MAKALAH Pengertian ‘Amm



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
‘Am menurut bahasa ialah ‘merata, yang umum’ sedang menurut istilah ialah lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekaligus
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal. Sedangkan menurut Al-Bazdawi, khas adalah setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).lafadz takhsis merupakan masdar dengan arti menentukan atau mengkhususkan. Untuk lebih jelasnya akan kami bahas pada bab selanjutnya.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    ‘AMM
1.   
‘Am menurut bahasa ialah ‘merata, yang umum’ sedang menurut istilah ialah lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekaligus.[1]
Lafazh ‘Am ialah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Ushul Fiqh memberi definisi ‘am antara lain sebagai berikut:
a.       Menurut ulama Hanafiyah lafazh ‘am ialah setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.
b.      Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali menyebutkan bahwa lafazh ‘am ialah satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.[2]
2.      Macam-macam lafal ‘Am
a.       lafal kullun, jami’un, kaaffah, ma’asyar (artinya seluruhnya)Masing-masing lafal tersebut meliputi segala yang menjadi mudhaf ilaihi dari lafal-lafal itu.
 Contohnya:
·         Kullun
“Tiap-tiap (seluruh) yang berjiwa akan merasakan mati.”(Q.S.Ali Imran [3]: 185
·         Jami’un
“Dialah Allah yang menjadikan bagimu apa-apa yang ada dibumi, semuanya.” (Q.S.al Baqarah [2]: 29)
·         Kaaffah
“Dan kami tidak mengutusmu melainkan kepada seluruh manusia.” (QS. Saba’ [34] : 28)
·         Ma’syar
“Hai sekalian jin dan manusia ! Apakah tidak pernah datang kepadamu rasul-rasul dari golongan-mu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu bahwa akan ada pertemuan hari (kiamat) ini?” (QS. Al-An’am [6] : 131)
b.      IsimIstifham ialah man (siapa), ma (apa), aina (dimana), ayyun (siapakah)dan mata (kapan).
Contohnya:
·         Man (siapa)
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik?” (QS. Al-Baqarah [2] : 245)
·         Ma (apa)
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS. Al-Mudatsir [74] : 42)
·         Ayyun (siapakah)
“Siapakah diantara kamu yang bisa membawa singgasana kerajaannya (Bilqis) ke hadapanku sebelum mereka datang berserah diri.” (QS. An-Naml [27] : 38)
·         Mata (kapan)
“Kapan datangnya pertongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 215)
·         Aina (dimana)
أ ين مسكنك
“Dimanakah tempat tinggalmu?”
c.       Isim syarat, seperti man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja)
Contohnya:
·         Man (barang siapa)
Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan karena kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 123)
·          Ma (apa saja)
 “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup dan sedikitpun kamu tidak akan dianiya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 272)
·         Ayyun (mana saja) ; ayyuma (siapa saja) :(
“Dengan apa saja kamu seru Dia, maka ia mempunyai nama-nama yang baik.” (QS. Al-Isra’ [17] : 110)
أ يما ا مرأة سأ لت زو جحا الطالاق من غير ما بأس فحدام عليحا راءحة الجنة
Siapa saja perempuan yang meminta ditalak oleh suaminya tanpa alasan maka haram baginya harum-haruman surga.” (HR. Ahmad)
d.      Isim Mufrad yang makrifat dengan alif lam (al) atau idhafah:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah potong tangannya.”(QS. Al-Maidah [5] : 38)
e.       Jama’ yang dita’rifkan (makrifat) dengan alif lam atau dengan idhafah:
Makrifat dengan alif lam (al)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5] : 42)
Makrifat dengan idhafah :
“Terlarang bagimu (mwngawini) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 23)
f.       Isim Nakirah yang terletak sesudah Nafi :
“Jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat) yang pada hari itu, seorang pun tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun.” (QS. Al-Baqarah [2] : 48)
g.      Isim maushul (alladzi, alladziina, allatina, ma) 
“Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang itu makan apa pada perut mereka.” (QS. An-Nisa’ [4] : 10)
3.      Kaidah beserta contohnya
          إ دا ورد العام عل سبب خاص فالعبرة بعموم اللفظ لا بجصوص السبب
“Apabila ‘am datang karena sebab khash, yang dianggap adalah umumnya lafal, bukan khusunya sebab”
            Contoh :
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw :
فإن توضأنا به عطشنا أفنتوضأ بماءالبحر’ فقال ص م ل هوالطهورماءوه والحل ميتته
“Hai Rasulullah! Bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan, sedangkan bekal air hanya sedikit. Kalau berwudhu dengan air ini, tentu kita akan kehabisan air, apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Nabi saw. lalu bersabda: “Laut itu airnya suci dan bangkai binatangnya halal (dimakan).”
Jawaban itu seolah-olah diberikan karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Akan tetapi, sesuai dengan kaidah di atas, maka pengertian jawaban Nabi saw. itu menunjukkan yang ‘am. Hukum itu berlaku, baik dalam keadaan memaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian yang umum.[3]

B.     KHASHS
1.      Pengertian Khas
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal. Sedangkan menurut Al-Bazdawi, khas adalah setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).[4]
Dapat disimpulkan juga bahwa, khas ialah perkataan atau susunan yang menunjukkan arti sesuatu yang tertentu, tidak meliputi arti umum. Atau menunjukkan satu jenis, seperti perempuan. Jadi khas itu kebalikan dari ‘am.
Dalam hal ini ada beberapa kata-kata yang erat sekali dengan khas, takhsis, mukhasis dan makhsus. Takhsis artinya menentukan, yakni mengeluarkan sebagian yang masuk di bawah lingkungan umum ketika tidak ada yang menakhsis (mukhasis). Sedangkan mukhasis ialah: a) orang yang mempergunakan takhsis; b) dalil yang dipakai takhshish. Makhsus ialah ‘am yang sudah terkena takhshish.
2.      Macam-Macam Mukhasis
Mukhasis terbagi 2 macam, yaitu:
a.       Mukhasis muttasil
Mukhasis muttasil yaitu yang tidak berdiri sendiri, maknanya berkaitan dengan lafal sebelumnya.
Misalnya: Dan janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan (membunuhnya), kecuali dengan jalan yang dibenarkan.” (QS. Al-An’am [6] :151)
Susunan Janganlah kamu membunuh sesuatu jiwa manusia yang telah Allah haramkan membunuhnya itu menunjukkan umum, artinya tidak boleh membunuh seorang pun, kecuali dengan jalan yang benar, yaitu qishash atau di dalam pertempuran.[5]
3.      Pendapat Ulama
Menurut golongan Jumhur Ulama, antara lain Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khas itu dilalah-nya qath’i,namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha-nya (asal pemasangannya); sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khas itu. dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a.       Nash khas menerima penjelasan dan perubahan
b.      Lafazh khas Al-Quran menurut pendapatnya tetao menerima penjelasan dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafadz mujmal. Oleh sebab itu, lafadz khash mungkin saja berubah melalui penjelasan; sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalah-nya dari segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khas itu sendiri, seperti hadits ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas-nya tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih.
Contohnya: pengertian ruku’ pada ayat: 
واركعوا مع الراكعين
“Ruku’lah bersama-sama orang-orang yang ruku’.”
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam shalat sebagaimana lafadz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum; yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan bahwa sesungguhnya ruku; yang diperintahkan pada ayat itu merupakan bagian fardhu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.

C.     TAKHSISH
1.      Pengertian Takhsish
Secara etimologi lafadz takhsis merupakan masdar dengan arti menentukan atau mengkhususkan. Sedangkan secara terminologi ada  beberapa definisi yang diajukan ulama ushul mengenai takhsis, sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, diantaranya: Menurut ulama’ ushul fiqih Takhsis ialah mengeluarkan sebagian satuan-satuan lafadz ‘aam dari ketentuan lafadz ‘aam, dan lafadz ‘aam tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang lain (yang tidak di takhsis(dikeluarkan)). Seperti halnya ayat perintah haji. Haji diwajibkan bagi seluruh umat muslim tapi di akhir lafadz ada pengecualian yakni bagi yang sudah mampu.[6]
Sedangkan menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘aam bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘aam dengan dalil.
Imam Malik, tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat mentakhsis lafazh ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar Ahad. Seperti “Dan Allah menghalakan (menikah) selain itu (yang telah disebut)” ditakhsis dengan hadits “Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.” Khabar Ahad yang dapat digunakan untuk mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an menurut Imam Malik adalah Khabar Ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.
Menurut Hanafiyah, bila lafazh ‘amm dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khas dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh mansukh.[7]
2.      Macam-Macam Takhsish
Takhsis ada dua macam yaitu takhsis muttasil (langsung) yakni antara lafadz yang umum (amm) langsung di sambung dengan lafadz yang menaksisnya, dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama. Kemudian takhsis munfasil (tidak langsung) yakni takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah. Takhsis munfasil dan takhsis jenis ini diuraikan menjadi berbagai macam, yaitu:
a.       Takhsis Al Qur’an dengan Al Qur’an
Seperti dalam surat berikut: “Para wanita yang diceraikan, mereka menunggu iddah (sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena mati atau karena suaminya hidup) meraka harus menunggu selama tiga kali sucian (tiga bulan dan tiga kali masa haid)”. (Surat Al Baqarah ayat 282).
Ayat tersebut bersifat umum (‘amm) untuk seluruh wanita yang diceraikan. Namun ternyata ayat tersebut di-takhsiskan dengan ayat lain pada surat Al Ahzab ayat 49 tentang para wanita yang dicerai sebelum sempat digauli suaminya yang berbunyi: “Hai sekalian orang beriman, jika kalian menceraikan wanita-wanita sebelum sempat kalian gauli, maka tiadalah bagi kalian menunggu iddah perempuan-perempuan yang diceraikan itu yang kamu minta untuk menyelesaikannya”.
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
b.      Takhsis Al Qur’an dengan Sunnah.
Seperti firman Allah : “Allah mewariskan kepada kalian bahwa waris anak-anak kalian ialah bagi seorang anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak-anak perempuan”. (An Nisa’ ayat 10). Ayat ini mengandung arti umum (‘amm) untuk semua anak, baik anak itu seagama atau tidak.
Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.(Al-Maidah:38). Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (H.R. Al-Jama’ah). Dari ayat dan Hadis di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
c.       Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an
Misalnya Hadis Nabi SAW yang berbunyi: “Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh).
Hadis di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (Al-Maidah:6).
Keumuman Hadis di atas tentang alat-alat berwudhu harus dengan air, kalau tidak dengan air niscaya shalatnya tidak sah, maka keumuman Hadis ini di takhsis oleh ayat di bawah, dengan pengertian orang yang tidak mendapat air/tidak bisa menggunakan air, boleh bertayamum sebagai ganti dari wudhu.
d.      Takhsis Sunnah dengan Sunnah.
Seperti hadist Nabi SAW yang Sohih : “Dalam (hasil pertanian) yang diairi dari air hujan, zakatnya adalah sepersepuluh”. Hadis ini bersifat umum (‘amm). Keumuman Hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya, baik hasil pertanian itu sedikit atau banyak. Hadist ini ditakhsis dengan hadist sohih yang lain, yang berbunyi: “Tidak ada kewajiban zakat bagi hasil pertanian dibawah lima ausuq (bagi hasil tanaman)”.
Dari kedua Hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
e.       Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.
Contohnya: “apabila dipanggiluntuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.(Al-Jum’ah ayat 9).  
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalatJum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.
f.       Mentakhshish Al-Qur’an dengan Qiyas.
Misalnya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (An-Nur ayat 2).
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa’ ayat 25: “Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka setengah hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”. (An-Nisa’:25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah separuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
g.      Mentakhshish dengan akal.
Takhsis dengan akal ini boleh untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan suatu hukum. Sebagai contoh adalah firman Allah : “Allah adalah pencipta segala sesuatu”. (Surat Arro’du ayat 16). Maknanya adalah hakekat segala sesuatu itu wujud dari Daya Cipta Allah, walau secara tidak langsung. Seperti wujud sebuah mesin, adalah ciptaan manusia. Tetapi pada hakekatnya Allah lah yang dengan kekuasan-Nya menyebabkan seseorang mampu membuat mesin.
h.      Takhsis dengan rasa pemahaman.
Seperti halnya takhsis dengan akal, takhis ini berlaku untuk kasus non hukum. Seperti firman Allah dalam surat An Anam: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang menguasai mereka (sebagai ratu) dan dia telah dikurniai segala sesuatu,dan padanya ada tahta agung”. Dalam ayat ini seakan semua kerajaan adalah milik dia, tetapi kenyataanya bahwa ada banyak kurnia yang lebih besar yang dimiliki Nabi Sulaiman.
i.        Takhsis dengan kalimat sebelumnnya.
Seperti firman Allah dalam surat Al- A’rof ayat 162: “Dan tanyakan pada mereka tentang sebuah desa yang berada didekat laut”. Berdasarkan kalimat sebelumnya, yang dimaksud dengan desa itu adalah para penduduknya, seperti firman Allah: “Yaitu tatkala penduduk desa itu melanggar larangan Allah dihari Sabtu”.
j.        Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish Hadis dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan Hadis yang ditakhshishnya. Misalnya: “Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah dia”. (MuttafaqAlayh).
Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi Hadis tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum Hadis tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman Hadis di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.

D.    MUTLAQ dan MUQAYYAD
a.       Pengertian lafadz muthlaq  dan muqayyad.
Dalam memberikan definisi pengertian muthlaq terdapat pada beberapa rumusan yang berbeda, namun saling berkaitan.
1.      Muhammad Al Khudhari Beik, memberikan definisi :[8]
المطلق ما دل على فرد او افراد شا ئعة بدون قيد مستقل لفظا
Muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2.      Abu Zahrah memberikan definisi :[9]
اللفظ المطلق هو الدي يدل على موضوعه من غير نظر الى الواحدة اوالجمع
اوالوصف بل يدل على الماهية من حيث هي
Lafadz muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk  kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Dengan demikian muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.[10]
Contohnya, Firman Allah dalam QS. Al Mujadalah : 3 :
فتحرير رقبة من قبل ان يتمسا
“ Maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Lafadz raqabah رقبة  yang berarti hamba sahaya itu adalah muthlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.
Muqayyad (yang diikatkan kepada sesuatu) yaitu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafadz itu suatu sifat.
Contohnya firman Allah QS. An-Nisa : 92 :
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Disini tidak sembarang hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, yaitu hanyalah hamba sahaya yang beriman.
Jadi perbedaan antara muthlaq dan muqayyad itu adalah bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Sedangkan muqayyad, menunjukkan kepada hakikat sesuatu tetapi memperhatikan beberapa hal, baik jumlah (kuantitas) atau sifat dan keadaan.
a.     Hukum lafadz muthlaq dan muqayyad
Ada beberapa bentuk pola hubungan antara lafadz muthlaq dan muqayyad yang menjadi perbincangan di kalangan ulama’ ushul fiqh.
1.      Hukum yang disebutkan dan sebab yang menimbulkan hukum itu adalah sama.
Contoh muthlaq QS.Al Maidah : 3 :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير
“ Diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah dan daging babi”.
Kata   الدم (darah) dalam ayat tersebut adalah muthlaq karena tidak diikat oleh sifat atau syarat apapun.
Contoh muqayyad QS. Al An’am : 145 :
قل لا اجد فيما اوحي الي محرما على طاعم يطعمه الا ان تكون ميتة اودما
مسفوحا او لحم خنزير
“ Katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan kepadaku tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.”
         Dalam ayat ini kata    الدم (darah) diberi sifat dengan masfuh (mengalir). Tetapi hukum dalam kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama haramnya. Demikian juga sebab yang menimbulkan hukum juga sama yaitu “darah”.
         Oleh karena itu ditanggungkan muthlaq mutlaq atas muqayyad, dalam arti hukum lafadz mutlaq harus dipahami sesuai lafadz muqayyad. Dalam contoh diatas darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
2.      Hukumnya sama tetapi sebab yang menimbulkan hukum berbeda.
Contoh mutlaq QS. Al Mujadalah : 3 :
فتحرير رقبة من قبل ان يتمسا
“Maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Contoh muqayyad QS. An Nisa : 92 :
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
             Dalam ayat pertama lafadz raqabah dalam bentuk mutlaq, sedangkan ayat kedua lafadz raqabah diberi qayyid dengan lafadz mu’minah. Sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat berbeda, pada lafadz mutlaq adalah kasus kifarat zihar. Sedangkan pada ayat muqayyad karena pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum kedua ayat adalah sama, yaitu memerdekakan hamba sahaya.
3.      Hukum yang berbeda tetapi sebab yang menimbulkan adalah sama.
Contoh Muqayyad QS. Al Maidah : 6 :
يايها الدين امنوا اداقمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق
               “Hai orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”
               Contoh mutlaq :
فان لم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم منه
               “Bila kamu tidak menemukan air, bertayamumlah dengan tanah yang bersih basuhlah mukamu dan kedua tanganmu dengan bersih”
                        Hukum dalam kedua ayat tersebut berbeda, yaitu pada muqayyad berbicara tentang wudlu. Sedangkan pada contoh mutlaq berbicara tentang tayammum. Namun sebab dari kedua ayat tersebut adalah sama tentang keharusan bersuci untuk shalat.
4.      Sebab yang menimbulkan hukum dan hukumnya yang menimbulkan adalah sama.
Contoh mutlaq QS. Al Maidah : 38 :
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya”
Contoh muqayyad QS Al Maidah : 6:
 يايها الدين امنوا اداقمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق
 “Hai orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”
                        Hukum kedua ayat tersebut berbeda. Pada mutlaq diharuskan dipotong tangannya, pada muqayyad keharusan mencuci tangan. Sebab berlakunya hukum juga berbeda. Pada mutlaq adalah sanski karena mencuri, sedangkan pada muqayyad adalah berwudlu untuk shalat.
                        Dalam hal ini ulama’ sepakat mutlaq dan muqayyad berlaku sendiri-sendiri. Berarti hukum memotong tangan untuk mencuri boleh sampai mana saja pada tangan. Sedangkan hukum berwudlu tangan yang dicuci harus sampai siku.

E.     MUSYTARAK
Kata Musytarak adalah bentuk mashdaryang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti “bersekutu” seperti dalam ungkapan اشتركالقوم yang berarti “kaum itu bersekutu”. Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:
اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر دلالة على السوأ عند اهل تلك اللغ
                  Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”

Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل
                  Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”
Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata قرء  yang dalam pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidh, lafadz عين bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata “"يد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنة  dapat berarti tahun untukhijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi.
a.    Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarakdalam bahasa arab sangat banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1.    Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (كله ذراع). Satukabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف). Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
2.    Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan majaz.
3.    Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد)) antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.
b.    Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a.    Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilahsyara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b.    Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkanqarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
c.    Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu artilafadz lafadz tersebut, menurut golongan Hanafiyah harusdimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.
c.    Contoh-contoh Lafadz Musytarak
      Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yaitu:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
                  Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).[11]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
‘Am menurut bahasa ialah ‘merata, yang umum’ sedang menurut istilah ialah lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut sekaligus
Khas adalah suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal. Sedangkan menurut Al-Bazdawi, khas adalah setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak). lafadz takhsis merupakan masdar dengan arti menentukan atau mengkhususkan.

B.     Saran
Demikianlah isi pembahasan makalah ini, tentunya masih ada kesalahan atau kesilapan dalam penulisan maupun penuturan, oleh seba itu kritikan dan saran yang membangun jiwa pemakalah sangat kami harapkan.




DAFTAR PUSTAKA

Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: Alma’arif, 1973) Cet. Ke-1
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushu Fiqh,  (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996)
Djaliel Maman Abd, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001 )
Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN Press),
H.M Suparta. Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Toha Putra: Semarang, 2005)





[1] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: Alma’arif, 1973) Cet. Ke-1, hal. 52
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushu Fiqh,  (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 193
[3] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, hal. 59
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushu Fiqh, 187
[5] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, hal. 59
[6] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h 186.
[7] Djaliel Maman Abd, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 30.
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001 ), h. 116.
[9] Ibid.,
[10] Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN Press), h. 239
[11] H.M Suparta. Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Toha Putra: Semarang, 224)

0 comments

SYARIAT ISLAM

KISAH NABI SULAIMAN A.S-Kisah Tauladan Para Nabi Allah KISAH NABI SULAIMAN A.S Allah s.w.t berfirman: "Dan sesungguhnya Kami...

Ikuti

Powered By Blogger

My Blog List

Translate

Subscribe via email