BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dunia,
terutama dunia Islam dalam perwujudan ketaqwaannya terhadap Allah SWT dapat
diaplikasikan ke dalam bentuk pemberian wakaf. Wakaf telah dikenal sejak lama
di negara-negara Islam. Di Indonesia yang mayoritas juga adalah umat Islam,
telah mengenal wakaf baik setelah Islam masuk maupun sebelum Islam masuk. Di
tanah jawa, lembaga-lembaga wakaf telah dikenal pada masa Hindu-Buddha yaitu
dengan istilah Sima dan Dharma (berupa sebagian hutan yang diberikan oleh raja
kepada seseorang atau kelompok orang untuk diambil hasilnya) dan lainnya. Akan
tetapi lembaga tersebut tidak persis sama dengan lembaga wakaf dalam hukum
Islam.
Dan
peruntukannya hanya pada bidang tanah hutan saja atau berupa tanah saja. Umumnya,
wakaf yang dikenal pada masa sebelum Islam atau oleh agama-agama lain diluar
Islam hampir sama dengan Islam, yaitu untuk peribadatan. Sebagai contoh adalah
pada masa Raja Ramses II di Mesir untuk pembangunan Kuil Abidus. Dengan kata
lain lambaga wakaf telah dikenal oleh masyarakat pada peradaban yang cukup jauh
dari masa sekarang. Namun tujuan utama dari wakafnya yang berbeda-beda (untuk
mendapat pahala, hanya untuk masyarakat umum, dll).
BAB
IIPEMBAHASAN
A. Pengertian
Wakaf
Secara
etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata
yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan,
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti
tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah
tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Dalam
pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat
bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan
atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak
bertentangan dengan syari’at.
Definisi
wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama,
Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif
dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan
untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut
menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di
tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang
diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta
tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua,
Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang
dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang
yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya
menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga,
Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat
serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan
yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh
syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan
harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak
mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan
(al-Syairazi: 1/575).
Keempat,
Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal
harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185).
Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di
Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan
perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.(Sumber:http://bw-indonesia.net)
B. Dasar
Hukum Wakaf
Secara
umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.
Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para
ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat
al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat
tersebut antara lain:
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Adapun
Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah
Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Artinya : "Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat
Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap
Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah
saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta
sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw.
bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau
sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk
dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar
berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu.
Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya
dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak
bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).
Dalil
Ijma' :
Imam
Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah
disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir,
seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah
maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir
Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan
Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).
Jabir
berkata: Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan
kelapangan rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya. (Lihat: Al-Mughni 8/185,
Al-Zarkasyi 4/269). Ibnu Hubairah berkata: Mereka sepakat atas dibolehkannya
wakaf. (Lihat: Al-Ifshah 2/52).
Imam
Syafii berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi
dari kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam
Syafii menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia.
Imam
Tirmidzi menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan
sahabat Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun
wakaf yang lainnya.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 5/13 setelah hadits no. 1375).
Imam
Al-Baghawy berkata: Wakaf telah diamalkan oleh seluruh ulama, baik dari
generasi sahabat, maupun orang setelah mereka, seperti ulama mutaqaddimin;
mereka tidak berselisih pandangan tentang bolehnya wakaf tanah maupun wakaf
harta-barang bergerak; para sahabat Muhajirin dan Anshar melakukan wakaf, baik
di Madinah maupun di daerah lainnya; tidak ada riwayat satupun dari mereka yang
mengingkari adanya syariat wakaf; bahkan tidak pernah ada dari mereka yang
mencabut kembali wakafnya dengan alasan dirinya masih membutuhkannya.” (Lihat:
Syarh Al-Sunnah 8/288). Imam Ibn Hazm
berkata: Seluruh sahabat Nabi, shadaqah-shadaqah mereka di kota Madinah lebih
masyhur/terkenal daripada matahari, tidak ada seorang pun yang tidak
mengetahuinya.” (Lihat: Al-Muhalla 9/180). (Sumber: Al-Auqaf fii Al-Ashr
Al-Hadits, Kaifa Nuwajihuha lidda’mil Jami’at wa tanmiati mawaridiha Dr. Khalid
ibn Ali ibn Muhammad Al-Musyaiqih)
C. Menjual
Harta Wakaf
Para ulama` imamiyah membagi wakaf
menjadi dua jenis dengan tujuan untuk menentukan hukum dan akibatnya. Dua jenis
tersebut adalah wakaf umum dan wakaf khusus. Wakaf umum adalah wakaf yang
dikehendaki oleh pewakafnya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat umum., misalnya
saja madrasah, rumah sakit, masjid, dan lain-lain. Sedangkan wakaf khusus yaitu
wakaf yang menjadi milik penerimanya, misalnya saja wakaf barang tidak bergerak
untuk keperluan masjid.
Mengenai dua jenis wakaf tersebut,
para ulama sepakat bahwa wakaf umum tidak boleh dijual dan diganti, walaupun
rusak dan hampir roboh. Sedangkan wakaf khusus masih mengalami perbedaan
pendapat sampai ada alasan yang memperbolehkan. Alasan diperbolehkan melakukan
penjualan menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut:
- Apabila
barang wakaf sudah tidak memberikan manfaat sesuai dengan tujuan
perwakafan.
- Apabila
sudah tidak dibutuhkan lagi, tidak ada tempat lain yang sejenis
menggunakannya, ada tempat tetapi tidak membutuhkannya, adanya kemungkinan
menyia-nyiakannya apabila disimpan.
- Benda
wakaf tersebut dalam keadaan rusak, misalnya rumah yang ambruk, atau tanah
yang minim penghasilannya.
- Apabila
pewakaf mensyaratkan kalau suatu saat terjadi sengketa, maka lebih baik
dijual.
- Apabila
terjadi sengketa antara pengurus wakaf yang dikhawatirkan akan menimbulkan
korban jiwa dan harta dan persengkataan tersebut tidak mungkin bisa
selesai kecuali dengan jalan menjualnya.
- Apabila
dimungkinkan dengan menjual barang wakaf yang rusak dapat memperbaiki
bagian lainnya dari hasil penjualan.
- Apabila
masjid ambruk, maka benda yang menyertainya misalnya batu bata, jendela,
pintu, dan lain-lain diperbolehkan dijual.
D. Istibdal
Harta Wakaf
Dalam perjalanan
waktu, bersamaan dengan perkembangan dan
penyebaran Islam ke berbagai tempat dan
komunitas, serta lahirnya masyarakat Islam
yang kosmopolitan, maka wakafpun
mengalami perkembangan yang dinamis, dan
mengundang pemahaman dan pendapat tentang
wakaf dan pengelolaannya yang dinamis juga.
Maka terjadi perbedaan-perbedaan pendapat
di kalangan ulama’ fiqih dalam
menyikapi dinamika wakaf dan hukum-hukum yang
terkait dengan wakaf dan pengelolaannya.
Perbedaan-perbedaan tersebut ada yang sifatnya
substansial dan ada pula yang praktikal.
Sebagai contoh
dari masalah-masalah yang memicu
perbedaan tersebut dapat dikemukakan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Bagaimana
jika ada barang wakaf berupa perkebunan
yang sudah tidak produktif lagi,
karena umurnya sudah tua atau lahannya
menjadi rusak karena terkena banjir, dan
hasil kebun tersebut sudah tidak lagi
dapat memberi manfaat kepada mauquf ‘alaih,
apakah wakaf tersebut dapat ditukar dengan
lahan perkebunan lain yang lebih produktif,
atau dijual dan dibelikan barang wakaf lain
yang dapat memberikan manfaat kepada
mauquf ‘alaih lebih banyak?
2. Bagaimana
jika ada barang wakaf berupa tanah
dan bangunan masjid , kemudian karena
suatu sebab masjid tersebut rusak / roboh,
atau masyarakat sekitarnya meninggalkan
tempat tersebut karena tempat itu tidak
layak lagi sebagai pemukiman dan tidak
ada lagi orang yang melakukan sholat
di situ. Apakah lahan dan bangunan
masjid tersebut dapat ditukar dengan
lahan lain ditempat lain yang berada
di tengah-tengah komunitas muslim yang
memanfaatkannya untuk jama’ah atau untuk
sholat Jum’at ?.
3. Bagaimana
jika ada wakaf berupa ternak, yang
digunakan untuk keperluan jihad fi
sabilillah atau di budidayakan untuk
kesejahteraan masyarakat, kemudian ternak-ternak
tersebut tidak produktif lagi karena
umurnya sudah tua sehingga tidak lagi
memberi manfaat kepada mauquf alaih.
Apakah ternak-ternak tersebut boleh dijual,
dan uang hasil penjualannya dibelikan
ternak baru yang masih produktif dan dapat
memberikan manfaat kepada mauquf ‘alaih.
Masalah
tukar-menukar barang wakaf seperti yang
digambarkan di atas dalam istilah fikih
perwakafan di sebut “Istibdal“, atau
“Ibdal“. Al-Istibdal, diartikan sebagai penjualan
barang wakaf untuk dibelikan barang lain
sebagai wakaf penggantinya. Ada yang
mengartikan, bahwa al-Istibdal adalah
mengeluarkan suatu barang dari status
wakaf, dan menggantikannya dengan
barang lain Al-Ibdal, diartikaan sebagai
penggantian barang wakaf dengan barang
wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya
atau tidak, seperti menukar wakaf
yang berupa tanah pertanian dengan barang
lain yang berupa tanah untuk bangunan. Ada
juga pendapat yang mengartikan sama antara
Al-Istibdal dan Al-Ibdal. 2)
Ulama fikih
berbeda pendapat dalam mensikapi boleh atau
tidaknya istibdal atau Ibdal ini, ada yang
mempersulit ada yang mempermudah, bahkan
ada yang pada dasarnya melarang
istibdal atau ibdal kecuali
dalam situasi pengecualian (ahwal istitsnaiyah)
yang jarang terjadi . Diantara mereka
ada yang memperbolehkannya karena syarat si
wakif, atau karena alasan hasilnya
(dari istibdal ini) menjadi lebih
banyak, atau karena ada situasi darurat.
Pandangan Madzhab Empat Tentang Istibdal
Madzhab.
Ø Hanafiyah
Menurut Madzhab
Hanafiyah, Istibdal barang wakaf itu
hukumnya boleh, karena dua alasan :
1) Karena
ada syarat dari wakif, seperti ketika dia
berikrar wakaf mengatakan : “saya mewakafkan
tanah saya ini dengan syarat sewaktu-waktu
saya atau orang yang mewakili saya dapat
menukarnya dengan tanah lain sebagai
penggantinya“. Syarat wakif ini
sangat menentukan dalam penukaran
wakafnya, baik jenis barang wakafnya,
atau tempatnya. Sebagai contoh, jika
wakif memberi syarat : “Saya ber-ikrar
wakaf “tanah pertanian” ini, dengan syarat
saya atau orang yang mewakili saya
dapat menukar wakaf ini dengan “tanah
pertanian “ lain, atau dengan
bangunan di desa ini sebagai penggantinya“.
Maka dalam pelaksanaan Istibdal, tidak
boleh tanah pertanian wakaf tersebut
diganti dengan “tanah bangunan”.
Juga tidak boleh menukarnya dengan
bangunan yang berada di desa
lain, karena hal itu menyimpang dari
syarat wakif.
2) Karena
keadaan dlarurah atau
karena mashlahah, seperti tanah
wakaf yang tidak dapat
ditanami (sabkhah), dan tidak dapat memberi
hasil dan manfaat apa-apa sehingga “mauquf ‘alaih”
tidak menerima manfaat hasilnya,
atau hasilnya menyusut tidak cukup
untuk biaya perawatan dan
pengelolaannya, maka pemerintah / hakim
boleh menukarnya dengan
tanah atau barang wakaf
lain sebagai penggantinya,
meskipun ada syarat atau tidak ada
syarat dari si wakif.
Demikian pula
halnya apabila wakaf itu berupa rumah
atau toko yang dindingnya sudah
rapuh, dan bangunan itu sudah doyong
hampir roboh, atau sebagian bangunan tersebut
sudah rusak sehingga tidak dapat lagi
diambil manfaatnya, sedangkan wakaf itu tidak
mempunyai dana lain untuk merenovasinya,
dan tidak ada orang yang bersedia
menyewa bangunan wakaf tersebut dalam waktu
yang lama dengan membayar sewanya lebih
dulu, sehingga dapat digunakan untuk
merenovasinya, maka pemerintah/hakim boleh
menukar dengan barang lain sebagai
ganti barang wakaf tersebut.
Ibnu Najim
meriwayatkan, bahwa Imam Muhammad
mengatakan, bahwa apabila tanah wakaf
sudah tidak mampu lagi menghasilkan
keuntungan, sedangkan nazhir dapat memperoleh barang /
tanah lain yang dapat memberikan
hasil yang lebih besar daripada
tanah wakaf tersebut, maka dia boleh
menjualnya dan membeli tanah
yang lebih besar hasilnya,
dengan harga penjualan itu
sebagai wakaf pengganti.
Ø Madzhab
Malikiyah
Madzhab Malikiyah
melarang terjadinya Istibdal dalam dua
hal :
Pertama : Apabila barang
wakaf itu berupa masjid. Dalam hal
melarang Istibdal masjid ini terjadi
kesamaan antara imam-imam madzhab : Imam
Abu Hanifah bin Nu’man, Imam Malik
bin Anas, dan Imam Muhammad bin
Idris As-Syafi’i, kecuali Imam Ahmad
bin Hambal yang membolehkan menukar masjid
dengan tanah lain yang dipakai untuk
membangun masjid.
Kedua : Apabila
barang wakaf itu berupa tanah yang
menghasilkan, maka tidak boleh menjualnya
atau menukarnya, kecuali karena ada
dharurah (darurat), seperti untuk perluasan
masjid, atau untuk jalan umum
yang dibutuhkan masyarakat, atau untuk
kuburan, sebab hal tersebut merupakan
“kemaslahatan umum” (al-mashalih al-‘aammah).
Karena apabila barang wakaf tersebut tidak
dapat ditukar atau dijual untuk memenuhi
kemaslahatan umum tadi, maka masyarakat
akan mengalami kesulitan, padahal mempermudah
ibadah bagi masyarakat, atau lalu lintas
mereka, atau memudahkan mengubur mayat-mayat adalah
suatu hal yang wajib.
Keterangan dari
kitab At-Taaj wal Iklil, yang dikutip
oleh Abu Zahroh, mengatakan “Tidak dilarang
menjual rumah yang diwakafkan atau barang lainnya,
dan pemerintah (as-Sulthan) boleh memaksa penduduk
untuk menjualnya, apabila memang
diperlukan untuk keperluan masjidnya (yang
digunakan untuk sholat Jum’ah), demikian
juga halnya jika dibutuhkan untuk perluasan
jalan ..... “.
Ibnu Rusyd
berpendapat, bahwa apabila tanah
wakaf itu sudah tidak memberikan
hasil, dan tidak mampu membangunnya
kembali atau menyewakannya, maka tidak
dilarang menukarkannya dengan tanah lain
(yang menghasilkan) sebagai penggantinya. Namun
penukaran tersebut harus mendapat persetujuan
pemerintah (al-Qadli) setelah jelas
alasannya, dan harus dicatat dan ada
saksi. Tetapi pendapat yang membolehkan penukaran
(tukar guling) dari tanah wakaf ke
tanah yang lain sebagai penggantinya ini
hanyalah pendapat sebagian ulama
Malikiyah bukan keseluruhannya.
Al-Khorsyi, Abu
Abdullah Muhammad, dalam Syarkh Al-Khorsyi
‘Ala Mukhtashar Kholil, mengatakan : “Sudah
dikatakan, bahwa wakaf tanah tidak boleh
ditukar atau dijual kecuali untuk
tujuan perluasan masjid. Maksudnya
apabila ada masjid yang
sudah tidak dapat jama’ah,
sedangkan di samping masjid tersebut
terdapat tanah wakaf atau tanah
milik, maka boleh menjual tanah wakaf
itu untuk perluasan masjid Apabila
orang yang berwakaf atau pemilik
tanah menolak menjual tanahnya, maka
pemerintah dapat memaksanya, dan
menjadikan uang hasil penjualan itu
dibelikan tanah lain sebagai
wakaf pengganti. Seperti halnya untuk
tujuan perluasan mesjid, juga untuk
tujuan perluasan jalan yang
digunakan lalulintas umum/ masyarakat dan untuk
kuburan kaum muslimin......”
Adapun Istibdal
barang wakaf yang bergerak (
waqfu al-manqul ) menurut madzhab
Malikiyah hukumnya boleh, sebab
kalau Istibdal dalam hal
ini (waqfu al-manqul) dilarang,
dapat menimbulkan kerusakan.
Karena itu mereka menetapkan
bahwa apabila wakaf itu berupa hewan
yang sudah tidak berdaya, lemah atau
sakit-sakitan, atau pakaian yang lapuk,
maka boleh dijual dan dari
hasil penjualan itu dibelikan barang
lain sebagai penggantinya. Diriwayatkan
dari Imam Malik, bahwa ia menga-takan
: “Hewan wakaf untuk sabilillah
yang sudah tidak berdaya / lemah, sehingga
tidak kuat lagi untuk perang, maka di
jual saja, dan dari hasil
penjualannya itu dibelikan kuda yang
bisa memberi manfaat”.
Ø Madzhab
Syafi’iyah
Madzhab Syafi’iyah tidak
jauh berbeda pendapatnya dengan madzhab
Malikiyah, yakni bersikap mempersempit / mempersulit terhadap
bolehnya Istibdal, demi menjaga kelestarian barang
wakaf, apalagi banyak kasus-kasus Istibdal
di Mesir pada masa Imam
As-Syafi’i berada di sana yang
disalah gunakan oleh sementera penguasa
(Amir) dan pejabat hukum ( Qadli ) seperti
yang diceritakan Abu Zahrah di muka.
Qadri Phasya
mengutip keterangan dati kitab “Asnal
Mathalib“ tentang pendapat madzhab
Syafi’iyah dalam Istibdal wakaf ini sebagai
berikut : “Seandainya barang wakaf
itu sudah tidak dapat memberi
manfaat, seperti pohon yang daunnya
sudah mengering, atau roboh tertiup angin
dan sudah tidak dapat ditegakkan
kembali, maka status wakafnya tetap
berlaku karena barang tersebut masih
ada wujudnya, jadi tetap tidak
boleh dijual, tidak boleh dihibahkan
atau diwaris, karena alasan makna
hadis ( tentang prinsip wakaf) ......
Apabila barang wakaf tersebut
sudah betul-betul tidak dapat
memberi manfaat kecuali dikonsumsi,
seperti dibakar untuk memasak, maka
dapat diberikan kepada mauquf ‘alaih untuk
dikonsumsi, tetapi tidak boleh dijual,
atau dihibahkan atau diwaris.
Dikalangan ulama
Syafi’iyah ada juga perbedaan pendapat
tentang wakaf tanah / pekarangan yang sama
sekali sudah tidak memberi manfaat,
sebagian membolehkan dilakukan istibdal dan
sebagian melarangnya. Dalam kitab
“Al-Muhadzab“, dikatakan bahwa : ”Apabila
seseorang mewakafkan kebun kurmanya kemudian
kebun itu kering, atau mewakafkan ternak
kemudian sakit-sakitan karena umurnya,
atau batang korma untuk tiang
masjid kemudian lapuk, maka ada dua
pendapat :
Tidak boleh
menjualnya, seperti yang sudah diterangkan
masalah masjid. Boleh menjualnya, karena
barang tersebut sudah tidak dapat
diharapkan manfaatnya, maka menjualnya itu lebih
baik daripada membiarkannya rusak tanpa ada
gunanya, hal itu berbeda dengan masjid
yang masih dapat digunakan melakukan sholat
disitu meskipun dalam keadaan rusak.
Apabila barang-barang wakaf tersebut dijual
, maka hasil penjualnya dibelikan barang
penggantinya.
Masalah barang-barang
yang dihibahkan (bukan diwakafkan) untuk masjid,
seperti tikar dan alat-alat lainnya
yang sudah hilang keindahannya atau kemanfaatannya,
boleh dijual kalau ada keperluan.
Madzhab Syafi’iyah melarang menjual masjid secara mutlak, meskipun masjid itu sudah roboh, atau sudah tidak ditempati untuk ibadah, karena penduduk sekitarnya sudah pindah tempat semuanya atau meninggal semuanya (seperti yang terjadi waktu ada bencana tsunami di Aceh), demikian juga tanah masjid yang sudah tidak ada bangunannya tinggal puing-puing saja, tetap dilarang menjualnya atau menukarnya.
Madzhab Syafi’iyah melarang menjual masjid secara mutlak, meskipun masjid itu sudah roboh, atau sudah tidak ditempati untuk ibadah, karena penduduk sekitarnya sudah pindah tempat semuanya atau meninggal semuanya (seperti yang terjadi waktu ada bencana tsunami di Aceh), demikian juga tanah masjid yang sudah tidak ada bangunannya tinggal puing-puing saja, tetap dilarang menjualnya atau menukarnya.
Ø Madzhab
Hanabilah
Madzhab Hanabilah (Hambali)
dipandang sebagai madzhab yang banyak
memberikan kelonggaran dan kemudahan
terhadap Istibdal wakaf, meskipun
pada dasarnya tidak berbeda jauh dari tiga
madzhab yang lain (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah),
yaitu sedapat mungkin mempertahankan
(istibqa’) keberadaan barang wakaf tetap
seperti semula, mengikuti prinsip dasar
wakaf yakni “habsul ashli “.
Namun apabila terjadi perubahan kondisi
barang wakaf itu seperti hilangnya kedayagunaan
dan kemanfaatannya, atau ada situasi
darurat yang menimpa barang wakaf,
seperti diperlukan untuk perluasan masjid
atau pelebaran jalan, maka sikap
madzhab-madzhab tersebut berbeda satu
sama lain, dan madzhab Hanabilah
dipandang sebagai madzhab yang paling
banyak memberi kemudahan, terutama
dalam melakukan penukaran dan penjualan
barang wakaf, dan pada khususnya
masalah penukaran dan penjualan
masjid serta barang-barang yang berkaitan
dengan masjid.
Al-Murdawiy dalam
Al-Inshaf mengatakan : “Tidak boleh
menjual barang wakaf kecuali apabila tidak
ada lagi manfaatnya, maka boleh dijual
dan harga penjualannya dibelikan gantinya.
Demikian juga halnya kuda wakaf yang
sudah tidak layak lagi untuk perang,
maka boleh dijual dan dibelikan
kuda lain yang layak digunakan
jihad, Demikian juga masjid yang
sudah tidak memberikan manfaat
dapat dipindahkan ke tempat lain demi untuk
kemaslahatan, atau menjualnya untuk digunakan
membangun masjid baru. Tapi pada
dasarnya, masjid itu tidak boleh dijual
kecuali kalau ada darurat yang dihadapi,
tetapi alat-alat masjid dapat dipindahkan ke
masjid lain, sedangkan tanah halaman masjid
(‘arshatul masjid) yang tidak ada
bangunannya boleh dijual.
Abu Zahrah
mengatakan, bahwa pendapat madzhab Hanabilah
khususnya yang mengenai penjualan masjid
ini sudah “tasaahul“ (terlalu mempermudah). Madzhab
ini membolehkan menjual mesjid apabila
sudah tidak dapat memenuhi maksud pewakafannya,
seperti tidak dapat menampung jama’ahnya
dan tidak dapat diperluas lagi, atau ada
bagian masjid yang rusak yang
menyebabkan masjid tidak dapat
dimanfaatkan, atau ada kerusakan bangunan di
kawasan dimana masjid tersebut
berada, sehingga masjid tidak dapat
digunakan dan tidak manfaat lagi.
Maka dalam kondisi seperti itu masjid
boleh dijual, dan hasil penjualannya
digunakan untuk membangun masjid lagi 13)
Di antara empat
madzhab tersebut, disamping ada
perbedaan-perbedaannya, juga ada persamaan-persamaannya,
antara lain :
1) Sedapat
mungkin barang wakaf harus dijaga
kelestariannya dan dilindungi keberadaannya .
2) Penukaran
atau penjualan barang wakaf hanya
dibolehkan apabila ada alasan darurat atau
untuk mempertahankan manfaatnya .
3) Penukaran
(al-Istibdal) maupun penjualan ( al-bai’ ) barang
wakaf harus dilakukan oleh pemerintah
(qadli atau hakim), paling tidak seizin
pemerintah.
4) Hasil
penukaran maupun penjualan barang
wakaf harus diwujudkan menjadi barang
wakaf penggantinya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara
etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata
yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan,
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti
tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah
tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Dalam
pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat
bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan
atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak
bertentangan dengan syari’at.
Oleh
karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama
dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran
yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut
antara lain:
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Para ulama` imamiyah membagi wakaf
menjadi dua jenis dengan tujuan untuk menentukan hukum dan akibatnya. Dua jenis
tersebut adalah wakaf umum dan wakaf khusus. Wakaf umum adalah wakaf yang
dikehendaki oleh pewakafnya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat umum., misalnya saja
madrasah, rumah sakit, masjid, dan lain-lain. Sedangkan wakaf khusus yaitu
wakaf yang menjadi milik penerimanya, misalnya saja wakaf barang tidak bergerak
untuk keperluan masjid.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini maka
sepatut nya kita semua dapat mengambil faedah yang ada dalam makalah ini baik
yang tersurat maupun yang tersuran agar sudikiranya kita terapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Amin..
Kami mengucapkan banyak terima
khususnya kepada pembimbing mata kuliah Tafsi Ahkam, yang telah begitu banya
membantu terselesainya makalah ini dan juga ucapan terima kasih kami kepada
semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, 2005, Muhadlaraat Fi
al-Waqf : 150.
Al-Jamal, Ahmad Muhammad
Abdul’azhim, 2007. Al-Waqfu al-Islamiy : 47
Adijani
Al-Alibij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada)
Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab Edisi Lengkap (Jakarta : Lentera,
1996)
Hadis diriwayatkan Al-Bukhori dan
Muslim , dari sumber sanad Abdullah bin Umar
Qadri Phasa, Muhammad , 2006 . Qanun
al-‘ Adl wa al-Inshaf : 282 – 283. A
0 comments