Dalil-Dalil Syar’i

KATA PENGANTAR
 


           

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan  limpahan karunia  yang tidak terhingga  sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan  dengan baik, shalawat dan salam kepada janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw. pembawa  risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat manusia  didunia dan diakhirat.
Makalah ini mengkaji tentang “Dalil-Dalil Syar’i”. Saya sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka dari ini saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa/i. Semoga juga menjadi amal yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.





Sigli, 29 Oktober 2015




KELOMPOK 9





                                                                                          

DAFTAR ISI
  Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................         i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ........ ii
BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.    Latar belakang......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.     Tujuan...................................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................... 3
A.    Pengertian Dalil Qath’i............................................................................ 3
B.     Contoh-contoh dalil Qath’i...................................................................... 3
C.     Pengertian Dalil Dzanni........................................................................... 5
D.    Contoh-contoh Dalil Dzanni.................................................................... 5

BAB III : PENUTUP.............................................................................................. 7
A.    Kesimpulan.............................................................................................. 7
B.     Saran........................................................................................................ 7

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 8





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembahasan Qathi dan Dzanni hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan makna dalil itu sendiri. Para ahli usul fiqh membagi dalil atas tiga bentuk, yaitu nas, zahir, danmujmal. Dalil dalam kategori nas diartikan oleh jumhur ushul fiqh sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain. Sedangkan dalil dalam kategori zahir dan mujmal termasuk dalil yang bersifat zhanni, karena makna dalil dalam kategori ini masih mengandung kemungkinan makna lain.
Dalam kitab-kitab Ushul fiqh, telah disepakati para ulama ushul, bahwa Qath’i adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nash. Dalam pengertian yang lebih sesuai, Qath’i dalam hukum Islam adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan, yang notabene adalah ruhnya (spirit) dari sebuah hukum.
Sementara Dzanni secara harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang Qath’i (kategori). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun hadis Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal. Ajaran zhanni tidak mengandung kebenaran atau kebaikan pada dirinya sendiri, tidak self evident dalam bahasa filsafatnya. Karena itu, berbeda dengan yang Qath’i, ajaran Dzanni terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Yang masuk kategori zhanni adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menterjemahkan yang  Qath’I (nilai kemaslahatan atau keadilan dalam kehidupan nyata. Seperti halnya dengan ayat muhkamat, ayat mutasyabihat pun tidak mempersoalkan apakah dari sudut bahasanya bersifat tegas atau bersifat samar-samar. Yang menjadi titik pijak adalah bagaimana cita keadilan dan kemaslahatan sebagai prinsip yang fundamental diwujudkan.
Implikasi dari pemahaman bahwa ayat muhkamat atau Qath’I yang bersifat universal tidak memerlukan terobosan ijtihad. Yang bisa dilakukan terobosan ijtihad adalah ayat-ayat mutasyabih atau Dzanni. Yakni definisi tentang mashlahat atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu yang nisbi. Kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita kemaslahatan atau keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma kemaslahatan, keadilan dan realitas sosial yang bersangkutan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Qath’i ?
2.      Bagaimana contoh Qath’i?
3.      Apa Pengertian Dzanni ?
4.      Bagaimana contoh Dzanni? 

C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui apa itu Qath’i
2.      Untuk Mengetahui contoh-contoh dari Qath’i
3.      Untuk Mengetahui apa itu Dzanni
4.      Untuk Mengetahui contoh-contoh dari Dzanni





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dalil Qath’i
Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.[1] Serta tidak bisa ditakwil dan tidak mempunyai makna lain. Dalil-dalil al-Qur’an semuanya adalah pasti (Qath’i) bila ditinjau dari datangnya, ketetapannya, dan dinukilnya dari rasul SAW kepadakita. Artinya kita memastikan bahwa setiap nash al-Qur’an yang kita baca itu adalah hakikat nash al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada rasulnya.
            Menurut Abdul Wahab Khallaf Qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadist). Qath’I dan Zhonnimerupakan salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu dalil.
            Dalam dalil Qath’I ada ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an mengenai rukun-rukun agama seperti shalat dan puasa, bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum  yang telah ditetapkan semuanya yang tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.

B.     Contoh-contoh dalil Qath’i
1.      Tentang warisan
۞وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ ...
Artinya :Dan bagimu (suami-suami) seper dua dari harta yang ditiggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak (an-Nisa' : 12)
            Ayat ini adalah pasti, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.[2]
2.      Tentang hukuman had zina
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢
Artinya : Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan  kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman. (an-Nur : 2)
Ayat-ayat yang  menyangkut hal-hal tersebut,  maknanya jelas dan tegas dan menujukkan arti dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad.
3.      Tentang hukuman menuduh berzina
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ وَأَصۡلَحُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٥
Artinya “Dan orang-orang  yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
            Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan ia tidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh. Kata “delapan puluh” merupakan kata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain.


C.    Pengertian Dalil Dzanni
Secara bahasa yang dimaksud dengan Zhonni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah). Adapun Zhonni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
Dalil Zhonni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.[3]

D.    Contoh-contoh Dalil Dzanni
1.      Al Baqarah : 228
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (Al Baqarah : 228)
Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih).  Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’. dengan demikian, akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor. jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’i. karena itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa menunggu  (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali bersih dan ada yang mengatakan tiga kali haidh.
1.      Al Maidah : 3
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ
Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
2.      Al Maidah : 38
وَ السَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أيْدِيَهُمَا جَزَاءَ بِمَا كَسَبَا نَكاَلاً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزُ حَكِيْمٌ
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. (Al Maidah : 38).
Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau kiri, disamping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku.
Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadits Rasulullah saw. kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini menurut para ulama’ usul fiqh bersifat zhanni (relatif benar) oleh sebab itu para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.
Hadis-hadis Rasulullah SAW yang bersifat qath’i as-subut adalah hadits-hadits mutawattir. Adapun hadits-hadits ahad (tidak mencapai tahap mutawattir) mayoritas hadits yang tercakup dalam katagori ini bersifat Zhonni as-subut. Dalam menjadikannya sebagai hujjah, hadis seperti ini menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama apabila bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Pertentangan ini bisa dalam bentuk umum dan khusus atau mutlak dan bersyarat. Imam Abu Hanifah misalnya, tidak mau menerima riwayat yang bersifat ahad, kecuali dengan syarat-syarat yang cukup ketat seperti disitu tidak menyangkut kepentingan semua atau mayoritas umat dan rawi hadisnya tidak melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan kandungan hadits yang diriwayatkannya.[4]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa dalil-dalil hukum baik dari segi historisnya dan segi penunjukan kepada makna atau dari segi argumentative maknanya, ada yang Qhat’I dan ada pula yang Dzanni.
Qath’I adalah sesuatu yang menunjukkan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadist). Qath’I tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan teks. Seorang ulama mengatakan qath’I adalah seuatau yang menunjukkan kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Adapun Dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadist) yang menunjuk kepada suatau makna yang mengandung pengertian lain.

B.     Saran
Dalam pengumpulan materi pembahasan di atas tentunya kami banyak mengalami kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu hendaknya pembaca memberikan tanggapan dan tambahan terhadap makalah kami. Sebelum dan sesudahnya kami haturkan banyak terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Muhammad Hashim Kamali. Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996)


[1] Muhammad Hashim Kamali. Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996), hal.26
[2] Ibid.,
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 44
[4] Ibid.,

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email