1. HADIS PERTAMA TENTANG NIAT
عَنْ اَمِيْرِ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَبِى
حَفْصٍ عُمَرَبْنِ اْلخَطَابِ بْنِ نُفِيْلِ بْنِ عَبْدِ
اْلعُزى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحٍ بْنِ كَعْبِ
بْنِ لُؤَيِ بْنِ غَالِبِ اْلقُرَيْشِيِ اْلعَدَوِيِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَل اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ يَقُوْلُ اِنمَا اْلَاعْمَلُ
بِا النِيَاتِ وَاِنمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَانَوَى وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلًى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يَصِيْبُهَا اَوِ امْرَاَةُ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ اِلَى مَا هَا جَرَ اِلَيْهِ
“Dari Amir
al-Mukminin,Abu Hafs Umar bin Khattab r.a bin Nufail bin Abd al-Uzza bin Riyah
bin Abdullah bin Qurt bin Riyah bin Adi Ka’ab bin luay bin Ghalib al-Quraiys
al-Adawi berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya
sahnya amal itu tergantung dengan niat. Setiap orang akan memperoleh dari apa
yang diniatkannya. Jika seseorang itu hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya tersebut diterima oleh Allah dan Rasul. Namun, jika
hijrahnya itu untuk dunia yang akan diperolehnya atau wanita yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya tersebut sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut”(HR.
Bukhari and Muslim)
Rasulullah
saw mengeluarkan hadis di atas (asbab al-wurud)- nya ialah untuk
menjawab pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya
Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah yang diikuti oleh sebagian besar pejabat.[1] Dalam hijrah itu ada seorang
laki-laki yang juga turut hijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk
kepentingan perjuagan Islam, melainkan untuk hendak menikahi seorang wanita
yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya sudah bertekad untuk turrut hijrah,
sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di Makkah. Ummu Qais
hanya bersedia dikawini di tempat tujuan hijrahnya Rasullah yakni Madinah ,
sehingga laki-laki itu pun turut hijrah ke Madinah.Ketika peristiwa itu
ditanyakan kepada Rasulullah saw, apakah hijrah dengann motif itu diterima atau
tidak, Rasulullah menjawab secara umum seperti yang telah disebutkan pada hadis
di atas.
Niat
berperan penting dalam ajaran Islam, khusunya dalam perbuatan yang berdasarkan
perintah syara’ atau menurut sebagian Ulama merupakan sebuah perbuatan yang
mengandung harapan untuk mendapat pahala dari Allah SWT. Niat akan menentukan
nilai, kualitas, serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang
berhijrah dengan niat ingin mendapatan keuntungan dunia atau ingin mengawini
seorang wanita, ia tidak akan medapatkan pahala dari Allah SWT. Sebaliknya,
jika seseorang hijrah karena ingin mendapatkan ridha dari Allah SWT,
maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan duniapun akan diraihnya.
Sebenarnya, hijrah yang dimaksud pada hadis diatas adalah berhijrah dari Makkah
ke Madinah, karena pada saat itu penduduk Makkah tidak merespon lagi dakwah
Nabi, bahkan mereka ingin mencelakakan Nabi dan Umat slam. Akan
tetapi, setelah Islam jaya, hijrah tersebut lebih tepat diartikan sebagai
perpindahan dari kemungkaran atau kebatilan kepada yang hak.
Namun demikian, niat tetap saja sangat berperan dalam menentukan
berpahala atau tidaknya setiap hijrah, dalam berbagai bentuknya.
Para Ulama
telah sepakat[2], bahwa niat itu sangat penting
dalam menentukan sahnya suatu ibadah. Niat termasuk rukun pertama dalam setiap
melakukan ibadah. Tidaklah sah suatu ibadah, seperti shalat, puasa, zakat
maupun haji dan lain-lain, jika dilakukan tanpa niat atau dengan niat yang
salah.
Setiap orang
akan mendapatkan apa yang dia niatkan, jika niatnya baik (ikhlas) maka yang dia
terima adalah kebaikan dari Allah dan jika niatnya tidak baik, maka dia tidak
akan menerima kebaikan dari Allah.
Sebagaimana
sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
وَاِنمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya:
“Dan
tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan”.
Suatu
perbuatan yang secara lahiriahnya baik, tetapi niatnya tidak baik maka dia
tidak akan mendapatkan kebaikan. Dan perbuatan dosa, walaupun niatnya baik,
tetap mendapatkan hukuman. Jadi, ganjaran dan pahala dari Allah itu hanya dapat
diperoleh oleh orang-orang yang berbuat kebajikan karena Allah dan Rasul-Nya
semata-mata. Perbuatan-perbuatan kebajikan tidak dipandang baik oleh Allah,
kalau tidak disertai dengan niat yang ikhlas. Dan niat
yang ikhlas itu adalah ketetapan hati mencari keridhaan Allah dalam melakukan
segala kebajikan.
Zu an-Nun al-Mishri menjelaskan
bahwa ada tiga tanda-tanda ikhlas, yaitu:
ثَلَاثٌ مِنْ عَلَامَةِ اْلاِخْلَاصُ
اِسْتَوَا اْلمَدْحَ والذم من العامة ونسيان رؤية اْلعَمَلِ فِى اْلاَعْمَالِ راقْتِضَاءُ
ثَوَابِ اْلاَعْمَالِ فِى اْلاَخِرَةِ[3]
“Tanda
ikhlas ada tiga: pujian dan cercaan dari manusia sama saja baginya, melupakan
amal yang telah dilakukannya, dan hanya mengharapkan ganjaran amalnya di
akhirat”.
2. HADIS KEDUA TENTANG NIAT
عَنِ بْنِ عَباسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
اَنهُ قَالَ النبِي صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : اِن اللهَ كَتَبَ اْلحَسَنَاتِ
وَالسيئَاتِ ثُم بَيْنَ ذَالِكَ فَمَنْ هَم بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا
كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَاءِنْ هُوَ هَم بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ اِلَى سَبْعِمِا ئَةِ
ضِعْفٍ اِلَى اَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ وَمَنْ هَم بِسَيئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلُهَا
كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَاءِنْ هُوَ هَم بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لًهُ سَيئَةً وَاحِدَةً[4]
Ibnu abbas
r.a berkata, Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya Allah menulis segala kebajikan dan
kejahatan. Kemudian beliau menjelaskan masing-masing kebajikan dan
kejahatan.“Maka siapa-siapa yang berkeinginan melakukan sesuatu kebajikan,
tetapi ia tidak melakukannya, maka Allah menulis disisi-Nya suatu kebajikan
yang sempurna untuknya. Tetapi bila ia berkeinginan melakukan sesuatu
kebajikan, lalu mengamalkannya, maka Allah menulis disisi-Nya sepuluh sampai
tujuhratus kali kebajikan untuknya, bahkan sampai dilipatkan
gandakan berkali-kali. Dan siapa-siapa yang berkeinginan melakukan kejahatan,
tetapi tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya disisi-Nya suatu
kebajikan yang sempurna untuknya dan siapa-siapa yang berkeinginan untuk
melakukan kejahatan dan ia melakukannya, maka allah menulis satu kejahatan
untuknya”. (HR. Bukhari and Muslim).
Dalam
sumber lain juga dikatakan hal yang sama mengenai kedudukan niat tersebut,
sebagai penguat atas dasar kebenaran hadis tersebut.[5]
Niat
dalam arti motivasi, juga sangat menentukan diterima atau tidaknya suatu amal
oleh Allah. Shalat umpamanya, yang dianggap sah menurut pandangan syara’ karena
memenui berbagai syarat dan rukunnya, belum tentu diterima dan berpahala kalau
yag memotivasinya bukan karena Allah, tetapi karena manusia, seperti yang ingin
dikatakan rajin, tekun, baik dan sejenisnya.motivasi dalam melaksanakan setiap
amal harus betul-betul ikhlas, hanya mengharapakan ridha Allah saja.
0 comments