Makalah Hadits
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia yang tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini
terselesaikan dengan baik, shalawat dan
salam kepada janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw. pembawa risalah Allah swt mengandung pedoman hidup
yang terang bagi umat manusia didunia
dan diakhirat.
Makalah ini mengkaji tentang “Hadits Tentang Malu Itu
Sebagian Dari Iman”. Saya sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah
jauh dari kesempurnaan, maka dari ini saya sangat mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya
mahasiswa/i. Semoga juga menjadi amal yang baik dan diterima disisi Allah SWT. Amiin.
Sigli, 22
November 2016
KELOMPOK
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ........ ii
BAB
I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar belakang......................................................................................... 1
BAB
II : PEMBAHASAN...................................................................................... 2
A. Hadits Rasa Malu Sebagian dari Iman.................................................... 2
B. Terjemahan Hadits Rasa Malu Sebagian dari Iman................................. 2
C. Kosa Kata................................................................................................ 2
D. Uraian...................................................................................................... 3
BAB
III : PENUTUP.............................................................................................. 9
A.
Kesimpulan.............................................................................................. 9
B.
Saran........................................................................................................ 9
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 10
BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Jika makna malu adalah
mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki malu
pada dasarnya adalah seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Di
samping itu rasa malu adalah ciri khas dari kebaikan, yang senantiasa
diinginkan oleh setiap manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu
adalah kekurangan dan suatu aib.
Pada dasarnya, islam
dalam keseluruhan hukum dan ajarannya, adalah ajakan yang bertumpu pada
kebaikan dan kebenaran. Juga merupakan seruan untuk meninggalkan setiap hal yang
tercela dan memalukan.[1]
Manusia sekarang sudah
jarang yang memiliki rasa malu contohnya dalam
kehidupan sehari- hari kita kita sering menyaksikan manusia yang sudah tidak
lagi memiliki rasa malu bila melanggar hati nurani dan aturan hidup. Cobalah
anda lihat dan baca melalui media masa. Tidak sedikit manusia yang dengan
bebasnya melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hati nurani dan norma
masyarakat yang berlaku. Dari mulai mereka berpakaian, bersikap dan
bertingkah laku.
Jadi sebagai Orang tua
dan para pendidik juga ikut berkewajiban untuk menanamkan rasa malu secara
sungguh-sungguh. Untuk itu, hendaknya mereka menggunakan berbagai metode
pendidikan yang baik, seperti mengawasi perilaku anak-anak dan segera
meluruskan jika melihat perbuatan yang bertentangan dengan rasa malu,
memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku yang bermanfaat,
menjauhkan dari berbagai tontonan yang merusak, dan menjauhkan dari omongan
yang tidak baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Rasa Malu Sebagian dari Iman
حدثنا عبد الله بن يوسف قال اخبرنا مالك بن انس عن ابن شهاب عن سالم بن عبد
الله عن ابيه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على رجل من الانصار وهو يعظ اخاه
في الحياء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعه فان الحياء من الايمان (خر جه
البخاري ف كتاب لايمان باب الحياء من الايمان)[2]
B. Terjemahan Hadits Rasa Malu Sebagian dari Iman
Meriwayatkan Abdullah bin Yusuf telah berkata, Malik bin Anas mengkhabarkan
dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah
saw lewat pada seorang Anshar yang sedang member nasehat saudaranya perihal
pemalu. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari
iman.[3]
C. Kosa Kata
ان ابيه (dari
ayahnya), yaitu Abdullah bin Umar bin Khattab.
مر على رجل (Nabi lewat
dihadapan orang Anshar).
Dalah shahih Muslim lafadznya adalah مر برجل marra berarti
melewati, kata tersebut biasa digabungkan dengan “Ala” atau ”ba”, saya
tidak mengetahui nama dua orang yang ada di atas tadi, baik yang memberikan
nasehat atau yang diberi nasehat.
يعظ berarti
nasehat, menakut-nakuti atau mengingatkan. Demikianlah merekan menerangkan kata
tersebut. Keterangan yang lebih bagus adalah seperti yang diterangkan oleh Imam
Bukhari, dalam bab Adab melalui jalur Abdul Aziz bin Abu Salamah dari Ibnu
Shihab yang lafadznya يعاتب اخاه في الحياء artinya “mencela sefat malu yang
dimiliki oleh saudaranya). Ia berkata,”Engkau sangat pemalu,” seakan-akan ia berkata,”sifat tersebut
sangat membahayakan.”[4]
Adab kemungkinan bahwa dua lafadz tersebut وعظ (menasehati) dan ‘itaabعتاب (mencela) disebutkan secara bersamaan dalam satu hadits,
akan tetapi sebagian periwayat ada yang menyebutkan dan ada yang tidak. Hal tersebut dilakukan dengan keyakinan bahwa
salah satu dari dua lafadz tersebut dapat mewakili lafadz yang lain.
في termasuk
“fa sababiyah (yang mengindikasikan sebab) artinya seakan-akan pria
tersebut sangat pemalu sampai tidak ingin meminta haknya. Karena itulah ia
dicela oleh saudaranya. Rasulullag saw bersabda kepadanya, دعه artinya,
biarkan dia tetap berada dalam ahklak yang disunahkan itu, karena malu adalah
sebagian dari iman. Jika sifat malu menghalangi seseorang menuntut haknya, maka dia akan diberi
pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya itu. Ibnu Qutaibah
berkata,”Maksudnya, bahwa sifat malu dapat menghalangi dan menghindarkan
seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman. Maka sifat malu disebut
sebagai iman, seperti sesuatu dapat diberi nama dengan lainnya yang
menggantikan posisinya.”
Menurut bahasa kata malu berasal dari bahasa Arab
yaitu ﺤﻴﺎﺀ (malu) merupakan leburan dari kata ﺤﻴﺎۃ (
hidup). Malu dibangun di atas dasar hidupnya hati, hati semakin hidup
maka rasa malu akan semakin bertambah, bila keimanan mati di dalam hati maka
rasa malu akan hilang, barang siapa yang telah hilang rasa malunya maka dia
adalah orang mati di dunia dan kecelakaan di akhirat.
Menurut Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari berkata
: berkata Ar Raghib : malu adalah menahan jiwa dari segala keburukan, ia adalah
kekhususan manusia untuk menahan dari segala bentuk keinginan agar
tidak seperti binatang.
Malu menurut para ulama’ adalah selalu berontak kepada
sifat-sifat tercela, pantang menolak kebenaran. Ia selalu cenderung mengikuti
seruan petunjuk nabi yang dipahami dari hadist-hadistnya, selalu melakukan
kebaikan dan menghargai pelaku kebaikan. Ia menuntun kepada sikap dan tindakan
yang berguna di dalam masyarakatnya.[5]
Untuk itu, pernyataan bahwa sifat malu merupakan
sebagian dari iman termasuk kiasan. Dalam hadits tersebut, tampaknya orang yang
melarang itu tidak mengetahui bahwa malu termasuk salah satu kesempurnaan iman,
sehingga setelah itu ditegaskan kembali eksistensi dari sifat malu tersebut.
Penegasan itu juga disebabkan karena masalah itu adalah masalah yang harus
diperhatikan, meskipun tidak ada yang mengingkarinya.
Ar-Raghib berkata,”malu adalah menahan diri dari
perbuatan buruk (maksiat). Sifat terbut merupakan salah satu ciri khusus
manusia yang dapat mencegah dari perbuatan yang memalukan dan membedakannya
dari binatang. Sifat tersebut merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga
kesucian).
Imam Nawawi berkata,”Malu hakikatnya adalah
perangai yang dapat mendorong meninggalkan keburukan dan mencegah teledor dalam
menunaikan hak orang lain.
Qadhi Iyadh berkata,”Ungkapan malu sebagai kebaikan seluruhnya atau malu
tidak membawa kecuali kebaikan agaknya controversial bila diartikan secara umum
begitu saja. Karena pemikik sifat malu tampak enggan menghadapi orang yang mengerjakan
kemungkaran dengan alas an malu. Malu juga kerap mendorong seseorang melakukan
pelanggaran terhadap suatu hak. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan malu dalam
hadits di atas adalah malu yang sesuai dengan syara’ (hukum agama). Sementara
malu yang memicu pelanggaran terhadap hak bukanlah malu yang sesuai dengan
syara’ melainkan malu karena serupa dengan malu secara syara’ yaitu perangai
yang dapat mendorong meninggalkan keburukan.
Ibnu hajar berkata,”bisa jadi makna malu adalah kebaikan yang sangat
dominan ada pada diri orang yang memiliki sifat malu, maka hilang lenyaplah
kemungkinan dia tergelincir dan kebaikan sebagai buah dan sifat malu pada
dirinya yang membawa kebaikan.[6]
Sahabat Ali bin Abu Thalib berkata,”Barang siapa
memakai baju malu niscaya masyarakat tidak akan melihat aibnya.”
Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku
manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak yang
terpuji yang ada pada diri seseorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada
diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang
tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah
satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki
sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana
takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat
seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak
tangan.
Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya
berjalan di tengah kaum lelaki dengan tidak kelihatan aurat. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan
leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar
menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan bagian juga bagian dari rasa malu.
Sebab mata memiliki sejuta bahasa. Tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang
membuat berjuta rasa di dada lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang
setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh
pandangan itu. Karena itu, Allah swt memerintahkan kepada lelaki dan wanita
untuk menundukkan pandangan mereka.
Memang realistis kekinian tidak bisa dipungkiri.
Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional
ataupun aktivis sosial politik. Ada yang dengan alas an untuk melayani
kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan.
Sehingga bercampur baur dengan lelaki tidak bisa dihindari.
Drs. Yusuf Qaradhawi berpendapat,”Saya ingin mengatakan di sinin bahwa
bercampur baur antara wanita dan lelaki adalah diadopsi ke dalam kamus Islam
yang tidak di kenal oleh warisana budaya kita pada sejarah berabad-abad
sebelumnya, dan tidak diketahui selain masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal
itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih
cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ (pertemuan) atau
keterlibatan seorang lekaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak
mengeluarkan aturan dan hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya
melihat tujuan aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya
yang dikhwatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang
diperhatikan di dalamnya.”
Ada pula yang berpendapat bahwa malu tersebut
adalah menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat,
akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh
syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci
oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia
melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh.[7]
Sifat malu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Malu kepada dirinya.
2. Malu kepada manusia.
3. Malu kepada Allah swt.
Tiga macam sifat malu tersebut merupakan sendi-sendi kebaaikan dan pokok
dasar yang uatama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw yang
artinnya:” mempunyai rasa malu adalah baik (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila isi hadits yang menyatakan bahwa rasa malu sebagian dari iman,
jelaslah bahwa pribadi yang mempunnyai rasa malu dalam arti yang benar, sangat
bertautan dengan masalah kadar keimanan seseorang. Apabila rasa malu itu telah
hilang, seperti hilangnya warna hijau pada buah yang segar karena matang, maka
akan lenyaplah warna hijau itu bersama-sama lenyapnya buah itu sendiri. Justru
itulah yang dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya, yang artinya:”Apabila
kalian tidak mempunyai rasa malu lagi, maka berbuatlah apa yang engkau
kehendaki.” (HR. Bukhari).
Bahwa rasa malu bisa menjadi tameng bagi
manusia. Bisa mencegah seseorang melakukan hal-hal yang tidak pantas apalagi
maksiat dan dosa. Dan bila tidak ada rasa malu, maka seseorang bisa melakukan
apa saja sesukanya sesuai dengan hadits di atas.
Malu melakukan hal yang sia-sia apalagi dosa
merupakan indikasi (tanda) baiknya seseorang. Karena malu seperti ini adalah
bagian dari iman. Bukan malu yang melakukan kebaikan. Karena malu melakukan
kebaikan adalah pertanda kelemahan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Bugha
dalam Kitab Al-Wafii ketika menerangkan hadits tersebut. Malu dalam hal ini
adalah malu yang tercela.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya tidak
luput dari perasaan malu. Rasa malu itu timbul lantaran banyak hal. Apakah malu
lantaran status sosial yang rendah, malu lantaran kondisi ekonomi yang lemah,
malu lantaran wajah dan fisik yang buruk, dan sebagainya.
Apa yang harus kita sadari adalah, kita harus
lebih merasakan malu kealfaan kita dalam menjalankan perintah Allah swt dan
meninggalkan larangan-Nya. Kita harus merasakan malu lantaran melakukan hal
yang sia-sia. Malu lantaran melakukan maksiat dan dosa. Malu lantaran
menelantarkan kewajiban-kewajiban kita.
Jangan sampai kita malu lantaran kondisi ekonomi
kita, tetapi kita tidak malu dengan kondisi lemah keagamaan kita. Jangan sampai
kita malu lantaran rendahnya posisi sosial kita, namun kita tidak malu lantaran
rendahnya akhlak kita. Jangan sampai kita malu lantaran buruknya wajah dan
tubuh kita, namun kita tidak malu lantaran buruknya ketakwaan kita. Padahal
standar hakiki kemulian seorang hamba adalah takwa. Allah swt berfirman dalam
surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:
....إِنَّ
أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinnya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat: 13)
Pada prinsipnya sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Al-Wafii syarah Arbain Nawawi, rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi
dari pertumbuhannya kepada dua: pertama, rasa malu yang ada
secara fitrah. Rasa ini timbul secara otomatis dalam diri manusia. Malu untuk
melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah manusia. Karena memang setiap anak
manusia itu lahir dalam keadaan fitrah. Namun rasa malu ini akan dipengaruhi
dalam proses selanjutnya.
Kedua, rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu ini bisa
ditumbuhkembangkan dalam jiwa seseorang. Karena rasa malu merupakan bagian dari
akhlak, dan akhlak adalah sesuatu yang bisa diupayakan dalam diri manusia.
ada satu langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang
terpuji, yaitu mengenal Allah swt, untuk selanjutnya akan menumbuhkan rasa
pengawasan-Nya. Mengenal Allah swt kita bisa membaca dan merenungi Al-Qur’an untuk mengenal
Allah swt.
Seorang muslim harus berhias dengan perilaku
malu yang utama tersebut sebab malu adalah kategori agama seluruhnya. Etika itu
termasuk cabang keimanan dan termasuk bagian dari Etika Islam. Setiap agama
memilki etiaka dan sesungguhnya etiaka Islam adalah malu.
Sifat malu termasuk kunci segala kebaikan, bila
sifat malunya kuat, maka kebaikan menjadi dominan dan keburukan menjadi
melemah. Bila sifat malunya lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku buruk
dominan, Karena malu adalah penghalang antara seseorang dengan hl-hal yang
dilarang.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Diantara Pelajaran hadits tentang malu sebagian
dari iman tersebut sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati
saudaranya, mengingatkan dengan penuh kasih saying, dan tidak berdiam diri dari
kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah saw adalah meluruskan ketika ada kekeliruan
yang beliau ketahui dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga
ketika Rasulullah saw diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu
berarti persetujuan (taqrir) dari beliau;
3. Malu adalah sebagian dari iman, yang merupakan sifat
untuk menyempurnakan iman kita bila kita mengaflikasikannya dan sebaliknya.
B. Saran
Dengan
selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sunarto & ddk, Terjemah
Shahih Bukhari, Semarang: Asy-Syifa, 1992)
Ahmad Muadz Haqqi, 40 Hadits Akhlaq, (Surabaya: As-Sunnah, 2003)
Diakses di http://artikelilmiahlengkap.blogspot.com/2013/01/makalah-sifat-malu-atau-rasa-malu.html pada
hari Rabu, 25 Oktober 2015 jam 14.00 WIB
Ibnu Hajar Al-Asqalani, fathul Baari
Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002)
Ibnu Hajar Al-Asqanali, Fathul Baari
Jilid 10, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002)
Musthafa Dieb Al-Bugha, Al-Wafi Menyelami makna 40 hadist
Rasulullah SAW, (Jakarta Timur: Al-I’tishom, 2003)
Syaikh Muhammad Nashiruddin, Shahih St-Taghrib
bab Adab, (Jakarta: Maktabah al-Ma’arif, 2000)
[1] Musthafa Dieb Al-Bugha, Al-Wafi Menyelami makna 40 hadist
Rasulullah SAW, (Jakarta Timur: Al-I’tishom, 2003), Hal 153.
[2] Syaikh Muhammad Nashiruddin, Shahih St-Taghrib bab
Adab, (Jakarta: Maktabah al-Ma’arif, 2000), Hal.153
[5] Diakses di http://artikelilmiahlengkap.blogspot.com/2013/01/makalah-sifat-malu-atau-rasa-malu.html pada hari Rabu, 25
Oktober 2015 jam 14.00 WIB
0 comments