Puasa
Perspektif Q.S Al-Baqarah :183-185
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam salah
satu rukun Islam telah disebutkan bahwa puasa adalah suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan untuk mencapai derajat muslim. Dalam hadits Nabi pun disebutkan
bahwa puasa adalah salah satu tiang penyangga Islam. Oleh karenanya sebagai
umat Islam kita tentu berkewajiban melaksanakannya. Namun Islam bukanlah agama
yang memberatkan, prinsip rahmatan lil alamin telah diteladankan oleh Nabi
Muhammad yang tidak lain semua itu bersumber dari Allah. Misalnya bagi orang
yang sakit atau musafir tidaklah dikenai kewajiban puasa, karena mereka dalam
keadaan yang payah. Dan masih banyak lagi bukti rahmatan lil ‘alamin tersebut,
diantaranya yang terkandung dalam QS.Al-Baqarah:183-185 yang akan kami
bicarakan dibawah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Asbabun Nuzul
2.
Makna Mufrodat
3. Pengertian Secara Global
4.
Kandungan Hukum
5.
Lathaif Al-Tafsir
PEMBAHASAN
Membicarakan
tentang kewajiban puasa tentu tidak terlepas dari firman Allah swt. Diantaranya
pada Q.S al-Baqarah : 183-185, yang akan kami coba paparkan sedikit penjelasan
mengenainya.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa(183)(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.(184)Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan
Ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang haq dan batil). Oleh karena itu barangsiapa diantara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka
(wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu
bersyukur (185)
A. Asbabun Nuzul
Diketengahkan
oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dari Mujahid, katanya, "Ayat ini
diturunkan mengenai majikan dari Qais bin Saib (yang sudah sangat lanjut
usianya), Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu
memberi makan seorang miskin (Q.S. Al-Baqarah 184). Lalu ia tidak berpuasa dan
memberi makan seorang miskin setiap hari Ramadan yang tidak dipuasainya."[1][1]
Ada lagi yang
menyebutkan sebab turunnya sebagai berikut:
روى
ابن جرير عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنه قال : « إنّ رسول الله صلى الله عليه
وسلم قدم المدينة فصام يوم عاشوراء ، وثلاثة أيام من كل شهر » ، ثم إن الله عز وجل
فرض شهر رمضان ، فأنزل الله تعالى ذكره { ياأيها الذين آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصيام } حتى بلغ { وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ } فكان
من شاء صام ، ومن شاء أفطر وأطعم مسكيناً ، ثم إن الله عز وجل أوجب الصيام على
الصحيح المقيم ، وثبت الإطعام للكبير الذي لا يستطيع الصوم ، فأنزل الله عز وجل {
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ . . . } .
Dari Ibnu Jarir
dari mu’adz bin jabbal berkata : bahwa Rasulullah SAW.datang ke Madinah pada
hari ‘Asyura kemudian beliau berpuasa, dan beliau berpuasa selama tiga hari
setiap bulan. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadlan, dengan menurunkan
QS.Al-Baqarah 183-184 (وَعَلَى الذين
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ), maka saat
itu ada yang berkeinginan untuk berpuasa, ada yang berbuka dan ada yang memilih
untuk memberi makan orang miskin. Kemudian Allah mewajibkan puasa bagi orang
yang sehat lagi muqim ( tidak bepergian) dan menetapkan kriteria bagi yang
memberi makan orang miskin yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu untuk
berpuasa, dengan menurunkan ayat
B. Makna Mufrodat
يا ايها الذين : wahai orang-orang, huruf ya’
disini merupakan huruf nida’ yang berarti seruan kepada orang banyak.
امنوا : orang-orang yang beriman, lafadz ini
sebagai na’at dari pada lafadz الذين, sehingga seruan ini dikhususkan kepada orang yang beriman saja
baik laki-laki atau perempuan.
كتب : diwajibkan atau ditetapkan
عليكم : atas kamu sekalian (umat Islam), dlomir
kum disini kembali pada lafadz امنوا الذين. Lafadz ini juga sebagai pelaku dari lafadz kutiba.
الصيام : puasa, menahan dari melakukan sesuatu
كما
كتب على الذين من قبلكم: seperti halnya diwajibkan kepada
umat sebelum kamu(umat Muhammad), yaitu umatnya nabi-nabi terdahulu mulai nabi
Adam as. Huruf kaf merupakan tasybih atas hukum dan sifat puasa yang wajib
bukan pada bilangannya, namun ada pula yag berpendapat penyerupaan ini pada
bilangannya, pendapat yang kedua ini pun menimbulkan kontroversi, ada yang
berpendapat bahwa kalimat ini dihapus dengan ayat 185 dan ada yang mengatakan
bahwa kalimat ini tidak dihapus dan ayat ini adalah ayat muhkamat.[3][3]
لعلكم
تتقون : puasa sebagai jalan menuju takwa
أياماً
معدودات :hari yang ditentukan, lafadz أياما berkedudukan sebagai dlorof sehingga dibaca nashob sedangkan amilnya
yaitu shiyam, jika diperlihatkan menjadi كتب عليكم الصيام في هذه الأيام. Hal ini
pun ada 3 pendapat, bahwa hari itu adalah 3 hari dalam setiap bulan, ada pula
yang 3 hari tersebut ditambah dengan bulan asyura dan yang lebih shohih adalah
hari itu pada waktu bulan ramadlan.
فمن
كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة:kewajiban puasa diatas tidak
belaku bagi orang yang sakit dan safar, lafadz ini menunjukkan kebolehan untuk
berbuka bagi mereka. Lafadz عدة menurut ar-raghib adalah sesuatu yang berbilang. Menurut qurthubi adalah
عدة adalah fiil dari عد yang berarti ma’dud atau bilangan.[4][4]
مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ :hari-hari lain yang sama
bilangannya dengan hari ketika sakit atau safar. أُخَر adalah jama’ dari ukhra, أي أياماً أخرى menurut alkisai hal ini tercegah dari perubahan karena jika demikian
menunjukkan pada ma’na akhar sedangkan menurut sibawaih jika dijama’kan harus
adanya penambahan alif dan lam.
وعلى
الذين يطيقونه :dan bagi orang yang melakukan hal
diatas, يطيقونه berarti orang yang jika berpuasa dapat menimbulkan bahaya dan kesuliatan
baginya.[5][5]
فِدْيَةٌ :memberikan sesuatu harta benda atau yang semisalnya (makanan) kepada
manusia sebab meringkas atau mengganti ibadah yang telah ditinggalkannya, hal
ini serupa dengan kafarat.
طعامُ
مسكين : makanan kepada orang miskin,
mengenai qira’ah untuk kalimat ini dibawah akan kami jelaskan.
ً
فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًافَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ : menurut ibnu Abbas kalimat
tersebut berarti seseorang yang telah memberi makan orang miskin, menurut
thowus yaitu orang yang rela memberi makan orang miskin dan menurut mujahid
adalah banyaknya orang miskin yang diberi maka memberi tambahan kebaikan kepada
si pemberi.[6][6]
وَأَن
تَصُومُواْ :dan berpuasa bagi orang-orang
yang mampu, dlomir disini tidak kembali kepada orang-orang yang sakit, safar,
hamil, menyusui dan orang yang renta. Karena bagi mereka berbuka itu lebih baik
dari pada berpuasa.[7][7]
إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ : jika kamu
mengetahui (keutamaan puasa dan segala kebaikan yang menyertainya), yang
termasuk dalam lafadz ini adalah ahlul ilmi yang mau memikirkan keutamaannya.
Sedangkan jawab dari lafadz ini dibuang, hal ini menunjukkan pada lafadz
sebelumnya yaitu boleh memilih antara puasa atau tidak.[9][9]
شهر
رمضان : menurut
akhfasy kalimat ini menjadi rofa’ karena menafsiri lafadz أياماً
. رمضان berasal dari kata الرّمض, yang berarti panas. Dinamakan ramadlan karena membakar dosa-dosa.[10][10]
الذي
أُنزل فيه القرآن : yang mana al-qur’an diturunkan
pada bulan itu, mengenai hal ini ada 3 pendapat, menurut ibnu abbas yaitu
ketika alqur’an turun secara sekaligus dari baitul izzah menuju langit dunia
itulah yang dinamakan lailatul qadar. Menurut mujahid dan dhohak yaitu turunnya
alqur’an bersamaan dengan diwajibkannya puasa. Sedangkan menurut ibnu ishaq dan
abu sulaiman ad-dimasyqi adalah yang dinamakan awal diturunkannya al-qur’an
ketika ia disampaikan kepada nabi Muhammad SAW.[11][11]
هُدًى
لّلنَّاسِ :
memberi petunjuk dari kegelapan,[12][12] dibaca nashob karena menjadi
hal. Ayat ini menjelaskan bahwa turunnya al-qur’an telah memberi petunjuk
manusia kepada kebenaran.[13][13]
وبينات
مِّنَ الهدى وَالْفُرْقَان : kalimat ini disebutkan setelah هُدًى
لّلنَّاسِ ,
menunjukkan bahwa Allah
menjelaskan beberapa petunjuk yang Dia berikan melalui wahyu yang telah
diberikan kepada utusannya, melalui kitab-kitab-Nya, yang disana telah
dijelaskan antara yang haq dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan.[14][14] Menurut jalalain huda yang kedua
menunjukkan hukum-hukum yang haq.[15][15]
فَمَن
شَهِدَ مِنكُمُ :
yaitu orang yang menyaksikan,
hadir dan muqim pada bulan itu, tidak sedang musafir.
الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ : الشَّهْر dibaca nashob karena berkedudukan sebagai dhorof, sedangkan فَلْيَصُمْهُ (ha’nya) tidak berkedudukan sebagai maf’ul
bih tetapi sebagai dhorof.[16][16]
يريد
الله بكم اليسر: Imam Ibnu `Abbas, Mujahid,
Qotadah, dan imam Dhohak berpendapat bahwa kemudahan itu dimaksudkan untuk
mereka yang berada diperjalanan karena sulitnya berpuasa dalam perjalanan
tersebut. Sedangkan menurut `Umar bun Abdul `Aziz mengatakan bahwah hal
tersebut lebih memudahkan untuk melakukan puasa atau tidak.hal ini senada
dengan tafsiran imam baidhowi yang mengatakan bahwa “Allah memberikan kemudahan
dan tidak menyusahkan. Oleh karenanya boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang ada berada d perjalanan artau bagi orang yang
sakit.
ولتكملوا
العدة: imam inbu katsir, nafi` inbu
`amir, hamzah dan kisa`i membaca sukun kafnya untuk meringankan, sedangkan abu
bakar riwayat `ashim dengan membaca
tasydid huruf mimnya. Imam ibnu Abbas menafsirkan perintah menyempurnakan pada
bilangan puasa yang telah ditinggalkannya. Begutu juga imam yang lain
menegaskan bahwa menyempurkan bilangan bukan berarti menambahkan atau memindah
pada waktu yang lain yang telah
diwajibkan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Dalam
aisaru tafasir dijelaskan bahwa mengqodho` berarti menyempurnakan bilangan
ramadhan.
ولتكبروا
على ما هداكم : perintah mengagungkan Allah tersebut dilakukan
ketika telah ,menyempurnakan puasa dimulai dari terlihatnya hilal hingga
pulang_selesai_dari sholat `id. Takbir(mengagungkan Allah) tersebut memang
telah disyari`atkan yangmana didalamnya terkandung pahala.
ولعلكم
تشكرون : puasa yang diwajibkan serta sunnah untuk
mengagungkan tersebut diharapkan menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang
bersyukur atas ni’mat-Nya, karena sesungguhnya bersyukur adalah bagian dari
sebuah keta`atan.
C. Pengertian Secara Global
Allah swt. Telah mewajibkan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana Dia
mewajibkannya kepada umat-umat terdahulu (ahlul milal). Dibalik kewajiban
tersebut didapati beberapa faidah yang besar dan hikmah yang mulia, yaitu
meningkatkan ketaqwaan manusia yang berpuasa dan menjauhkan dari perbuatan yang
diharamkan oleh Allah swt.
Puasa yang diwajibkan adalah puasa yang ditentukan harinya yaitu pada
bulan Ramadlan. Selain hari itu tidaklah diwajibkan, hal tersebut merupakan
salah satu bukti dari rahmat Allah, bukti yang lain adalah bagi orang yang
sakit dan tidak mampu untuk berpuasa serta musafir yang kelelahan dan tidak
mampu pula maka baginya boleh berbuka dan mengganti di hari yang lain sesuai
dengan jumlah hari yang ditinggalkan.
Kewajiban puasa yang bertepatan di bulan ramadlan dikarenakan pada bulan
tersebut adalah permulaan diturunkannya Al-Qur’an yang mulia, yang di dalamnya
terdapat dasar-dasar hukum yang berlaku sepanjang zaman, dan diperuntukkan bagi
umat Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah cahaya, petunjuk, dan pedoman hidup bahagia
bagi orang yang mau menempuh di jalan Al-Qur’an itu sendiri. Selain itu Allah
telah menurunkan rahmat kepada umatnya di bulan Ramadlan.[17][17]
D. Kandungan Hukum
1. Definisi Puasa
Secara etimologi puasa berarti manahan, meninggalkan berpindah dari satu
perbuatan kepada perbuatan yang lain. Kata shoum bermakna “diam”, hal ini
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ
أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Sesungguhnya aku telah bernadzar shaum untuk Ar-Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” [Maryam : 26]
Shahabat Anas
bin Malik dan Ibnu ‘Abbas ra. berkata : صَوْمًا maknanya adalah
صَمْتًا yaitu menahan
diri dari berbicara.
Ahli syi’ir umru’ul qais pun menyebutkan dalam syairnya :
حتى اذا صام انهار واعتدل وشال
للشمس لعاب فنزل lafadz shooma disini bermakna bahwa siang
itu tidak beranjak pergi maka seolah-olah dia berhenti.
Secara terminologi puasa berarti menahan dari makan dan minum disertai
dengan penetapan niat beribadah sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari
dan menyempurnakannya dengan menjauhi segala sesuatu yang dilarang ataupun
diharamkan.[18][18]
2. Kewajiban Puasa Bagi Umat Islam Sebelum Bulan Ramadlan
Lafadz أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ disini menunjukkan bahwa puasa yang diwajibkan itu
pada hari-hari yang ditentukan, dan jumhur ulama’ yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas dan Ibnu Jarir Al Thabari bersepakat bahwa hari itu adalah hari-hari pada
bulan ramadlan. Sedangkan diriwayatkan dari Qatadah dan Atho’ bahwasanya
sebelum umat Islam diwajikan puasa Ramadlan mereka telah diwajibkan berpuasa
selama tiga hari setiap bulan sebagaimana puasanya umat-umat terdahulu.
Kemudian kewajiban tersebut dihapus dengan ayat شهر
رمضان الذي أنزل فيه القرآن . Namun ibnu Abbas menambahkan
bahwasanya puasanya orang Nashara adalah 10 hari di awal bulan dan 10 hari di
akhir bulan, dan mereka berpuasa antara musim dingin dan musim panas.[19][19]
Menurut kesepakatan jumhur lafadz كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصيام masih
bermakna global, lafadz itu tidak menunjukkan bahwa ruasa yang diwajibkan itu
satu hari, dua hari atau lebih, kemudian hak tersebut diperjelas dengan ayat
selanjutnya yaitu أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ , namun sebenarnya kalimat ini pun masih mengandung
makna global, apakah dikerjakan dalam hitungan minggu atau bulan. Selanjutnya
Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya yaitu شهر
رمضان . Disinilah landasan dasar yang kuat bahwa yang
diwajibkan bagi umat Islam adalah puasa Ramadlan.
Sedangkan Imam Thabari menjelaskan bahwa lafadz أَيَّاماً
مَّعْدُودَاتٍ ,sudah
mengandung kejelasan bahwa yang dimaksud adalah hari di bulan Ramadlan, dan
tidak ada berita yang menyebutkan bahwa umat Islam dikenakan kewajiban puasa
sebelum bulan Ramadlan ini kemudian dihapus dengan datangnya perintah puasa
Ramadlan. Karena Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa Dia telah
mewajibkan hanya puasa Ramadlan bagi umat Islam.[20][20]
3. Sejarah
Turunnya Perintah Shaum Ramadhan
Awal turunnya
kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas
dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali.
Ibnul Qayyim mengatakan
dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1. Kewajibannya
yang bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban
secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum kemudian tertidur
sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan
terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat
sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya.
Tahapan awal
berdasarkan firman Allah Ta'ala :
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(
البقرة: ١٨٤(
Artinya : ”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata
Al-Hafizh Ibnu Katsir :“Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen)
serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum
atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia
membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang
miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik
baginya.”
Ibnu ‘Umar
radiyallahu 'anhuma ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus
hukumnya-pen)”.
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala
turunnya ayat ini berkata :“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum
dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah
ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.”
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh
(dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama. Tetapi dalam
sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :“Ayat ini
bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki
maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap
harinya.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :“Kesimpulan
bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat
lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu
bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha`
baginya”.
Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang
bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan
baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan)
hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ radiyallahu 'anhu:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي فَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ(رواه البخاري وأبو داود(
Artinya :
“Dahulu
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara
mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak
boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu
berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory
dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan
berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan
kucarikan untukmu (makanan).” - dan Qois pada siang harinya bekerja berat
sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya
(tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum
dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya.
Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :(أُحِلَّ لَكُمْ
لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ)“Telah
dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’
(menggauli) istri-istri kalian.” Dan para shahabat pun berbahagia sampai
turunnya ayat yang berikutnya yaitu :(وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ)“Dan
makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam,
yaitu Fajar.”[HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud].[21][21]
4. Hukum Puasa Ramadlan
Puasa Ramadhan
adalah suatu kewajiban yang jelas yang termaktub dalam Kitabullah, Sunnah
Rasul-Nya dan ijma’ kaum muslimin. Hal ini didasarkan pada lafadz كتب عليكم الصيام Q.S
al-Baqarah :183, kemudian lafadz itu diperjelas dengan lafadz selanjutnya اياما معدودات yang
menurut al-farra’ adalah maf’ul kedua dari lafadz “kutiba”. Namun ada
juga yang mengatakan bahwa lafadz tersebut dibaca nashob karena dharaf lafadz “kutiba”.
Menurut al-Qurthubi lafadz اياما معدودات berarti bulan Ramadlan. Hal ini pun senada
dengan hadits Nabi SAW.
بني الاسلام على خمس شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا
رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان والحج
“Islam dibangun
di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi
kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah."
(Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Lafadz صوم رمضان di ‘athofkan pada
lafadz شهادة ,
sehingga kedudukan puasa ini menjadi sangat signifikan untuk menyempurnakan
keislaman seseorang. Sementara itu kaum muslimin juga telah
bersepakat akan wajibnya puasa Ramadhan.
5. Keutamaan Puasa
Pada dasarnya puasa adalah jenis ibadah yang khusus kapada Allah,
meskipun semua ibadah juga bertujuan kepada Allah, namun ada beberapa hal yang
membedakan antara puasa dengan ubudiyah lainnya, antara lain :
a.
Dengan puasa seseorang bisa mencegah keinginan hawa
nafsunya
b.
Bahwa puasa adalah suatu rahasia antara Tuhan dengan
hamba-Nya saja dan tidak mapu dilihat oleh orang lain.
Melihat hal-hal yang
memang menjadi ciri khas puasa, pahala yang diperoleh pun juga sangat agung dan
langsung dari Allah swt.
6. Manfaat dan Tujuan Puasa
Adapun tujuan dari puasa adalah membentuk pribadi yang bertakwa لعلكم تعقلون sarana untuk menghadapi derajat takwa apabila
seseorang melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari’at). Dengan puasa berarti kita menyedikitkan makan sehingga memperdaya hawa
nafsu(syahwat) dan meminimalisir dalam berbuat maksiat. Jadi takwa itu sebagi
hasil yang diperoleh dari mematikan syahwat tersebut.
Orang yang
berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan
mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah
tujuan agung dari disyari’atkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih
untuk meninggalkan makan, minum.
Adapun takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, dan kata takwa ini
ketika dimutlakkan (penggunaannya) maka mengandung makna mengerjakan
perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda (yang artinya):"Barangsiapa yang tidak bisa
meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap
amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya."
7. Sakit dan Musafir Diperbolehkan Berbuka
فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari lain…..(QS Al-Baqarah :184)”
Secara tekstual firman Allah diatas menunjukkan bahwa setiap muslim yang
sakit atau sedang bepergian, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Namun para ulama’
berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria sakit dan bepergian yang
diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
a.
Al-Zhahiriyah berpendapat bahwa safar dan maridl yang
diperkenankan untuk berbuka puasa adalah safar dan maridl secara mutlak atau
umum. Artinya tidak ada kriteria tertentu bagi kedua hal tersebut.
Mereka berargumentasi dengan keumuman ayat فمن كان منكم مريضا او على سفر. Ungkapan kata maridl disimi sifatnya umum, tidak
harus dibatasi dengan sakit keras atau parah. Begitu pula kata shafar, tidak
dibatasi dengan bepergian yang jauh jaraknya.[22][22]
b.
Jumhur ulama berpendapat bahwa sakit yang
diperkenankan untuk berbuka puasa adalah sakit yang berat dan keras, yang
apabila ia berpuasa akan membahayakan jiwanya atau paling tidak akan bertambah
parah. Sedangkan mengenai safar adalah perjalanan yang jauh, yang menurut
kebiasaan akan dapat mengakibatkan penderitaan dan kelelahan. Argumentasi
mereka berdasarkan pada يريد الله بكم اليسر
ولايريد بكم العسر “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…….(QS
Al-Baqarah:185)
Ayat ini menunjuk bahwa maksud utama adanya rukhshoh adalah
menghilangkan kesukaran dan bahaya.
c.
Al-Qurthubi menyatakan bahwa sakit disini ada dua
macam :
a.
Sakit yang penderitanya sudah tidak mampu untuk
berpuasa, maka ini diwajibkan untuk berbuka.
b.
Suatu penyakit yang penderitanya masih sanggup untuk
berpuasa, namun kondisinya sangat mengkhawatirkan. Maka hal seperti ini
diperbolehkan untuk berbuka.[23][23]
Sedangkan safar menurut
al-Qurthubi adalah safar yang dikerjakan karena perintah Allah seperti haji,
jihad, silaturrahim,dan mencari nafkah yang pokok. Adapun safar dalam rangka
berdagang dan safar selain maksiat adalah boleh menurut qoul yang shohih. Ulama
sepakat bahwa pada waktu Ramadlan tidak diperkenankan berbuka bagi musafir yang
menginap, dan tidak boleh berbuka sebelum keluar dari rumah.
Para ulama berbeda
pendapat mengenai jarak safar yang diperbolehkan untuk berbuka.
a.
Imam Malik berpendapat jarak yang diperbolehkan bila
perjalanan itu memakan waktu satu hari satu malam atau 48 mil.
b.
Imam Syafi’i berpendapat dua hari dua malam atau
kurang lebih 128 km.
8. Puasa Ditengah Perjalanan
Dibalik kebolehan berbuka bagi musafir tersebut, para ulama’ berbeda
dalam hal seorang musafir lebih baik berbuka ataukah meneruskan puasanya.
a.
Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa orang
yang mampu dan kuat untuk berpuasa lebih baik berpuasa. Hal ini berdasarkan
firman Allah وان تصوموا خير لكم .
selain itu berdasarkan pada hadits dari anas bin malik الصوم في السفر افضل لمن قدر عليه . Sedangkan
yang tidak kuat boleh berbuka, berdasarkan firman Allah يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر .
b.
Ahmad dan Ibn Abbas berpendapat bahwa berbuka itu
lebih utama. Sesuai dengan firman Allah يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر Sebab hal
itu berarti berpegang dan mengamalkan rukhshah.[25][25]
9. Qadla Puasa
فمن كان منكم مريضا او
على سفر فعدة من ايام اخر
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari lain…..(QS Al-Baqarah :184)”
Jumhur ulama telah sepakat bahwa wajib mengganti puasa di hari lain
sesuai dengan jumlah hari berbukanya pada bulan Ramadlan. Namun, ulama terjadi
selisih pendapat tentang waktu pelaksanaannya. Apakah harus dilakukan secara
berturut-turut atau tidak, sesuai dengan kesempatan yang dia miliki. Para ulama
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.
a.
Ibnu Umar, Al-Sya’bi dan Daruquthni mengatakan bahwa pelaksanaan qadla harus
berturut-turut. Argumentasi mereka adalah qadla merupakan imbangan atau
bandingan dari melakukan puasa pada waktunya. Oleh sebab itu, qadla hendaklah
dilakukan secara berturut-turut pula, sebagaimana halnya puasa yang dilakukan
pada bulan Ramadlan.
b.
Jumhur Fuqaha’, Ibn Abbas, Maliki, Syafi’i dan Ibn Arabi
berpendapat bahwa pelaksanaan secara terpisah itu diperbolehkan. Hal ini
berdasar فعدة من ايام اخر dalam konteks tersebut tidak ditentukan waktu pelaksanaan secara
terpisah atau berturut-turut, tetapi yang terpenting adalah terpenuhinya
jumlah-jumlah hari yang ditinggalkan.[26][26]
Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ubaidah
al-Jarrah, ia berkata:
ان الله لم يرخص لكم في فطره وهو يريد ان يشق عليكم في
قضائه ان شئت فواصل وان شئت ففرق
“Sesungguhnya Allah tidak memberikan rukhshah kepadamu dalam berbuka
puasa, sedangkan Dia hendak menyusahkanmu dalam mengqadhanya. Jika kamu mau
(mengqadhanya secara bersambung-sambung) makalakukanlah, dan jika kamu mau
(mengqadlanya secara berselang-selang) maka lakukanlah”[27][27]
Batas paling akhir untuk mengqadha puasa adalah di bulan sya’ban. Jika
seseorang tersebut tersebut mengqadla di akhir bulan Sya’ban maka ada beberapa
pendapat yang menyikapinya:
-
Malik,Syafii, Ahmad dan Ishaq mengatakan wajib
membayar kafarat
-
Abu Hanifah, Hasan dan An-Nakha’I mengatakan tidak
wajib
Kafarat yang dimaksud
berupa memberi makan 60 orang miskin sebanyak 1 mud,menurut Malik, Syafii dan
Abu Hurairah.
Jika orang yang sakit
itu belum juga sembuh sampai datang Ramadlan berikutnya maka ulama’ pun berbeda
pendapat dalam menyikapinya. Ibnu Umar dan Daruquthni mengatakan bahwa baginya
cukup untuk memberi makan orang miskin setiap hari tanpa mengqadla. Namun
menurut Abu Hurairah adalah tetap wajib baginya untuk mengqadla suatu saat jika
dia sembuh. Begitu juga dengan musafir dan orang sakit yang meninggal ketika
dalam perjalanan atau saat masih sakit, menurut jumhur dia tidak mempunyai
kewajiban apa-apa, namun Qatadah mengatakan bahwa keluarganya harus membayarkan
kafarat atas namanya.[28][28]
10. Puasa Orang Yang Lanjut Usia
وعلى الذين يطيقونه
فدية طعام مسكين
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin.”
Lafadz يطيقونه berasal dari يطوقونه . Qira’ah Ibnu Abbas mengatakannya dengan يطوقونه yang bermakna يكلفونه yang berarti bagi orang tua atau orang lemah
yang tidak kuat untuk berpuasa hendaklah memberi makan 1 orang miskin setiap
hari dengan tanpa disertai qadla’.
Lafadz مسكين pada ayat ini menurut
Ibnu Abbas bermakna mufrod, hal ini diqiyaskan pada QS Al-Nur :4 فاجلدوهم ثمنين جلدة “Jilidlah setiap orang dengan delapan puluh kali jilidan”[29][29]
Sedangkan فدية طعام مسكين adalah
qiraah abu amr, ibnu katsir dan hamzah. Untuk imam Kisa’i adalah طعام
المسكين فديةٌ ,
untuk Nafi’ dan ibnu Amir adalah فدية tanpa
tanwin طعام dibaca
jar dan مساكين .
Para ulama ada yang berpendapat bahwa وعلى الذين يطيقونه
فدية طعام مسكين dihapus dengan وان تصوموا خيرلكم yang
bermakna perintah untuk tetap berpuasa. Namun jumhur sepakat bahwasanya kalimat
tersebut tidak di naskh. Karena yang dimaksud dengan يطيقونه hanyalah
ketika seseorang itu sudah tua atau lemah dan benar-benar tidak mampu untuk
berpuasa lagi, inilah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
11. Puasa Perempuan Hamil dan Menyusui.
Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang hamil dan sedang menyusui
anaknya, apabila ia khawatir terhadap dirinya ataupun anaknya maka boleh
berbuka. Namun ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mengqadha apakah
disertai dengan membayar fidyah juga.
-
Ibnu Abbas berpendapat bahwa bagi mereka diwajibkan
juga untuk membayar fidyah
-
Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita tersebut hanya
wajib mengqadla’. Dengan alasan : perempuan hamil atau menyusui status hukumnya
sama dengan orang yang ditimpa sakit. Beliau mengutip perkataan Hasan Al-Bashri
“Adakah penyakit yang lebih berat selain dari perempuan yang sedang
hamil?keduanya (hamil dan menyusui) boleh berbuka dan mengqadla puasanya. Tidak
ada kewajiban lain bagi mereka selain mengqadla puasanya saja”[30][30]
-
Qurthubi mengatakan hal yang sama karena antara fidyah
dan qadla’ sama-sama ditujukan sebagai pengganti saja, maka cukuplah satu yang
dilaksanakan.[31][31]
-
Syaf’i dan Ahmad mengatakan mereka berdua wajib
mengqadla’ dan membayar fidyah. Mereka berargumentasi bahwa perempuan tersebut
termasuk dalam pengertian وعلى الذين يطيقونه فدية
طعام مسكين (dan wajib bagi orang-orang yang berat
melaksanakannya untuk membayar fidyah).
Namun ada riwayat lain dari Ahmaddan Syafii jika mereka khawatir
terhadap anaknya saja maka disamping wajib qadla’ juga wajib membayar fidyah.
Tapi jika khawatir terhadap dirinya sajamaka wajib mengqadla’ saja.
Sedangkan فمن تطوع خيرا فهو خير له lafadz خيرا yang pertama berarti
memberimakan orang miskin setiap hari yang berbeda-beda itu lebih baik, dan lafadz
خير yang kedua bermakna
harta benda atupun sesuatu yang bermanfaat.
Selanjutnya lafadz وان تصوموا خير لكم memiliki maksud bahwa berpuasa itu lebih baik
bagi semua orang yang telah tersebut diatas.[32][32]
12. Al-Qur’an sebagai Hidayah dan Sumber
Hukum
Frasa awal ayat ini menjelaskan,
bahwa al-Quran al-Karim telah diturunkan Allah Swt. pada bulan Ramadhan. Dalam
ayat lain al-Quran diturunkan pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar) dan pada
malam yang diberkati (Lailatul Mubarokah). Al-Quran telah menyatakan
hal ini dengan sangat jelas: (إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مُبَارَكَةٍ) Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi. (QS ad-Dukhan [44]: 3). (إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ
الْقَدْرِ)
Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar). (QS al-Qadr
[97]: 1).
Ali ash-Shabuni menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ (Malam yang
Diberkahi) adalah malam yang sangat agung dan mulia, yaitu لَيْلَةِ الْقَدْرِ, yang terdapat pada bulan yang penuh berkah (bulan Ramadhan).
Hal senada dinyatakan oleh Ibn Jauzi.لَيْلَةِ الْقَدْرِ juga disebut sebagai malam yang
penuh keberkahan, karena pada malam itu Allah Swt. menurunkan kepada hamba-Nya
al-Quran al-Karim yang di dalamnya berisi keberkahan, kebaikan, dan
pahala.Allah Swt. telah memuliakan bulan Ramadhan di antara bulan-bulan yang
lain. Ini bisa dimengerti karena bulan Ramadhan telah dipilih Allah Swt. untuk
menurunkan al-Qur’an al-‘Azhim.
Ayat ini juga menjelaskan fungsi
al-Quran sebagai هُدًى لِلنَّاسِ (petunjuk bagi manusia), بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى (penjelas), dan الْفُرْقَانِ (pemisah/pembeda).
Imam Qurthubi mengatakan, bahwa tafsir dari firman Allah Swt. هدى للناس وبينات من
الهدى والفرقان adalah sebagai berikut:
هدى dibaca nashab karena ia berkedudukan
sebagai حال dari al-Quran. Susunan kalimat
semacam ini bermakna هاديا لهم (petunjuk untuk
mereka). Frasa وبينات berkedudukan sebagai عطف عليه. Lafadz الهدى sendiri bermakna الارشاد والبيان (petunjuk dan
penjelasan). Maknanya, al-Quran secara keseluruhan—baik ayat-ayat muhkâm,
mutasyabihat, maupun nasikh dan mansukh—jika dikaji dan diteliti secara
mendalam, akan menghasilkan hukum halal dan haram, nasihat-nasihat, serta
hukum-hukum yang penuh hikmah. Adapun الفرقان bermakna ما فرق بين الحق والباطل” (hal yang bisa memisahkan antara yang haq dan yang batil).
Frasaهدى للناس juga bermakna رشادا للناس الى سبيل الحق وقصد
المنهج
(petunjuk kepada umat manusia menuju
jalan kebenaran dan metode yang lurus); وبينات من الهدى bermakna واضحات من الهدى (petunjuk-petunjuk
yang sangat jelas), artinya bagian dari petunjuk yang menjelaskan tentang hudud
Allah, fara’idh-Nya, serta halal dan haram-Nya; الفرقان bermakna الفصل بين الحق والباطل (pemisah antara
kebenaran dan kebathilan). Makna semacam ini sejalan dengan hadis yang
diriwayatkan dari al-Suddi (yang artinya), “ Maksud dari firman Allah Swt. وبينات من الهدى
والفرقان
adalah بينات من الحلال والحرام. (penjelasan yang menjelaskan halal
dan haram).
Al-Hafidz al-Suyuthi juga menjelaskan,
bahwa الهدى bermakna petunjuk yang dapat
menghindarkan seseorang dari kesesatan; بينات من الهدى bemakna ayat-ayat yang sangat jelas
serta hukum-hukum yang menunjukkan seseorang kepada jalan yang benar; dan الفرقان bermakna pemisah antara kebenaran
dan kebatilan. Ayat di atas telah menggambarkan betapa Allah Swt. telah
memuliakan dan mengagungkan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan yang lain.
Sebab, pada bulan itu Allah Swt. menurunkan al-Quran yang berisikan petunjuk,
penjelasan, serta pemisah antara yang haq dan yang batil. Tidak hanya itu,
al-Quran juga adalah sumber segala sumber hukum bagi kaum Muslim yang tidak
boleh diingkari dan diacuhkan. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah berkata, “
Barangsiapa tidak mau membaca al-Quran berarti ia mengacuhkannya; barangsiapa
membaca al-Quran namun tidak menghayati maknanya berarti ia juga
mengacuhkannya; barangsiapa yang membaca al-Quran dan telah menghayati maknanya
tetapi tidak mau mengamalkan isinya berarti ia mengacuhkannya.”[33][33]
E. Lathaif Al-Tafsir
a) Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan
bahwasanya puasa merupakan ibadah yang telah disyari’atkan (diwajibkan) sejak
zaman dahulu, namun para ahli kitab sekarang telah merubah dan mengganti
kewajiban ini karena kewajiban tersebur seringkali bertepatan dengan musim
ranas ataupun dingin sehingga memberatkan bagi mereka namun mereka menggantinya
di hari lain dengan menambah bilangannya sampai 50 hari.
b) Lafadz فعدة من ايام اخر memberikan kemudahan
bagi kita dalam berpuasa bila kita dalam keadaan payah.
c) Bahwasanya berpuasa adalah
mewariskan sifat taqwa. Di dalam firman-Nya yang berbunyi لعلكم
تتقون ,mengandung
arti bahwa dibalik kewajiban puasa tersimpan suatu faidah yang besar dan hikmah
yang mulia, salah satunya yaitu dengan berpuasa karena Allah menambah ketaqwaan
kita dan mampu mengekang hawa nafsu.
d) Menurut Imam Qafal ada beberapa
faidah di dalamnya yaitu :
-
pensyariatan
puasa pada umat sekarang meneladani pada umat-umat terdahulu
-
puasa
merupakan suatu jalan menuju ketaqwaan kepada Allah swt.
-
Puasa
diwajibkan hanya pada hari-hari tertentu, jikalau tidak maka akan menimbulkan
masyaqqat (bahaya) yang besar bagi umat manusia.
-
Puasa
diwajibkan pada bulan Ramadlan karena itu adalah bulan yang mulia.
-
Puasa
meniadakan bahaya diatas kewajibannya, misalnya ketika seseorang sedang
bepergian atau sakit maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, hal itu
menunjukkan kasih sayang Allah swt.
e) وعلى الذين يطيقونه
فدية طعام مسكين Allah tidak
pula memberatkan bagi orang yang tua renta ataupun yang mempunyai halangan
untuk berpuasa selamanya maka boleh baginya untuk mengganti puasa dengan
membayar fidyah.
f) فَمَن
شَهِدَ مِنكُمُ menunjukkan bagi orang yang mengetahui masuknya bulan
Ramadlan entah itu hanya 1 orang atau 2 orang maka dia berkewajiban untuk
memberitahukan kepada semua orang tentangnya. فَلْيَصُمْهmenunjukkan kewajiban puasa bagi orang yang
mengetahuinya tadi untuk berpuasa jika tidak ada halangan yang menyertainya.
g) يُرِيدُ
الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak menyulitkan umat
manusia karena Islam adalah rahmatan lil alamin, hal ini juga sesuai denga
kaidah ushul fiqh yang berbunyi المشقّة
تجلب التيسير.[34][34]
DAFTAR PUSTAKA
Al- baghawi, Abu Muhammad al-Hasan bin Mas`ud. Mualim at-Tanzil.
(Dar-at-Tayyibah,1997.Juz 8.cetakan ke-4.
Al- baidhowi, Nashir al-Din Abu
Said `Abdullah bin Umar bin Muhammad as-Sairazi. Anwar At-tanzil wa asr Ar
at-ta`wi Al-ma`ruf. Mawaqi` at-Tafasir
Al-Jazairi, Abu Bakar. Aisir at-Tafasir. Mawaqi` at-Tafasir
Al-Mahalli,
Jalal ad-DinMuhammad bin Ahmad dan Jalal ad-Din `Abd ar-Rahman bin Abu Bakar
AS-Suyuthi. Tafsir AL-Qur`an. Mawaqi` islam
Al-Naisaburi, Al-Hasan bin Muhammad bin husain. Gharaib Al-Qur`An Wa
Raghaib Al-Fur`Qon. Mawaqi` at-Tafasir.
Al-Jauzi,
Abd ar-Rahman bin `Ali bin Muhammad. Zad al-Muyassir fi `Ilm al-Qur`an.
Mawaqi at-Tafasir
At-Thabari , Abu Ja`Far. Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an.Muassis ar-Risalah:2000
Al-Shobuni, Muhammad Ali.Rawa’iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam min Al-Qur’an.Maktabah
Al-ghozali,Damsyiq.
Ayatul ahkam
Al-Zamakhsyari, Abu al-Qosam Mahmud ibn Umar ibn Ahmad. Al-Kasyaf. Mawaqi` at-Tafasir
As-Suyuti, Jalaluddin.Riwayat
Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an.Terj.Abdul Mujieb AS.Mutiara
Ilmu:Surabaya.
http://imamrochmad.blogspot.com/2010/08/sejarah-turunnya-syariat-puasa-ramadhan.html
0 comments