BAB II Pengertian Subyek Hukum

 BAB II
                          PEMBAHASAN

A.    Pengertian Subyek Hukum
Subyek hukum atau rechts subyek merupakan setiap orang yang memiliki kewenangan dan mempunyai hak dan kewajiban yang nantinya akan menimbulkan wewenang hukum atau rechtsbevoegheid, sedangkan arti kata wewenang hukum tersebut ialah subyek dari hak dan kewajiban.
Subyek hukum merupakan segala sesuatu yang memiliki hak/kewenangan melakukan perbuatan hukum serta cakap dalam masalah hukum. Subyek hukum merupakan pendukung hak menurut kewenangan atau kekuasaan yang nantinya akan menjadi pendukung sebuah hak. Dari penjabaran di atas, berikut ini pengertian dari subyek hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli, meliputi :
1.      Prof. Subekti, mengatakan bahwa subyek hukum merupakan pendukung dari hak dan kewajiban yang ada.
2.      Ridwan Syahrani, mengatakan bahwa subyek hukum merupakan pembawa hak atau subyek di dalam hukum
3.      Prof. Sudikno, mengatakan bahwa subyek hukum merupakan segala sesuatu yang mendapat hak an kewajiban dari hukum.
Dari ketiga pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa subyek hukum adalag pemegang kekuasaan dari hak dan kewajiban yang berlaku menurut hukum. Dalam hukum Indonesia, yang menjadi subyek hukum adalah manusia.[1]





B.     Manusia Sebagai Subyek Hukum
Manusia dalam pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indera dan mempunyai budaya, sedangkan manusia dalam pengertian yuridis adalah gejala dalam hidup bermasyarakat.
Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kedua, kewenangan hukum. dalam hal ini kewenangan hukum berarti kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak, namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Manusia  sebagai subjek hukum di mulai sejak ia lahir dan berakhir setelah meninggal dunia. Namun, ada pengecualian menurut pasal 1 ayat 34 KUHPerdata yang berbunyi “bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya di anggap telah lahir dan menjadi subjek hukum, dan apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal dunia menurut hukum ia tidak pernah ada sehingga ia tidak di anggap subyek hukum.” ketentuan tersebut juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban anak baru lahir di anggap ada jika ia lahir hidup. Dan apabila ia lahir mati maka haknya dianggap tidak ada. Misalkan kepentingan anak untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya walaupun ia masih berada dalam kandungan dianggap lahir dan oleh karena itu harus di perhitungkan hak-haknya sebagai ahli waris. tetapi jika ia lahir dalam keadaan mati maka haknya di anggap tidak pernah ada. disamping itu berdasarkan undang-undang seseorang tidak di anggap telah meninggal dunia jika hilang tidak diketahui keberadaannya dan tidak ada kepastian apakah ia masih hidup dalam tenggang waktun setelah 6 tahun ia meninggalkan tempat kediamannya.[2]

C.     Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum
Badan hukum adalah badan yang dibentuk berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku oleh sejumlah orang yang bekerjasama untuk tujuan tertentu dan dengan demikian badan itu memiliki hak dan kewajiban. Disebut subjek hukum karena memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu timbul dari hubungan hukum yang dilakukan oleh badan hukum tersebut. Badan hukum juga memiliki kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan anggotanya, turut serta dalam lalu lintas hukum, serta dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan.
Badan hukum sebagai subjek hukum layaknya manusia, dapat melakukan perbuatan hukum seperti mengadakan perjanjian, manggabungkan diri dengan perusahaan lain (merger), melakukan jual beli, dan lain sebagainya. Dengan demikian badan hukum diakui keberadaannya sebagai pendukung hak dan kewajiban (subjek hukum) karena turut serta dalam lalu lintas hukum.
Syarat yang harus dipenuhi oleh badan hukum.
1.      Dibentuk dan didirikan secara resmi sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur perihal pembentukan badan hukum.
Exs: syarat pembentukan badan hukum  partai politik berbeda dengan syaratmpembentukan badan hukum perseroan terbatas (PT). Syarat pembentukan kedua jenis badan hukum itu diatur dalam undang-undang yang berbeda dan dengan prosedur yang berbeda pula.
2.      Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan anggotanya.
3.      Hak dan kewajiban hukum yang terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya.

Dalam hukum dikenal adanya dua macam badan hukum, yaitu:
1.      Badan hukum publik: badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik dan bergerak di bidang publik/yang menyangkut kepentingan umum. Badan hukum ini merupakan  badan negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang dijalankan oleh pemerintah.beberapa contoh badan hukum publik seperti;
Ø  Negara Indonesia, dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945
Ø  Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota, dasarnya adalah Pasal 18, 18 A, dan 18 B UUD 1945 dan kemudian dikolaborasi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda ini telah diubah sebanyak dua kali)
Ø   Badan Usaha Milik Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Ø  Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971
2.      Badan Hukum Privat: badan hukum yang didirkan berdasarkan hukum perdata dan bergerak di bidang privat/yang menyangkut kepentingan orang perorang. Badan hukum ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh sejumlah orang untuk tujuan tertentu, seperti mencari laba, sosial/kemasyarakatan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain sebagainya. beberapa contoh badan hukum privat seperti;
Ø Perseroan terbatas (PT), pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Ø Koperasi, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi
Ø Partai Politik, pendiriannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perpol jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.[3]



D.    Cakap Hukum
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrat atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
Meskipun hukum setiap orang tiada yang terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi didalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Disamping wewenang untuk dapat melakukan perbuatan hukum, orang harus cakap melakukan hukum. Seseorang adalah cakap hukum, apabila ia telah dianggap cukup cakap mempertanggung jawabkansendiri atas segala tindakan-tindakannya sendiri.
Syarat-syarat Cakap Hukum;
1.      Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun)
2.      Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah
3.      Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum
4.      Berjiwa sehat dan berakal sehat[4]


E.     Status Hewan Dalam Hukum
Apabila sebuah kendaraan menabrak seekor hewan ( misalnya kerbau, kambing, kucing) yang sedang melintas dijalan raya, saat kendaraan tersebut melaju kencang sehingga hewan tersebut tertabrak dan mati  dan kendaraan tersebut mengalami kerusakan yang berat telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 24 UU No. 22/2009 dinyatakan bahwa:
Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
Mengenai kewajiban dan tanggung jawab dalam suatu kecelakaan lalu lintas diatur lebih lanjut dalam Pasal 234 ayat (1) UU No 22/2009 mengatur bahwa pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi. Namun, pengecualian terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009 yang menyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika:
Ø  Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
Ø  Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
Ø  Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Dari pengecualian di atas, maka dalam kasus ini, pemilik kendaraan bermotor memenuhi unsur dalam pengecualian yang diatur dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009 karena kecelakaan disebabkan gerakan hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan atau dapat pula dikategorikan sebagai adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi. Hal ini merujuk pada penjelasan Pasal 234 ayat (3) huruf a UU No. 22/2009 yang menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” termasuk keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh Pengemudi, seperti gerakan orang dan/atau hewan secara tiba-tiba.” Mengingat bahwa pemilik kendaraan bermotor sesuai kronologi kasus di atas masuk dalam pengecualian yang diatur dalam Pasal 234 ayat (3) UU No. 22/2009, maka pemilik kendaraan bermotor tidak dapat diminta pertanggungjawabannya atas matinya kerbau tersebut. Namun, perlu diingat bahwa hal ini hanya berlaku jika kerbau tersebut menyeberang jalan secara tiba-tiba (tidak sedang digiring) atau pemilik kendaraan bermotor tersebut telah melakukan pencegahan atas terjadinya kecelakaan itu. 
Berbeda halnya jika kerbau yang menyebrang jalan tersebut sedang digiring oleh pemiliknya. Dalam Pasal 116 ayat (2) huruf b UU No. 22/2009 dinyatakan bahwa Pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika akan melewati kendaraan tidak bermotor yang ditarik oleh hewan, hewan yang ditunggangi atau hewan yang digiring. Oleh sebab itu, jika dihubungkan ke kasus di atas, Pengemudi sepatutnya melakukan kewajiban untuk memperlambat kendaraannya jika melihat kerbau yang melintas tersebut sedang digiring oleh tuannya untuk menyeberang jalan. Seandainya kewajiban ini tidak diindahkan, maka pemilik kendaraan bermotor tetap dapat diminta pertanggungjawaban atas matinya kerbau tersebut. Pemilik kerbau dapat menuntut ganti rugi terhadap pemilik kendaraan bermotor sesuai dengan Pasal 236 ayat (1) UU No. 22/2009 yang menyatakan bahwa pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 UU 22/2009 yaitu wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
Dalam Pasal 1368 KUHPerdata diatur bahwa pemilik binatang, atau siapa yang memakainya, selama binatang itu dipakainya, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya maupun binatang tersebut tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Berangkat dari pasal tersebut maka pemilik kerbau dapat dikategorikan sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dan dapat dituntut ganti rugi sesuai dengan Pasal 236 ayat (1) UU No. 22/2009. Mengenai kewajiban mengganti kerugian, menurut Pasal 236 ayat (2) UU No. 22/2009, para pihak dapat membuat kesepakatan damai di luar pengadilan mengenai hal penggantian kerugian.[5]



BAB III
                              PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa subyek hukum merupakan pendukung daripada hak dan kewajiban, maka pendukung hak dan kewajiban itu adalah orang yang sebagai subyek hukum, suyek hukum disini dapat diartikan menjadi dua yaitu Natuurlijk person (orang atau manusia pribadi) dan Recht person (badan hukum). Sedangkan kecakapan hukum ialah dimana subyek hukum tersebut sudah cakap atau telah memenuhi syarat sebagai subyek hukum yang mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum.


  1. Saran
Demikian makalah ini kami selesaikan, tentu masih banyak kesalahan dan kekurangan. Saran dan kritik para audiens sangat kami harapkan agar menjadikan lebih baik lagi dalam membuat makalah. Semoga makalah ini bermanfaat dan memberi pengetahuan bagi para pembaca.
  
    DAFTAR PUSTAKA
Kansili, Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Balai Pustaka:1986)
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999
R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991
www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5018e79b5f626/pertanggungjawaban-hukum-jika-menabrak-hewan-di-jalan-raya hukuman  jika menabrak hewan



[1]Kansili, Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Balai Pustaka:1986)
[2]Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)
[3]OpCit,. Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
[4]R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 237.
[5]www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5018e79b5f626/pertanggungjawaban-hukum-jika-menabrak-hewan-di-jalan-raya hukuman  jika menabrak hewan 

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email