BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dunia, terutama dunia Islam dalam perwujudan ketaqwaannya terhadap Allah SWT dapat diaplikasikan ke dalam bentuk pemberian wakaf. Wakaf telah dikenal sejak lama di negara-negara Islam. Di Indonesia yang mayoritas juga adalah umat Islam, telah mengenal wakaf baik setelah Islam masuk maupun sebelum Islam masuk. Di tanah jawa, lembaga-lembaga wakaf telah dikenal pada masa Hindu-Buddha yaitu dengan istilah Sima dan Dharma (berupa sebagian hutan yang diberikan oleh raja kepada seseorang atau kelompok orang untuk diambil hasilnya) dan lainnya. Akan tetapi lembaga tersebut tidak persis sama dengan lembaga wakaf dalam hukum Islam.
Dan peruntukannya hanya pada bidang tanah hutan saja atau berupa tanah saja. Umumnya, wakaf yang dikenal pada masa sebelum Islam atau oleh agama-agama lain diluar Islam hampir sama dengan Islam, yaitu untuk peribadatan. Sebagai contoh adalah pada masa Raja Ramses II di Mesir untuk pembangunan Kuil Abidus. Dengan kata lain lambaga wakaf telah dikenal oleh masyarakat pada peradaban yang cukup jauh dari masa sekarang. Namun tujuan utama dari wakafnya yang berbeda-beda (untuk mendapat pahala, hanya untuk masyarakat umum, dll).


BAB IIPEMBAHASAN
A.    Pengertian Wakaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut:
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.(Sumber:http://bw-indonesia.net)
B.     Dasar Hukum Wakaf
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di Khaibar.
Artinya : "Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).
Dalil Ijma' :
Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).
Jabir berkata: Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan kelapangan rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya. (Lihat: Al-Mughni 8/185, Al-Zarkasyi 4/269). Ibnu Hubairah berkata: Mereka sepakat atas dibolehkannya wakaf. (Lihat: Al-Ifshah 2/52).
Imam Syafii berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam Syafii menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia.
Imam Tirmidzi menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan sahabat Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun wakaf yang lainnya.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 5/13 setelah hadits no. 1375).
Imam Al-Baghawy berkata: Wakaf telah diamalkan oleh seluruh ulama, baik dari generasi sahabat, maupun orang setelah mereka, seperti ulama mutaqaddimin; mereka tidak berselisih pandangan tentang bolehnya wakaf tanah maupun wakaf harta-barang bergerak; para sahabat Muhajirin dan Anshar melakukan wakaf, baik di Madinah maupun di daerah lainnya; tidak ada riwayat satupun dari mereka yang mengingkari adanya syariat wakaf; bahkan tidak pernah ada dari mereka yang mencabut kembali wakafnya dengan alasan dirinya masih membutuhkannya.” (Lihat: Syarh Al-Sunnah 8/288).  Imam Ibn Hazm berkata: Seluruh sahabat Nabi, shadaqah-shadaqah mereka di kota Madinah lebih masyhur/terkenal daripada matahari, tidak ada seorang pun yang tidak mengetahuinya.” (Lihat: Al-Muhalla 9/180). (Sumber: Al-Auqaf fii Al-Ashr Al-Hadits, Kaifa Nuwajihuha lidda’mil Jami’at wa tanmiati mawaridiha Dr. Khalid ibn Ali ibn Muhammad Al-Musyaiqih)
C.    Menjual Harta Wakaf
Para ulama` imamiyah membagi wakaf menjadi dua jenis dengan tujuan untuk menentukan hukum dan akibatnya. Dua jenis tersebut adalah wakaf umum dan wakaf khusus. Wakaf umum adalah wakaf yang dikehendaki oleh pewakafnya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat umum., misalnya saja madrasah, rumah sakit, masjid, dan lain-lain. Sedangkan wakaf khusus yaitu wakaf yang menjadi milik penerimanya, misalnya saja wakaf barang tidak bergerak untuk keperluan masjid.
Mengenai dua jenis wakaf tersebut, para ulama sepakat bahwa wakaf umum tidak boleh dijual dan diganti, walaupun rusak dan hampir roboh. Sedangkan wakaf khusus masih mengalami perbedaan pendapat sampai ada alasan yang memperbolehkan. Alasan diperbolehkan melakukan penjualan menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut:
  1. Apabila barang wakaf sudah tidak memberikan manfaat sesuai dengan tujuan perwakafan.
  2. Apabila sudah tidak dibutuhkan lagi, tidak ada tempat lain yang sejenis menggunakannya, ada tempat tetapi tidak membutuhkannya, adanya kemungkinan menyia-nyiakannya apabila disimpan.
  3. Benda wakaf tersebut dalam keadaan rusak, misalnya rumah yang ambruk, atau tanah yang minim penghasilannya.
  4. Apabila pewakaf mensyaratkan kalau suatu saat terjadi sengketa, maka lebih baik dijual.
  5. Apabila terjadi sengketa antara pengurus wakaf yang dikhawatirkan akan menimbulkan korban jiwa dan harta dan persengkataan tersebut tidak mungkin bisa selesai kecuali dengan jalan menjualnya.
  6. Apabila dimungkinkan dengan menjual barang wakaf yang rusak dapat memperbaiki bagian lainnya dari hasil penjualan.
  7. Apabila masjid ambruk, maka benda yang menyertainya misalnya batu bata, jendela, pintu, dan lain-lain diperbolehkan dijual.

D.    Istibdal Harta Wakaf
Dalam  perjalanan  waktu,  bersamaan  dengan  perkembangan  dan  penyebaran  Islam  ke berbagai   tempat  dan  komunitas,  serta  lahirnya  masyarakat  Islam  yang   kosmopolitan,    maka  wakafpun  mengalami  perkembangan  yang  dinamis,  dan  mengundang  pemahaman  dan  pendapat  tentang  wakaf  dan  pengelolaannya  yang  dinamis  juga.  Maka  terjadi perbedaan-perbedaan   pendapat   di  kalangan   ulama’   fiqih   dalam  menyikapi  dinamika  wakaf  dan  hukum-hukum yang  terkait  dengan  wakaf  dan  pengelolaannya.  Perbedaan-perbedaan tersebut  ada  yang  sifatnya  substansial  dan  ada  pula  yang  praktikal.
Sebagai   contoh  dari  masalah-masalah   yang  memicu  perbedaan   tersebut   dapat  dikemukakan  beberapa  hal sebagai  berikut  :
1.      Bagaimana  jika  ada  barang  wakaf  berupa  perkebunan  yang  sudah  tidak  produktif   lagi,  karena  umurnya  sudah  tua atau  lahannya  menjadi  rusak  karena  terkena  banjir,  dan  hasil  kebun  tersebut  sudah  tidak  lagi  dapat  memberi  manfaat kepada  mauquf  ‘alaih,  apakah  wakaf  tersebut  dapat  ditukar  dengan  lahan  perkebunan  lain  yang  lebih  produktif,  atau  dijual  dan  dibelikan  barang  wakaf  lain yang  dapat   memberikan  manfaat  kepada  mauquf  ‘alaih  lebih  banyak?
2.      Bagaimana   jika  ada  barang  wakaf  berupa  tanah  dan  bangunan  masjid ,  kemudian   karena  suatu  sebab  masjid   tersebut  rusak / roboh,  atau  masyarakat   sekitarnya  meninggalkan  tempat   tersebut  karena  tempat  itu  tidak  layak  lagi  sebagai  pemukiman  dan  tidak  ada  lagi  orang  yang  melakukan  sholat  di  situ.  Apakah  lahan   dan  bangunan  masjid   tersebut  dapat  ditukar  dengan  lahan  lain  ditempat  lain  yang   berada  di  tengah-tengah  komunitas  muslim   yang  memanfaatkannya  untuk  jama’ah  atau  untuk  sholat  Jum’at  ?.
3.      Bagaimana  jika  ada  wakaf  berupa  ternak,  yang  digunakan  untuk  keperluan  jihad  fi  sabilillah  atau  di  budidayakan  untuk  kesejahteraan   masyarakat, kemudian  ternak-ternak  tersebut  tidak  produktif  lagi  karena  umurnya  sudah  tua  sehingga  tidak  lagi  memberi  manfaat   kepada   mauquf alaih.  Apakah  ternak-ternak  tersebut  boleh  dijual,  dan  uang  hasil  penjualannya  dibelikan  ternak  baru yang  masih  produktif  dan  dapat  memberikan  manfaat  kepada  mauquf  ‘alaih.
Masalah   tukar-menukar  barang  wakaf   seperti  yang  digambarkan  di  atas  dalam  istilah  fikih  perwakafan  di  sebut  “Istibdal“,  atau  “Ibdal“.  Al-Istibdal, diartikan  sebagai  penjualan  barang  wakaf  untuk  dibelikan  barang  lain  sebagai   wakaf  penggantinya.   Ada  yang  mengartikan,  bahwa  al-Istibdal   adalah   mengeluarkan   suatu  barang  dari  status   wakaf,  dan  menggantikannya   dengan  barang   lain Al-Ibdal, diartikaan  sebagai  penggantian  barang  wakaf  dengan  barang  wakaf  lainnya, baik  yang  sama  kegunaannya  atau   tidak,  seperti  menukar  wakaf   yang  berupa  tanah pertanian  dengan  barang  lain  yang  berupa  tanah  untuk  bangunan. Ada  juga  pendapat  yang  mengartikan  sama  antara  Al-Istibdal  dan  Al-Ibdal. 2)
Ulama  fikih  berbeda  pendapat  dalam  mensikapi  boleh  atau  tidaknya  istibdal  atau Ibdal  ini,  ada  yang  mempersulit  ada  yang  mempermudah,  bahkan  ada  yang  pada  dasarnya melarang   istibdal   atau   ibdal   kecuali   dalam  situasi   pengecualian  (ahwal  istitsnaiyah) yang   jarang  terjadi .   Diantara  mereka  ada  yang  memperbolehkannya  karena  syarat   si wakif,  atau  karena   alasan   hasilnya  (dari  istibdal  ini)  menjadi  lebih  banyak,   atau  karena  ada  situasi  darurat.
Pandangan Madzhab Empat Tentang Istibdal Madzhab.
Ø  Hanafiyah
Menurut  Madzhab  Hanafiyah,  Istibdal  barang  wakaf   itu  hukumnya  boleh,  karena  dua alasan  :     
1)      Karena  ada  syarat  dari  wakif,  seperti  ketika  dia berikrar  wakaf  mengatakan :  “saya  mewakafkan  tanah  saya  ini  dengan  syarat  sewaktu-waktu  saya  atau  orang yang  mewakili  saya  dapat  menukarnya  dengan  tanah  lain  sebagai  penggantinya“.  Syarat   wakif   ini  sangat   menentukan  dalam   penukaran   wakafnya,  baik   jenis  barang  wakafnya,  atau  tempatnya.  Sebagai  contoh,   jika  wakif  memberi  syarat  :  “Saya  ber-ikrar  wakaf  “tanah  pertanian”  ini,  dengan  syarat  saya  atau  orang  yang  mewakili  saya   dapat   menukar  wakaf  ini  dengan  “tanah  pertanian “ lain,   atau   dengan   bangunan  di  desa  ini  sebagai  penggantinya“.  Maka  dalam  pelaksanaan  Istibdal,  tidak  boleh  tanah  pertanian  wakaf  tersebut  diganti  dengan   “tanah  bangunan”.   Juga   tidak  boleh  menukarnya  dengan  bangunan   yang  berada  di  desa  lain,   karena  hal  itu  menyimpang  dari syarat  wakif.
2)      Karena   keadaan    dlarurah   atau   karena   mashlahah,   seperti   tanah   wakaf   yang   tidak   dapat   ditanami   (sabkhah), dan tidak  dapat  memberi  hasil  dan  manfaat  apa-apa sehingga  “mauquf  ‘alaih” tidak   menerima   manfaat   hasilnya,  atau  hasilnya   menyusut   tidak  cukup  untuk  biaya   perawatan   dan   pengelolaannya,   maka   pemerintah / hakim  boleh    menukarnya   dengan   tanah   atau   barang    wakaf   lain    sebagai    penggantinya,  meskipun   ada  syarat  atau  tidak ada  syarat  dari   si wakif.   
Demikian  pula  halnya  apabila  wakaf  itu  berupa  rumah  atau  toko  yang  dindingnya  sudah   rapuh,  dan  bangunan  itu  sudah  doyong  hampir  roboh,  atau  sebagian  bangunan tersebut  sudah  rusak  sehingga  tidak  dapat  lagi  diambil  manfaatnya,  sedangkan  wakaf itu  tidak  mempunyai  dana  lain  untuk  merenovasinya,  dan  tidak  ada  orang  yang  bersedia  menyewa  bangunan  wakaf  tersebut  dalam  waktu  yang  lama  dengan  membayar  sewanya  lebih  dulu,  sehingga  dapat  digunakan  untuk  merenovasinya,  maka  pemerintah/hakim  boleh   menukar  dengan  barang  lain  sebagai   ganti  barang  wakaf  tersebut.
Ibnu  Najim  meriwayatkan,  bahwa    Imam  Muhammad   mengatakan,  bahwa   apabila   tanah  wakaf  sudah  tidak   mampu  lagi  menghasilkan  keuntungan, sedangkan  nazhir  dapat  memperoleh  barang / tanah  lain  yang  dapat  memberikan  hasil   yang  lebih  besar  daripada   tanah  wakaf   tersebut,  maka  dia  boleh  menjualnya  dan  membeli   tanah   yang   lebih   besar  hasilnya,  dengan   harga   penjualan   itu   sebagai   wakaf   pengganti.
Ø  Madzhab  Malikiyah
Madzhab  Malikiyah  melarang   terjadinya  Istibdal  dalam  dua  hal  :
Pertama : Apabila  barang  wakaf  itu  berupa  masjid.  Dalam  hal  melarang  Istibdal  masjid  ini  terjadi  kesamaan  antara  imam-imam  madzhab  :  Imam  Abu Hanifah  bin  Nu’man,  Imam   Malik   bin  Anas,  dan  Imam  Muhammad   bin  Idris  As-Syafi’i,  kecuali  Imam   Ahmad   bin  Hambal  yang  membolehkan  menukar  masjid  dengan  tanah  lain   yang  dipakai  untuk  membangun  masjid.
Kedua  : Apabila  barang  wakaf  itu  berupa  tanah  yang  menghasilkan,  maka  tidak  boleh  menjualnya   atau   menukarnya,  kecuali  karena   ada  dharurah   (darurat),  seperti  untuk perluasan   masjid,   atau  untuk  jalan   umum  yang   dibutuhkan  masyarakat,  atau   untuk kuburan,  sebab  hal  tersebut  merupakan   “kemaslahatan  umum”   (al-mashalih  al-‘aammah). Karena  apabila  barang  wakaf  tersebut  tidak  dapat  ditukar atau  dijual  untuk  memenuhi  kemaslahatan  umum  tadi,  maka  masyarakat   akan  mengalami  kesulitan,  padahal  mempermudah  ibadah  bagi  masyarakat,  atau  lalu lintas  mereka,  atau  memudahkan mengubur  mayat-mayat   adalah  suatu  hal  yang  wajib.
Keterangan  dari  kitab  At-Taaj  wal  Iklil,  yang  dikutip  oleh  Abu  Zahroh, mengatakan  “Tidak  dilarang  menjual  rumah  yang  diwakafkan  atau  barang  lainnya, dan pemerintah (as-Sulthan)  boleh  memaksa   penduduk  untuk  menjualnya,  apabila   memang   diperlukan  untuk  keperluan  masjidnya  (yang  digunakan  untuk  sholat  Jum’ah),  demikian   juga halnya  jika  dibutuhkan  untuk  perluasan   jalan ..... “.  
Ibnu  Rusyd   berpendapat,  bahwa  apabila   tanah   wakaf  itu  sudah  tidak   memberikan  hasil,  dan   tidak   mampu  membangunnya  kembali   atau  menyewakannya,  maka  tidak  dilarang  menukarkannya  dengan  tanah  lain  (yang  menghasilkan)  sebagai  penggantinya.  Namun  penukaran  tersebut  harus  mendapat  persetujuan  pemerintah  (al-Qadli)   setelah  jelas  alasannya,  dan  harus   dicatat  dan  ada  saksi. Tetapi  pendapat  yang  membolehkan  penukaran  (tukar  guling)  dari  tanah  wakaf  ke  tanah  yang  lain  sebagai  penggantinya  ini  hanyalah   pendapat  sebagian   ulama  Malikiyah  bukan  keseluruhannya.
Al-Khorsyi,  Abu  Abdullah  Muhammad,  dalam  Syarkh  Al-Khorsyi  ‘Ala  Mukhtashar  Kholil,  mengatakan  :  “Sudah  dikatakan,  bahwa  wakaf  tanah  tidak   boleh   ditukar  atau  dijual   kecuali   untuk  tujuan   perluasan   masjid.   Maksudnya apabila   ada  masjid   yang   sudah   tidak   dapat   jama’ah,  sedangkan  di  samping   masjid   tersebut  terdapat   tanah  wakaf  atau  tanah  milik,  maka  boleh  menjual  tanah  wakaf  itu  untuk  perluasan  masjid  Apabila  orang   yang  berwakaf  atau  pemilik  tanah  menolak   menjual  tanahnya,  maka  pemerintah   dapat   memaksanya,  dan  menjadikan   uang  hasil   penjualan  itu  dibelikan  tanah  lain   sebagai   wakaf   pengganti.  Seperti  halnya  untuk  tujuan  perluasan   mesjid,  juga   untuk  tujuan   perluasan  jalan   yang  digunakan   lalulintas  umum/ masyarakat  dan  untuk  kuburan  kaum  muslimin......” 
Adapun  Istibdal  barang   wakaf   yang   bergerak  ( waqfu  al-manqul )   menurut  madzhab  Malikiyah   hukumnya   boleh,   sebab   kalau   Istibdal   dalam   hal  ini    (waqfu  al-manqul)  dilarang,  dapat   menimbulkan   kerusakan.    Karena   itu   mereka   menetapkan   bahwa  apabila  wakaf  itu  berupa  hewan  yang  sudah  tidak  berdaya,  lemah  atau  sakit-sakitan, atau  pakaian   yang  lapuk,  maka   boleh  dijual   dan  dari   hasil   penjualan   itu  dibelikan  barang  lain  sebagai  penggantinya.   Diriwayatkan   dari  Imam  Malik,  bahwa  ia  menga-takan  :    “Hewan  wakaf  untuk  sabilillah  yang  sudah   tidak  berdaya / lemah,  sehingga  tidak  kuat  lagi  untuk  perang,  maka  di jual  saja,  dan   dari   hasil   penjualannya  itu  dibelikan   kuda  yang  bisa  memberi  manfaat”.
Ø  Madzhab  Syafi’iyah
Madzhab Syafi’iyah  tidak  jauh  berbeda  pendapatnya  dengan  madzhab  Malikiyah, yakni bersikap  mempersempit / mempersulit  terhadap  bolehnya  Istibdal, demi  menjaga  kelestarian   barang   wakaf,  apalagi  banyak   kasus-kasus  Istibdal  di  Mesir   pada   masa  Imam As-Syafi’i   berada  di  sana  yang  disalah  gunakan  oleh  sementera   penguasa  (Amir)  dan pejabat  hukum  ( Qadli )  seperti  yang  diceritakan  Abu  Zahrah  di  muka.
Qadri  Phasya   mengutip  keterangan  dati  kitab  “Asnal  Mathalib“   tentang  pendapat  madzhab  Syafi’iyah  dalam  Istibdal  wakaf  ini  sebagai  berikut  :   “Seandainya  barang  wakaf   itu   sudah   tidak  dapat   memberi  manfaat,   seperti  pohon  yang   daunnya  sudah  mengering,  atau  roboh  tertiup  angin  dan   sudah  tidak   dapat  ditegakkan  kembali, maka  status   wakafnya  tetap  berlaku   karena   barang  tersebut  masih  ada  wujudnya,   jadi  tetap   tidak  boleh  dijual,  tidak  boleh   dihibahkan  atau   diwaris,   karena  alasan  makna  hadis  ( tentang  prinsip  wakaf) ......  Apabila   barang   wakaf   tersebut  sudah   betul-betul  tidak   dapat   memberi   manfaat   kecuali   dikonsumsi,   seperti  dibakar  untuk  memasak,   maka  dapat  diberikan  kepada  mauquf ‘alaih  untuk  dikonsumsi,  tetapi  tidak  boleh  dijual,   atau   dihibahkan  atau  diwaris.  
Dikalangan  ulama  Syafi’iyah  ada  juga  perbedaan  pendapat  tentang  wakaf  tanah / pekarangan  yang  sama  sekali  sudah  tidak  memberi  manfaat,  sebagian  membolehkan  dilakukan  istibdal  dan  sebagian  melarangnya.   Dalam  kitab  “Al-Muhadzab“,  dikatakan  bahwa  :  ”Apabila  seseorang  mewakafkan  kebun  kurmanya  kemudian  kebun  itu  kering, atau   mewakafkan  ternak  kemudian  sakit-sakitan   karena  umurnya,   atau  batang  korma  untuk   tiang  masjid   kemudian  lapuk,  maka  ada  dua  pendapat  :
Tidak  boleh  menjualnya,  seperti  yang  sudah  diterangkan  masalah  masjid. Boleh   menjualnya,  karena   barang   tersebut  sudah   tidak   dapat    diharapkan manfaatnya,  maka  menjualnya  itu  lebih  baik  daripada  membiarkannya  rusak tanpa  ada  gunanya,  hal  itu  berbeda  dengan  masjid  yang  masih  dapat  digunakan  melakukan  sholat  disitu  meskipun  dalam  keadaan  rusak. Apabila   barang-barang  wakaf  tersebut  dijual ,  maka  hasil  penjualnya  dibelikan barang  penggantinya.
Masalah  barang-barang  yang  dihibahkan  (bukan  diwakafkan)  untuk masjid,  seperti  tikar   dan  alat-alat  lainnya  yang  sudah  hilang  keindahannya  atau  kemanfaatannya,  boleh  dijual  kalau  ada  keperluan.
Madzhab   Syafi’iyah   melarang  menjual  masjid   secara  mutlak,  meskipun  masjid  itu  sudah  roboh,  atau  sudah  tidak  ditempati  untuk  ibadah,  karena  penduduk  sekitarnya  sudah  pindah  tempat   semuanya   atau   meninggal  semuanya (seperti  yang  terjadi  waktu  ada  bencana  tsunami di Aceh),  demikian  juga   tanah  masjid  yang  sudah  tidak  ada  bangunannya   tinggal  puing-puing  saja,  tetap  dilarang  menjualnya  atau  menukarnya.
Ø  Madzhab  Hanabilah
Madzhab  Hanabilah  (Hambali)   dipandang   sebagai  madzhab   yang  banyak  memberikan kelonggaran   dan  kemudahan  terhadap   Istibdal  wakaf,   meskipun   pada  dasarnya  tidak berbeda  jauh  dari  tiga  madzhab  yang  lain  (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah), yaitu sedapat   mungkin  mempertahankan   (istibqa’)   keberadaan  barang  wakaf  tetap  seperti semula,  mengikuti   prinsip  dasar  wakaf   yakni  “habsul  ashli “.   Namun   apabila  terjadi perubahan  kondisi  barang  wakaf  itu  seperti  hilangnya  kedayagunaan  dan  kemanfaatannya,  atau  ada   situasi  darurat   yang  menimpa  barang  wakaf,   seperti  diperlukan  untuk  perluasan   masjid  atau  pelebaran  jalan,  maka  sikap  madzhab-madzhab  tersebut  berbeda  satu   sama   lain,  dan  madzhab  Hanabilah  dipandang   sebagai  madzhab  yang  paling banyak   memberi   kemudahan,   terutama  dalam   melakukan  penukaran   dan  penjualan barang  wakaf,  dan  pada  khususnya  masalah   penukaran  dan   penjualan  masjid   serta  barang-barang  yang  berkaitan  dengan  masjid.
Al-Murdawiy  dalam   Al-Inshaf   mengatakan   :  “Tidak  boleh  menjual  barang  wakaf  kecuali  apabila  tidak  ada  lagi  manfaatnya,  maka  boleh  dijual  dan  harga  penjualannya dibelikan  gantinya.  Demikian  juga  halnya  kuda wakaf  yang   sudah  tidak  layak  lagi  untuk  perang,  maka  boleh   dijual   dan  dibelikan  kuda  lain   yang   layak  digunakan   jihad,  Demikian   juga  masjid  yang  sudah   tidak  memberikan   manfaat   dapat   dipindahkan  ke tempat  lain  demi  untuk  kemaslahatan,  atau  menjualnya  untuk  digunakan  membangun  masjid  baru.   Tapi   pada  dasarnya,  masjid  itu  tidak  boleh  dijual  kecuali  kalau  ada  darurat  yang  dihadapi,  tetapi  alat-alat  masjid  dapat  dipindahkan ke  masjid  lain,  sedangkan  tanah  halaman  masjid  (‘arshatul  masjid)  yang  tidak  ada  bangunannya  boleh  dijual.
Abu  Zahrah  mengatakan,  bahwa  pendapat  madzhab  Hanabilah  khususnya  yang  mengenai  penjualan  masjid  ini  sudah  “tasaahul“ (terlalu  mempermudah). Madzhab  ini  membolehkan  menjual  mesjid  apabila  sudah  tidak  dapat  memenuhi  maksud  pewakafannya, seperti   tidak  dapat  menampung  jama’ahnya  dan  tidak  dapat  diperluas  lagi,  atau  ada bagian   masjid  yang  rusak  yang  menyebabkan  masjid   tidak  dapat  dimanfaatkan,  atau ada  kerusakan  bangunan  di  kawasan   dimana  masjid   tersebut  berada,  sehingga  masjid   tidak  dapat  digunakan  dan   tidak  manfaat  lagi.   Maka  dalam  kondisi   seperti   itu masjid  boleh  dijual,  dan  hasil  penjualannya  digunakan  untuk  membangun  masjid  lagi 13)
Di  antara  empat  madzhab  tersebut,  disamping  ada  perbedaan-perbedaannya,  juga ada  persamaan-persamaannya,  antara  lain  :
1)      Sedapat  mungkin  barang  wakaf   harus  dijaga  kelestariannya  dan  dilindungi  keberadaannya .
2)      Penukaran  atau  penjualan  barang  wakaf  hanya  dibolehkan  apabila  ada  alasan darurat  atau  untuk  mempertahankan  manfaatnya .
3)      Penukaran  (al-Istibdal)  maupun  penjualan  ( al-bai’ )  barang  wakaf  harus  dilakukan  oleh  pemerintah  (qadli  atau  hakim),  paling  tidak  seizin  pemerintah.
4)      Hasil   penukaran   maupun  penjualan  barang  wakaf   harus  diwujudkan  menjadi barang   wakaf   penggantinya.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at.
Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Q.S al-Baqarah:267).
Para ulama` imamiyah membagi wakaf menjadi dua jenis dengan tujuan untuk menentukan hukum dan akibatnya. Dua jenis tersebut adalah wakaf umum dan wakaf khusus. Wakaf umum adalah wakaf yang dikehendaki oleh pewakafnya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat umum., misalnya saja madrasah, rumah sakit, masjid, dan lain-lain. Sedangkan wakaf khusus yaitu wakaf yang menjadi milik penerimanya, misalnya saja wakaf barang tidak bergerak untuk keperluan masjid.
B.     Saran
Dengan selesainya makalah ini maka sepatut nya kita semua dapat mengambil faedah yang ada dalam makalah ini baik yang tersurat maupun yang tersuran agar sudikiranya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Amin..
Kami mengucapkan banyak terima khususnya kepada pembimbing mata kuliah Tafsi Ahkam, yang telah begitu banya membantu terselesainya makalah ini dan juga ucapan terima kasih kami kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.



DAFTAR PUSTAKA
Abu  Zahrah, Muhammad, 2005, Muhadlaraat  Fi al-Waqf  :  150.  
Al-Jamal,  Ahmad  Muhammad   Abdul’azhim,  2007.  Al-Waqfu  al-Islamiy  :  47
Adijani Al-Alibij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada)
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab Edisi Lengkap (Jakarta : Lentera, 1996)
Hadis  diriwayatkan  Al-Bukhori  dan  Muslim ,  dari  sumber  sanad  Abdullah  bin Umar
Qadri  Phasa, Muhammad ,  2006 .  Qanun  al-‘ Adl  wa  al-Inshaf  :   282 – 283.   A
                                                                               


0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email