BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual Beli
Secara
etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara
terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan
kenikmatan.
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang
lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis simpulkan
bahwa jual beli adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak penjual dan
pembeli.
·
Dasar
Hukum
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah,
ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman: “Dan Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.”
·
Klasifikasi
Jual Beli
Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian
berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai
berikut:
1.
Berdasarkan
Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi
menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Jual beli umum, yaitu menukar uang
dengan barang.
b. Jual beli as-Sharf (Money Changer),
yaitu penukaran uang dengan uang.
Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang
dengan barang.
2.
Berdasarkan
Standardisasi Harga
a)
Jual
Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak
memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b)
Jual
Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang
dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
-
Jual
beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
-
Jual
beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang
diketahui.
-
Jual
beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal,
tanpa keuntungan atau kerugian.
B.
JUAL BELI PATUNG DAN BANGKAI
a.
Patung
Jika kita
kebetulan lewat di sebuah desa wisata di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, tepatnya
adalah Desa Kasongan, akan kita jumpai banyak orang yang menjajakan berbagai
jenis patung, yang sebagiannya adalah patung berhala alias sesembahan, semisal
Patung Buddha. Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata para penjual tersebut adalah
orang Islam. Demikian pula, jika dari Yogyakarta, kita pergi ke arah Magelang
melalui Jalan Magelang, niscaya di pinggiran jalan di daerah Muntilan, akan
kita jumpai banyak penjual patung--yang tidak sedikit sebagian dari patung
tersebut adalah patung sesembahan, semisal Patung Buddha--. Bolehkah orang
Islam memperjualbelikan patung?
Jawabannya ternyata kita jumpai langsung dari hadis
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya sebagai berikut,
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di Mekah, saat penaklukan kota Mekah,
"Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai,
babi, dan patung." (HR. Bukhari, no. 2236 dan Muslim, no. 4132)
Hadis ini adalah dalil tegas yang menunjukkan
haramnya jual beli patung. Patung--sebagaimana yang kita ketahui bersama--boleh
jadi berupa batu yang dipahat, terbuat dari besi, tanah liat, ataupun materi
yang lain. Patung itu, boleh jadi, berbentuk manusia, hewan, ataupun bentuk
setan (baca: dewa dan dewi) yang ada dalam khayalan para penyembahnya.
Seluruhnya adalah patung yang terlarang untuk diperjualbelikan.
Tentang mengapa jual beli patung dilarang, maka
jawaban para ulama adalah: karena tidak ada manfaat mubah yang ada di dalamnya.
Patung--bisa jadi--dimanfaatkan untuk disembah, dan ini tentu terlarang. Boleh
jadi, patung itu sekadar untuk hiasan, dan ini juga manfaat yang terlarang,
karena malaikat yang Allah tugasi untuk menebar keberkahan di muka bumi itu
tidak akan memasuki tempat yang di dalamnya terdapat patung.
Dari Ubaidillah bin Abdullah, beliau mendengar Ibnu
Abbas bercerita bahwa Abu Thalhah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, "Malaikat penebar keberkahan itu tidak akan memasuki
suatu rumah yang di dalamnya ada anjing atau patung." (HR. Bukhari, no.
3225)
Jika kita memiliki patung dari kayu, maka menjualnya
adalah suatu hal yang terlarang, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
melarangnya. Namun, pecahan patung kayu tersebut boleh diperjualbelikan karena
pecahan patung kayu itu bukanlah patung, dan sama sekali tidak alasan untuk
melarang jual beli pecahan patung kayu. Yang termasuk shanam atau berhala
adalah salib, yang merupakan simbol agama Nasrani. (Taudhih Al-Ahkam, juz 4,
hlm. 254)
Dari Adi bin Hatim--seorang shahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, mantan Nasrani--, "Aku mendatangi Nabi,
sedangkan di leherku terdapat kalung salib yang terbuat dari emas." Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, "Wahai Adi, singkirkan berhala
itu dari dirimu." (HR. Tirmidzi, no. 3378)
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh
memperjualbelikan kalung salib. Dengan menjual kalung salib, berarti dia telah
menjual berhala yang dilarang oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan,
hendaknya seorang muslim meneladani Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, terkait
dengan gambar berbentuk salib, sebagaimana yang terdapat dalam hadis berikut,
"Dari Imran bin Hiththan, bahwa sesungguhnya
Aisyah bercerita bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak pernah
membiarkan satu pun benda yang mengandung gambar salib melainkan gambar salib
tersebut akan beliau rusak." (HR. Bukhari, no. 5952)
b. Bangkai
Setelah kita
membahas syarat-syarat sah transaksi jual beli dan menimbang bahwa hukum asal
transaksi jual beli adalah boleh sampai terdapat dalil yang melarangnya--dengan
kata lain, semua jual beli yang tidak tercakup dalam larangan adalah jual beli
yang diperbolehkan--maka kita mengkaji bentuk-bentuk jual beli yang dilarang
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di Mekah saat penaklukan kota Mekah,
"Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai,
babi, dan patung." Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apa
pendapatmu mengenai jual beli lemak bangkai, mengingat lemak bangkai itu
dipakai untuk menambal perahu, meminyaki kulit, dan dijadikan minyak untuk
penerangan?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak
boleh! Jual beli lemak bangkai itu haram." Kemudian, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semoga Allah melaknat Yahudi.
Sesungguhnya, tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya
lalu menjual minyak dari lemak bangkai tersebut, kemudian mereka memakan hasil
penjualannya." (HR. Bukhari, no. 2236 dan Muslim, no. 4132)
Hadis di atas menunjukkan haramnya jual beli
bangkai, dan ini adalah suatu hal yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin.
Bangkai adalah binatang yang mati tidak dikarenakan
penyembelihan yang sesuai syariat. Semua binatang yang haram dimakan itu
berstatus sebagaimana bangkai, meski disembelih dengan cara-cara yang diajarkan
oleh syariat.
Berdasarkan uraian tersebut, maka di antara contoh
jual beli bangkai adalah jual beli tongseng "jamu" (baca: tongseng
daging anjing) karena daging anjing adalah daging yang haram dimakan. Di
samping itu, anjing dimatikan dengan cara dimasukkan ke dalam karung lalu
dipukuli atau dengan cara dicekik, sehingga jelaslah bahwa daging anjing itu
bangkai dari dua sisi.
Contoh lain adalah jual beli ayam tiren ("mati
kemaren") yang dibeli oleh sebagian penjual makanan. Sebab pengharaman
jual beli bangkai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah karena bangkai
itu haram dikonsumsi, sebagaimana dalam hadis di atas, Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam mengatakan, "... Sesungguhnya, tatkala Allah mengharamkan lemak
bangkai ...."
Oleh karena itu, berdasarkan hal ini, semua zat yang
haram dikonsumsi itu haram untuk diperjualbelikan. Najis adalah termasuk hal
yang diharamkan oleh Allah, sehingga hadis di atas adalah dalil untuk
pengharaman jual beli najis. Berdasarkan itulah, mayoritas ulama mengharamkan
jual beli najis.
Meskipun demikian, para ulama yang ber-Mazhab Hanafi
memperbolehkan jual beli najis yang mengandung manfaat yang dihalalkan oleh
syariat. Karenanya, mereka memperbolehkan jual beli kotoran binatang yang najis
yang sangat diperlukan sebagai pupuk. Demikian pula dengan najis yang bisa
dimanfaatkan untuk menyalakan perapian. (Tamam Al-Minnah fi Fiqh Al-Kitab wa
Shahih As-Sunnah, juz 3, hlm. 295)
Akan tetapi, pendapat tersebut kurang tepat. Dalam
hadis di atas, para shahabat menyampaikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang beberapa manfaat mubah dari lemak bangkai. Kendati begitu, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tetap melarang jual beli lemak bangkai, walaupun
untuk dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang mubah.
Sebagai tambahan, patut diketahui bahwa tanduk,
tulang, dan bulu bangkai--dalam bahasa Arab--tidak bisa disebut
"mayyit" (bangkai). Oleh karenanya, diperbolehkan untuk
memperjualbelikan ketiga benda tersebut, sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Kulit bangkai, jika sudah disamak, juga boleh
diperjualbelikan, sedangkan jika belum disamak maka tidak boleh
diperjualbelikan karena kulit bangkai yang belum disamak itu najis.
D. PENDAPAT PARA ULAMA
1. PATUNG
Jual beli patung untuk dimanfaatkan
serpihan-serpihannya
Bila telah dihancurkan maka diperbo-lehkan menjual
atau membeli serpihan-serpihannya, sebab dia tidak lagi dalam bentuk patung.
Adapun bila masih dalam wujud patung maka ada perbedaan pendapat di kalangan
fuqaha:
·
Jumhur
ulama berpendapat tidak diperbolehkan.
·
Sebagian
ulama dari kalangan Syafi’iyah membolehkannya.
Yang rajih adalah pendapat jumhur, karena masuk pada
keumuman larangan hadits di atas.
2. BANGKAI
Para ulama telah sepakat bahwa boleh menggunakan dan
memperjualbelikan bulu hewan yang masih hidup.
Adapun hewan yang telah menjadi bangkai, maka mereka
berbeda pendapat:
·
Jumhur
ulama berpendapat: Boleh diperjualbelikan.
·
Asy-Syafi’i
dan ‘Atha` berpenda-pat: Tidak boleh diperjualbelikan.
Yang rajih adalah pendapat jumhur, dengan dasar
firman Allah I:
“(Dia jadikan pula) dari bulu domba, bulu onta dan
bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai
waktu (tertentu).” (An-Nahl: 80)
Ayat ini umum dan mencakup hewan yang masih hidup
ataupun yang telah mati.
Juga dengan dasar hadits:
“Sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya.”
Sehingga boleh dipergunakan kecuali daging, tulang,
gajih (lemak), dan yang semisalnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara
etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara
terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan
kenikmatan.
Menjual adalah
memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu
menerimanya.
Dapu hukum
memperjual belikan patung,
bila telah dihancurkan maka diperbo-lehkan menjual atau
membeli serpihan-serpihannya, sebab dia tidak lagi dalam bentuk patung. Adapun
bila masih dalam wujud patung maka ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha:
·
Jumhur
ulama berpendapat tidak diperbolehkan.
·
Sebagian
ulama dari kalangan Syafi’iyah membolehkannya.
Begitu
juga halnya dengan memperjual belikan bangkai atau hewan n
yang telah menjadi bangkai, maka para
ulama juga berbeda pendapat:
·
Jumhur
ulama berpendapat: Boleh diperjualbelikan.
·
Asy-Syafi’i
dan ‘Atha` berpenda-pat: Tidak boleh diperjualbelikan.
B. Saran
Dengan
selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
DAFTAR PUSTAKA

0 comments