Iman, Islam, dan ihsan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Di antara perbendaharaan kata dalam agama  Islam  ialah  iman, Islam  dan  ihsan.  Berdasarkan  sebuah  hadits yang terkenal, ketiga istilah itu memberi  umat  Islam  (Sunni)  ide  tentang Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup.  Dalam penglihatan  itu  terkesan  adanya semacam kompartementalisasi antara  pengertian  masing-masing  istilah  itu,    seolah-olah setiap  satu  dari  ketiga  noktah  itu  dapat dipahami secara tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu dengan yang lain.
Sudah tentu hakikatnya tidaklah demikian. Setiap pemeluk Islam mengetahui  dengan  pasti  bahwa  Islam (al-Islam) tidak abash tanpa iman (al-iman), dan  iman  tidak  sempurna  tanpa  ihsan (al-ihsan).  Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman juga tidak mungkin  tanpa  inisial  Islam.  Dalam  telaah lebih lanjut oleh para ahli, ternyata pengertian antara ketiga istilah itu terkait satu  dengan  yang  lain,  bahkan  tumpang tindih sehingga setiap satu dari ketiga istilah itu mengandung makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat Islam  dan ihsan,  dalam  Islam  terdapat  iman dan ihsan dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari  sudut  pengertian  inilah  kita melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogi ajaran Ilahi.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini kami membahas tentang antara lain sebagai berikut:
1.      Pengertian
2.      Hadis
3.      Penjelasan hadis (Iman, Islam, dan ihsan)
4.      Hubungan hadis dengan nilai pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN
HADIST TENTANG MATERI PENDIDIKAN:
IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

A.    PENGERTIAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut:
·         Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.
·         Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
·         Melestarikan kebudayaan.
·         Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi laten lembaga pendidikan adalah sebagai berikut:
·         Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
·         Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
·         Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
·         Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.
Menurut David Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut:
·         Transmisi (pemindahan) kebudayaan.
·         Memilih dan mengajarkan peranan sosial.
·         Menjamin integrasi sosial.
·         Sekolah mengajarkan corak kepribadian.
·         Sumber inovasi sosial.[1]
Materi Pembelajaran pada hakekatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari Silabus, yakni perencanaan, prediksi dan proyeksi tentang apa yang akan dilakukan pada saat Kegiatan Pembelajaran. Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar,serta tercapainya indikator.
Kita harus menciptakan kader-kader masa depan yang idealisme agar mampu menciptakan suatu hal yang bisa berguna bagi bangsa dan Negara dan agar juga mampu memperoleh ciri-ciri umum pendidikan Islam  di zaman keemasan, diantara ciri-ciri tersebut yang terpenting pendidikan Islam adalah masuknya ilmu intelektual, berdirinya sekolah-sekolah (tempat menuntut) dan munculnya pemikiran-pemikiran pendidikan yang unik.[2]

B.     HADIS
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا الإِيمَانُ قَالَ الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ، قَالَ: مَا الإِسْلاَمُ قَالَ: الإِسْلاَمُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ، قَالَ: مَا الإِحْسَانُ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ، قَالَ: مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتْ الأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِي خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللَّهُ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
Artinya :
Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Isma’il ibn Ibrahim telah menceritakan kepada kami, Abu Hayyan al-Taimiy dari Abi Zur’ah telah menyampaikan kepada kami dari Abu Hurairah r.a berkata:
Pada suatu hari ketika Nabi saw. sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya, “apakah iman itu?”. Jawab Nabi saw.: “iman adalah percaya Allah swt., para malaikat-Nya, kitab-kitabnya, dan pertemuannya dengan Allah, para Rasul-Nya dan percaya pada hari berbangkit dari kubur. ‘Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “apakah Islam itu? Jawab Nabi saw., “Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi saw., “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, kalau engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu.
Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “apakah hari kiamat itu? “Nabi saw. menjawab: “orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya memberitahukan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung megah. Termasuk lima perkara yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, selanjutnya Nabi saw. membaca ayat: “Sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang mengetahui hari kiamat… (ayat).
Kemudian orang itu pergi. Lalu Nabi saw. bersabda kepada para sahabat: “antarkanlah orang itu. Akan tetapi para sahabat tidak melihat sedikitpun bekas orang itu. Lalu Nabi saw.bersabda: “Itu adalah Malaikat Jibril a.s. yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal).
C.     PENJELASAN HADIS
Hadis di atas mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Namun berkenaan dengan judul kami cuma akan membas tiga saja, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan.
Pernyataan Nabi saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar jika dibangun di ataspondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.
Atas dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah.  Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt.
Berikut ini akan dibahas lebih rinci tentang iman, Islam, ihsan,
1.      IMAN
Pengertian dasar dari istilah “iman” ialah “memberi ketenangan hati;  pembenaran hati”.[3] Jadi makna iman secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati.[4] Iman sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati. Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.
Adapun pengertian iman secara khusus sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas ialah: keyakinan tentang adanya Allah swt., malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, Rasul-rasul utusan-Nya, dan yakin tentang kebenaran adanya hari kebangkitan dari alam kubur. Dalam hadis lain, yang senada dengan hadis di atas yang diriwayatkan oleh Kahmas dan Sulaiman al-Tamimi, selain menyebutkan kelima hal di atas sebagai kriteria iman, terdapat tambahan satu kriteria yaitu: beriman kepada qadha dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.[5]
Berdasarkan kedua redaksi hadis tersebut selanjutnya oleh sebagian besar ulama dirumuskan bahwa jumlah rukun iman adalah enam, yang meliputi:
1)      Keyakinan tentang adanya Allah swt.
2)      Keyakinan terhadap malaikat-malaikat Allah swt.
3)      Keyakinan tentang kebenaran kitab-kitab yang diturunkan-Nya.
4)      Keyakinan tentang kebenaran rasul-rasul utusan-Nya.
5)      Keyakinan tentang kebenaran adanya hari kebangkitan dari alam kubur.
6)      Keyakinan kepada qadha dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.
Iman saja tidaklah cukup, tetapi harus disertai berbagai amal saleh sebagai perwujudan dari keyakinan tersebut. Sekedar kepercayaan menyangkut sesuatu, belum dapat dinamai iman, karena iman menghasilkan ketenangan. Karena itu pula iman berbeda dengan ilmu, karena ilmu tidak jarang menghasilkan keresahan dalam hati pemiliknya, berbeda dengan iman. Meskipun ilmu diibaratkan dengan air telaga, tetapi tidak jarang ia keruh. Tetapi iman ketika diibaratkan dengan air bah dengan gemuruhnya, tetapi ia selalu jernih sehingga menghasilkan ketenangan.
Disamping itu, iman dapat diibaratkan sebagai makanan rohani. Jiwa yang kosong dari iman akan lemah dan hampa sebagaimana jasad yang tidak diberi makan. Dengan demikian, iman merupakan inti kehidupan batin dan sekaligus menjadi penyelamat dari siksa abadi di akhirat Keimanan dipandang sempurna apabila ada pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan sehari-hari, serta keimanan tersebut berpengaruh terhadap pandangan hidup dan cita-cita seseorang.
Dengan demikian, keimanan dalam pengertian al-Qur’an adalah pembenaran tentang keesaan Allah, kebenaran para rasul-Nya, kebenaran akan datangnya hari kemudian, serta kebenaran segala yang disampaikan oleh para rasul-Nya disertai dengan ketaatan penuh tanpa ada tawar menawar terhadap apa yang diyakini kebenarannya. Adapun keimanan kepada qadha dan qadar secara tekstual tidak tercatat dalam ayat di atas, tapi tersebar dalam berbagai ayat dalam surah yang berbeda, dan bahkan dengan arti yang bermacam-macam. Tetapi adapula yang menafsirkan  perkataan “wa ilaika al-mashir” dalam ayat di atas menunjukkan pula arti mengembalikan segala perkara kepada Allah, termasuk masalah takdir.
Keenam pokok keimanan itu yakni: iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat dan qada-qadar-Nya dikenal sebagai arkanul iman (rukun iman) yang menapakan pokok-pokok keimanan. Karna keenam hal tersebut sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai korelasi yang demikian besar, maka bila menafikan salah satu unsur dari keenam itu akan menyebabkan kepincangan dalam iman, dan bahkan pula akan menyebabkan keingkaran kepada Tuhan. Keingkaran kepada hari kiamat umpamanya berarti pula keingkaran kepada Allah – yang sekaligus ingkar kepada rasul yang menyampaikan berita tersebut, termasuk kepada malaikat yang menyampaikan wahyu kepada para rasul, dan peccaya kepada kitab-kitab yang merupakan risalah para rasul itu.
2.      ISLAM
Islam berasal dari akar kata kerja aslama secara harfiyah berarti kepatuhan atau tindakan penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang lain.[6] Islam adalah kepatuhan menjalankan perintah Allah dengan segala keikhlasan dan kesungguhan hati. Hal itu sesuai dengan arti kata Islam, yakni penyerahan. Seorang muslim harus menyerahkan dirinya kepada Allah secara total karena memang manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Islam menurut istilah adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang memiliki sumber pokok al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sebagai petunjuk kepada umat manusia sepanjang masa. (Q.S. 48: 28, dan 5: 3).
Intisari Islam sebagai agama adalah keterikatan dan ketundukan pada Allah swt. yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari manusia dan bersifat gaib yang dapat ditangkap oleh indera tetapi bisa dirasakan dan diyakini akan adanya. Tauhid (pengesaan Allah) merupakan seruan pertama dan terakhir dari Islam. Ia adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (faith in the unity of God). Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang mencipta, memberi hukum, mengatur alam semesta ini. Sebagai konsekuensinya maka hanya Allah pulalah yang satu-satunya yang wajib disembah.
Atas dasar itulah sehingga Rasulullah saw. dalam hadis di atas menjadikan tauhid (penyembahan hanya kepada Allah semata) sebagai pilar utama dalam keislaman seorang, selanjutnya disusul dengan kewajiban-kewajiban yang lain, yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam hadis lain ditambahkan satu kewajiban lagi, yakni menunaikan ibadah haji bagi yang mampu,
Berdasarkan hadis di atas, ditemukan rumusan yang selanjutnya dikenal dengan rukun Islam, yaitu:
1)      Syahadat (persaksaan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad)
2)      Mendirikan salat
3)      Menunakan zakat
4)      Puasa pada bulan Ramadhan
5)      Menunaikan ibadah haji
Islam juga mengatur hubungan manusia dengan alam dan hewan. Manusia haruslah memperlakukan hewan secara wajar. Begitu pula dalam pengeksploitasi alam ia harus mengaturnya sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan dan tercipta lingkungan yang asri dan memberikan kebahagiaan serta kesejahteraan bagi manusia. Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa Islam mengatur segala aspek kehidupan, baik yang berkenaan dengan aqidah (kepercayaan), syariah (ibadah dan muamalah), akhlak (baik kepada al-Khalik maupun kepada makhluk).
Seseorang yang menyandang predikat muslim, harus patuh kepada peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah, hidupnya serasi dengan alam dengan seluruh mahluk, bahkan hidup serasi dengan diri sendiri (dengan fitrah kesucian). Islam sebagai agama mengatur tata cara mengabdi kepada Allah swt. menurut cara yang diridhai-Nya. Ibadah dalam Islam antara lain bertujuan untuk merekatkan dan mendekatkan hubungan antara makhluk dengan al-Khalik, supaya manusia senantiasa mendapat karunia dan ridha-Nya.
Dalam hubungan dengan sesama manusia, Islam pun mengatur sikap hidup dan tingkah laku yang baik, dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Dalam Islam, telah diatur pula hubungan dengan anggota masyarakat yang berbeda agama, bahkan yang tidak beragama sekalipun. Semuanya bertujuan agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis antar sesama manusia.
Untuk lebih jelasnya dari pengertian Islam tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan adanya 3 aspek, yaitu:[7]
a.       Aspek vertikal. Aspek vertikal mengatur antara makhluk dengan kholiknya (manusia dengan Tuhannya). Dalam hal ini manusia bersikap berserah diri pada Allah.
b.      Aspek horisontal. Aspek horisontal mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Islam menghendaki agar manusia yang satu menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan manusia yang lain.
c.       Aspek batiniah. Aspek batiniah mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu supaya dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan batin maupun kematapan rohani dan mental.

3.      IHSAN
kata ihsan, lahir dari madli ahsana yuhsinu ihsanan, yaitu bahasa arab yang berarti bebuat baik, atau memperbaiki. Sedangkan bila memandang dri hadits pokok diatas, ihsan diartikan sebagai menyembah Allah seakan akan kita melihat-Nya, atau setidaknya kita merasa selalu diawasi oleh Allah.
Disini terdapat indikasi lebih mengenai ihsan dibanding dengan yang lain. Karena ihsan sendiri merupakan usaha untuk selalu melakukan yang lebih baik, yang lebih afdol, dan bernilai lebih sehingga seseorang tidak hanya berorientasi untuk menggugurkan kewajiban dalah beribadah, melainkan justru berusaha bagaimana amal ibadahnya diterima dengan sebaik-baiknya oleh Allah. SWT. Karena dia akan merasa diawasi oleh Allah, maka akan terus timbul dihatinya tuntutan untuk selalu meng upgrade amal perbuatannya dari yang kurang baik menjadi yang  baik, dari yang sudah baik, terus berusaha untuk yang lebih baik demi diterimanya amal perbuatan mereka.
Sebagai contoh, seseorang yang melakukan sholat, cukup dengn melakukan syarat dan rukun sholat saja, tanpa  hartus khusu’ maupun khudu’. Orang itu sudah tidak dituntut lagi kelak karena dia sudah melakukan kewajibannya walaupun hanya sebatas menggugurkan kewajiban belaka. Beda dengan orang yang muhsin (ihsan), maka dia akan melakukan sholat tersebut dengan sesempurna mungkin, dia tidak hanya memperhatikan syarat dan rukun saja, melainkan adab dalam sholat, kekhusyu’an, khudu’, dan hal-hal yang dapat menghalangi sampainya ibadah tersebut sampai kepada hadroh sang kholiq.
Adapun kata islam, iman, dan ihsan itu dengan kata lain juga sering disebutkan Muslim, Mu’min dan Muhsin. Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuraat: 14).
Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan.[8]
Hubungan hadis dengan nilai-nilai pendidikan
Hubungan hadist tentang trilogy islam dengan Tarbiyah.
1.      Potongan  hadist
‘’ kamu benar’’, jika dikaitkan dengan tarbiyah dari hadis ini di ceritakan jibril mendatangi Rosulullah dan menyakan tentang iman, islam, dan ihsan mengisyaratkan evaluasi, begitupun dalan pendidikan. Seseorang yang telah terdidik masih memerlukan evaluasi guna mengetahui sejauh mana tingkat pemahamannya.
2.      Di lihat dari segi materi, trilogi islam ini merupakan kajian yang luas dan penting untuk dibahas.
Oleh karena itu kita butuh kemantapan hati untuk memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya. Karena hati itu di ibaratkan sebagai tempat atau suatu tempat yang mana tempat tersebut dihuni oleh penghuni (ilmu), dan apabila tempat tersebut enak, bersih, dan indah, pokoknya nyaman untuk ditempati, maka ilmu (penghuni) terasa nyaman untuk menempati tempat tersebut, namun apabila tempat tersebut kotor, tidak nyaman dan sebagainya maka penghuni pun merasa tidak nyaman untuk mendudukinya dan akhirnya penghuni (ilmu) pun pergi.
3.      Dalam ajaran islam terdapat rukun islam dimana kaitan dengan tarbiyah:
·         syahadat; seseorang memerlukan keyakinan dan prinsip dalam menempuh pendidikan. Apabila keyakinan telah 100 % maka sangat nudah kita akan menghadapi proses pembelajaran.
·         Sholat; sesorang dalam menuntut ilmu mempunyai tata tertib dan harus disiplin seperti dalam sholat. Dalam system pendidikan dalam proses pembelajaran kita juga harus menjaga waktu (on time) tepat waktu agar tidak ada materi yang tertinggal.
·         Zakat; sesorang dalam menuntut ilmu ada kewajiban yang harus dipenuhi, seperti spp, bayar gedung, beli buku, bayar parker dll. Dalam pendidikan itu juga di pungut biaya, walaupun seorang guru mengatakan dalam member ilmu tanpa pamrih tapi pada hakikatnya guru tersebut membutuhkannya.
·         Puasa; dalam proses pendidikan di butuhkan kesabaran dan ikhlas. Dalam menuntut ilmu kita tuntun untuk memiliki kesabaran dengan ikhlas. Seperti pelajaran yang kurang di pahami kita harus tujukan langsung kepada pembimbing, agar kita bisa mudah memahaminya. Makanya dalam pendidikan seperti ini sering terjadi trial and eror, oleh karena itu yang terpenting adalah kita berusaha dan terus semangat dan tanpa menyerah.
·         Haji; dalam proses pendidikan harus mempunyai kemampuan lahir dan batin. Apabila lahir dan batin kita sudah mampu maka kita akan mudah meraih sesuatu.
4.      Trilogy islam yang kedua yakni iman dapat dikaitkan dengan tarbiyah tentang keyakinan dengan pola prinsip yang tertanam pada diri seseorang dalam menuntut ilmu. Kita harus yakin kalau sesuatu itu bisa kita lakukan, karena semua itu merupakan motivasi dalam diri seseorang. Dalam proses pendidikan yang pertama sekali dalam meraih sesuatu adalah minat kita, kita harus  apabila tidak ada minat, maka akan terasa sulit untuk menggapainya. Yang kedua adalah usaha, apabila tanpa usaha, maka tidak akan mudah pula untuk meraihnya. Dan yang ketiga adalah do’a, apabila telah kita lakukan yang kedua tersebut, maka sebagaimana kita umat Islam kita memohon petunjuk pada Allah agar di beri hidayah dan kesabaran dalam menerima hasilnya.
5.      Trilogy islam yang ketiga yakni ihsan dapat dikaitakan dengan tarbiyah dari segi pengamalan terhadap apa yang didapat di dunia pendidikan. Seseorang yang berilmu ia mengajarkan ilmunya kepada orang lain baik melelui sekolah, majelis taklim/ pengajinan atau dimana saja. Karena ilmu yang telah kita peroleh kita juga harus mengamalkannya agar lebih mudah memahaminya lagi setelah mengajar.
Dalam penerimaan pembelajaran setiap orang berbeda pola pikirannya, adapun pola yang sering terjadi di masa sekarang ini adalah sebagai berikut:
·         Proses penerimaan ilmu manusia bersifat bagaikan air pada daun talas, yakni masuk telinga kanan keluar telinga kiri (tidak berbekas).
·         Proses penerimaan ilmu pada mausia bagaikan kapas yang basah yang dihembuskan oleh angin, yakni ilmu yang hinggap cuma sementara dan lama kelamaan akan hilang.
·         Proses penerimaan ilmu pada manusia bagaikan tanah, yakni walaupun musim kemarau tetapi di dalam tanah masih juga ada air. Pada poin ketiga inilah merupakan yang sangat terbaik dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Ihsan itu juga merupakan bertingkah laku yang baik, mulia, dsb. Seorang pendidik (fasilitator sekaligus juga pembimbing) harus mempunyai hal tersebut agar bisa diteladani oleh subjek didik.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
IMAN : komitmen atau perjanjian qalbu yang diikrarkan melalui syahadat
Iman--->IngatAllah ---> taqwa
ISLAM : konsep pengabdian yang konsisten dengna tepat guna Islam ---> Dzikrullah ---> disiplin
IHSAN : Ikhlas dengan kejujuran sehingga menempatkan pada kedudukan yang terhormat Ihsan ---> Kedamaian jiwa ---> Professional (mahir dan menguasai).
Dari hadis ini kita dapat memetik pelajaran yang dapat diterapkan dalam dunia pandidikan seperti melakukan evaluasi, menumbuhkan prinsip, sabar, ikhlas, dan optimisme.
B.     SARAN
Demikian makalah ini kami buat. Tentunya masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Sehingga kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.







DAFTAR PUSTAKA
·         http://GahwahLadzizah.blogspot.com/2010/08/artikel tentang pendidikan.html
·         Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003
·         Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Raziy, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz I, (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), hal. 72.
·         Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy al-Syafi’i, Fath al-Bariy, juz I, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqiy dan Muhib al-Din al-Khathib, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1379 H.), hal. 48.
·         Toshihiko Izitsu, Ethico Religiuous Concepts in the Qur’an, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husain dkk., dengan judul Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hal. 226.
·         Muhammad Bin Abdul Wahab. TIGA LANDASAN UTAMA. 2007. Ebook islamhose.com



[1] http://Gahwah Ladzizah.blogspot.com/2010/08/artikel tentang pendidikan.html
[2] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003), hal. 78
[3] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Raziy, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz I, (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), hal. 72.
[4] Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalaniy al-Syafi’i, Fath al-Bariy, juz I, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqiy dan Muhib al-Din al-Khathib, (Beirut: Dar al-Ma’rifat, 1379 H.), hal. 48.
[5] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab al-Iman, Abu Dawud dalam kitab awwal kitab al-sunnah, dan Imam dalam Musnad Umar bin al-Khattab.
[6] Toshihiko Izitsu, Ethico Religiuous Concepts in the Qur’an, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husain dkk., dengan judul Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an, (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hal. 226.
[7] Muhammad Bin Abdul Wahab. TIGA LANDASAN UTAMA. 2007. Ebook islamhose.com
[8] At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64.

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email