata : Apabila si laki- laki (suami) itu orang yang kaya,
maka mut’ahnya berupa khadam (pelayan) dan apabila miskin, mut’ahnya berupa
tiga helai baju.
7. Diriwayatkan, bahwa Al Hasan bin Ali pernah memberikan mut’ah sebanyak
10.000, lalu perempuan itu berkata : “Mut’ah ini terlalu kecil, dari seorang
habib (kekasih) yang menceraikan”. Adapun sebab dicerainya istrinya ‘Aisyah al
Khats’amiyah itu ialah: bahwa ketika Ali terbunuh dan Al Hasan dibaiat sebagai
Khalifah, Aisyah mengatakan : Rupanya kekuasaan Khalifah itu menyenangkan
engkau, Ya Amiral Mukminin ! Maka Jawab al Hasan: Ali terbunuh, sedang engkau
senang dengan kedudukan ini ? Pergi, engkau kutalak tiga ! begitulah, lalu
Aisyah berselimut dengan jilbabnya, dan ia tetap menanti hingga habis masa
iddahnya. Lalu oleh al Hasan dikirimnya mut’ah sebanyak 10.000, serta sisa
mahar (Yang belum terbayar). Maka komentar Aisyah : Suatu pemberian (mut’ah)
yang terlalu kecil dari seorang habib yang menceraikan. “setelah utusan itu
menyampaikan hal itu kepada Hasan, maka hasan menangis, seraya berkata :
Seandainya aku tidak menjatuhkan talak bain, niscaya kurujuk dia.[11]
E.
Kandungan Hukum
Perempuan. Dalam kedudukan hukum pinangan ini, ada 3 macam :
a)
Perempuan yang boleh
dipinang dengan terang- terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan yang
masih single dan bukan dalam ‘iddah. Sebab bila ia itu boleh dikawin sudah
barang tentu boleh juga dipinang.
b)
Perempuan yang tidak boleh
dipinang, baik dengan terang- terangan maupun dengan sindiran. Yaitu: perempuan
yang masih mempunyai suami, sebab meminang perempuan dalam keadaan demikian
itu, berarti merusak hubungan suami istri dan hukumnya haram. Begitu pula
perempuan yang ditalak raj’i yang masih dalam ‘iddah. Dia itu dihukumi sebagai
perempuan yang masih dalam perkawinan.
c)
Perempuan yang boleh
dipinang secara sindiran, tidak boleh dengan terang- terangan. Yaitu, perempuan
yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah, seperti yang diisyaratkan al
Qur’an:”Dan tidak ada dosa atas kamu meminang perempuan itu dengan sindiran”.
Termasuk perempuan yang ditalak tiga. Dalil bagi terlarangnya peminangan ini
ialah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i:”Dikhususkannya dengan tidak berdosa
peminangan secara sindiran itu, menunjukkan bahwa peminangan dengan terang-terangan
adalah sebaliknya.” Ini disebut mafhum mukholafah.
Allah mengharamkan pernikahan dalam ‘iddah dan mewajibkan perempuan agar
menanti, baik dalam iddah talak ataupun iddatul wafat. Ini berdasarkan firman
Allah:”Dan jangan kamu berazam untuk mengadakan ‘aqad nikah, sehingga habis
masa ‘iddahnya”. Ayat ini menunjukkan haramnya mengadakan aqad perkawinan dalam
‘iddah.
Ulama sepakat bahwa aqadnya itu fasid dan wajib difasakh karena larangan
Allah tersebut. Dan apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah tangga,
pernikahannya itu harus difasakh, dan perempuan itu haram lagi suaminya untuk
selama- lamanya. Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya adalah
keputusan Umar. Karena laki- laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak
halal, karena itu dia harus dihukum dengan diharamkannya kawin dengan perempuan
tersebut. Tak ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya
mendapatkan warisan (dari harta si terbunuh).
Tetapi Abu hanifah dan Syafi’i berkata: perkawinannya itu difasakh, tetapi
kalau perempuan itu sudah keluar dari iddahnya, maka laki- laki yang
mengawininya tadi dinilai sebagai peminang dan tidak diharamkan untuk kawin
dengan perempuan tersebut selamanya.
a)
Perempuan yang sudah
dicampuri dan sudah ditentukan maharnya. Iddahnya tiga quru’ dan maharnya tidak
boleh diambil sedikitpun oleh suaminya. (Al Baqarah: 228-229).
b)
Perempuan yang belum
dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya dan tidak
berhak menerima mahar, tetapi berhak mendapatkan mut’ah. (Al Baqarah: 236 dan Al Ahzab: 49).
c)
Perempuan yang belum
dicampuri tetapi sudah ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya tetapi mendapatkan
separuh mahar. (Al baqarah:237)
d)
Perempuan yang sudah
dicampuri tetapi belum ditentukan maharnya. Berhak mendapatkan mahar mitsli.
(an Nisa’: 24). Hal ini juga diqiaskan dengan ijma’ para ulama yang menyatakan
bahwa perempuan yang sudah dicampuri karena suatu syubhat, tetap berhak
mendapatkan mahar mitsl. Sedang perempuan yang telah dicampuri dengan
pernikahan yang sah, adalah lebih berhak, berdasarkan hukum ini.
Bagi perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya, jelas
wajib mendapatkan mut’ah. Selanjutnya berkaitan dengan apakah mut’ah itu wajib
untuk setiap perempuan yang tertalak apa tidak, ada 2 pendapat ulama sebagai
berikut :
a) Hasan Basri berpendapat wajib, berdasarkan keumuman. ( Al Baqarah: 241)
b) Jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) berpendapat: mut’ah itu wajib
bagi perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Adapun bagi
perempuan yang sudah ditentukan maharnya, mut’ah itu hukumnya sunat.
Mut’ah adalah pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan,
baik berupa uang, pakaian atau perbekalan apa saja, sebagai bantuan dan
penghormatan kepada isterinya itu, serta menghindari dari kekejaman talak yang
dijatuhkan itu. Ukuran mut’ah sebagai berikut :
a)
Imam Malik: Mut’ah tidak
ada batasnya, baik minimal dan maksimal.
b)
Syafi’i : bagi yang mampu
disunatkan mut’ah itu berupa seorang khadam, sedang orang pertengahan 30
dirham, dan buat yang tidak mampu sekedarnya saja.
c)
Abu hanifah: sedikitnya
berupa bajun kurung, kerudung dan tusuk konde dan tidak lebih dari setengah
mahar.
d)
Ahmad : mut’ah itu berupa
baju kurung dan kerudung yang sekedar cukup dipakai buat sholat dan ini sesuai
kemampuan suami.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam
bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa,
adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah
(pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses
meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Namun masa khitbah
bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk
meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan
sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing
keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk
dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Dasar hukum dari khitbah dan mahar yaitu Firman
Allah dala Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 235 237.
Namun dari pembahasan diatas ada beberapa kandungan hukum yang dapat kami
simpulkan yaitu:
a. Perempuan yang boleh dipinang dengan terang- terangan dan dengan sindiran,
yaitu perempuan yang masih single dan bukan dalam ‘iddah.
b. Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik dengan terang- terangan maupun
dengan sindiran. Yaitu: perempuan yang masih mempunyai suami.
c. Perempuan yang boleh dipinang secara sindiran, tidak boleh dengan terang-
terangan. Yaitu, perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah
B.
Saran
Demikian
makalah ini kami susun, semoga bisa memberikan manfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya. Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa
kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah, Untuk itu
sebagai manusia yang tak luput dari khilaf
saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan dari para pembaca demi perbaikan penyusunan yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an,
diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan, “Tafsir Ayat Ahkam Ash
Shobuni”, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
Hasan, Abdul Halim, Tafsir al-Ahkam, Preada Mnedia Group:
Jakarta,cet I. 2006
Hamidi, Muammal dan Imron A. manan, terjemahan
Tafsir AYat Ahkam as-Shobuni, Bina Ilmu: Surabaya. Cet I, 1983
Mustofa, Ahmad al-Maroghi,Terjemeah afsir
al-Marogh, Toha Putra: Semarang, cet II,1993
[1] Abu Hafsh
usamah bin kamal bin Abdil Razzaq, panduan lengkap NIKAH dari”A” sampai Z” (Jakarta: Dunia Ilmu, 2002) hal. 2
[3] Abu Hafsh usamah bin kamal bin Abdil Razzaq, panduan
lengkap NIKAH dari”A” sampai Z” (Jakarta: Dunia Ilmu, 2002) hal 72
[6] Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat Ahkam
Minal Qur’an, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan, “Tafsir
Ayat Ahkam Ash Shobuni”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hal. 311
[7] Ahmad
al-Maroghi Mustofa, Terjemeah afsir al-Marogh, (Semarang: Toha Putra cet
II, 1993), hal. 214
[16] Muammad Hamidi dan Imron A. manan, terjemahan Tafsir
AYat Ahkam as-Shobuni, (Surabaya: Bina Ilmu, Cet I, 1983), hal 317- 318
0 comments